Lampu di ruangan gym pribadi Matteo temaram, hanya cahaya putih dingin yang jatuh tepat di atas peralatan. Mengenakan kaus singlet hitam, tubuhnya yang berotot berkilau oleh keringat. Nafasnya berat, setiap tarikan dan hembusan seolah menahan badai dalam dirinya. Tangannya mencengkeram barbel, urat di lengan menegang. Ia mendorong beban ke atas berulang kali, seolah setiap gerakan bisa mematahkan bayangan sebuah wajah yang meningalkan pikirannya walau hanya sesaat. “Dua puluh empat… Dua puluh lima…” gumamnya, suara parau namun penuh tekad. Keringat menetes dari pelipis, jatuh ke lantai. Matteo menatap cermin besar di depannya. Refleksi seorang pria dengan mata gelap, dingin, tapi menyimpan bara yang tak pernah padam, menatap balik padanya. Ia meletakkan barbel dengan dentuman keras. Me

