*** “Aku lelah, Chel…” Kalimat itu diiringi isak tangis yang terdengar memilukan di telinga Michael. Pemimpin The Phoenix tersebut hanya bisa menutup mata, merasakan setiap detak lemah dari tubuh Jihan yang kini tak bergetar lagi. Pelukannya mengerat, seolah tak ingin melepaskan, meski ia tahu bahwa saat itu adalah waktu yang paling sulit dalam hidupnya. Michael menelan ludah dengan kasar, rasa sesak di dadanya semakin tak tertahankan. “Maafkan aku,” ucapnya, sekali lagi kalimat yang sama terucap dari bibirnya, penuh penyesalan. Dalam sekejap, kenyataan yang terungkap membuat Michael melupakan semua gengsi dan harga diri. Ia rela bersimpuh di hadapan Jihan, menunduk, seolah berharap semesta mendengar permohonan maafnya yang tulus. Satu-satunya harapan yang tersisa di benaknya adalah