“Kuenya enak, Bu?” tanyaku ketika Bu Lina mencicipi kue macaron yang kubawakan. Satu kotak ditinggal di bawah, satu kotak lagi dibawa ke atas. “Enak, Mbak.” “Kebetulan, yang punya toko itu teman kakak saya. Memang sudah banyak pelanggannya.” “Pantes. Mbak Desya ambil juga. Masa Ibu makan sendiri.” “Iya, Bu.” Untuk sesaat, suasana hening karena baik aku ataupun Bu Lina sama-sama sibuk mengunyah. Aku ingin memulai, tetapi bingung harus dari mana. Menunggu Bu Lina mengawali, rasanya sangat lama. Selain itu, konsentrasiku juga masih pecah gara-gara kecupan Mas Dhika tadi. Tidak mau munafik, aku menyukainya. Namun, itu tetap tidak boleh. Nanti aku akan protes padanya. “Mbak Desya ...” panggil Bu Lina setelah menghabiskan kue macaron pertama dan menyeruput air mineral kemasan yang tadi se