*** Michael termenung sejenak di dalam mobil yang terparkir di halaman rumah sakit. Luka lebam di wajahnya, hasil dari serangan ayahnya yang bertubi-tubi, seolah tak berarti dibandingkan kekhawatirannya terhadap kondisi Jihan saat ini. Wanita itu masih terbaring pingsan di kamar rawat, dan ia merasa sangat menyesal karena belum sempat melihat langsung kondisinya setelah dia dipindahkan dari ruang UGD ke kamar rawat. Pikirannya melayang, ingin masuk sekedar memastikan kondisi wanita itu. Namun, kegelisahan menyergapnya setiap kali ia memikirkan ayahnya yang kini ada di dalam ruangan itu. Michael tahu betul bahwa pertemuan keduanya hanya akan berujung pada keributan yang tidak ingin ia ciptakan, terutama di saat Jihan membutuhkan ketenangan. ‘Aku pergi sebentar, Jihan,” bisiknya dalam