94. Mimpi yang Terwujud

2406 Kata

Aku malu bukan kepalang. Ingin rasanya aku tutupan selimut dan tidak menampakkan wajahku lagi di depan Ayah dan Ibu. Ternyata mereka ada di dekat pintu sejak Mas Dhika menarikku mendekat dan mengecup bibirku dua kali. Mereka diam karena kaget. Usut punya usut, mereka tiba-tiba naik ke atas karena ingin mengambil dua helm motor yang sejak pagi dijemur, tetapi lupa belum diangkat. “Kalau mau lanjut, ajak istrimu masuk, Dhik. Nanti dilihat anak kos.” “Enggak kelihatan, Bu.” “Ya tetap aja masuk!” Ibu menekankan kalimat. “Udah malam juga, nanti Desya masuk angin.” Aku menyembulkan kepala di balik selimut. Ibu langsung tersenyum begitu mata kami bertatapan. “Ibu dan Ayah juga pernah muda, jadi santai aja. Cuma jangan di balkon. Di kamar kan lebih leluasa.” Aku hanya meringis malu, sementa

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN