Mas Dhika memang super menyebalkan. Dia ternyata tidak marah. Maksudku, dia hanya marah sesaat. Selebihnya dia hanya mengerjaiku. Dia sengaja mendiamkanku dan pura-pura abai karena ingin melihat usahaku. Gantian, katanya. Memang, marahnya semalam agak mencurigakan. Dia marah, tapi masih sempat curi kesempatan. Dia bilang, kalau dia betulan marah, dia tidak akan memindahkanku dari sofa ke ranjang sampai dua kali. Dia juga bilang, dia menahan tawa ketika aku membuka matanya secara paksa. Makanya dia segera menarik selimut sampai hidung untuk menutupi senyumnya yang sudah tidak bisa ditahan. Sekali jahil, tetap saja jahil. Untuk ke sekian kalinya, aku sudah termakan keisengannya. Aku benar-benar harus membalasnya lain kali. “Segernya ...” Mas Dhika menghabiskan minumannya, lalu dengan sant