Bab 9 Kejutan di Acara Pernikahan

1719 Kata
Ujung bibir Matteo berkedut. Amelia yang masuk sendiri ke dalam hidupnya, jadi dia harus bertanggung jawab. Matteo mengalihkan pandangan ke jendela yang lebar dan setinggi langit-langit, kedua tangannya terkepal begitu erat hingga buku-bukunya memutih. Pemandangan kota Chicago kini mengabur di balik tatapan yang tajam dan penuh amarah. Kenneth Jackson… Nama itu berputar di kepalanya seperti duri yang menusuk perlahan namun pasti. Setiap gosip, setiap cerita kelam yang pernah terdengar tentang pria itu kini muncul kembali. Malam-malam pesta yang berakhir dengan skandal. Wanita-wanita yang menghilang dari lingkaran sosial setelah bersamanya. Janji manis yang selalu berujung kebohongan. Matteo mengembuskan napas kasar, merasakan darahnya mendidih. "Dia tidak pantas menyentuhnya," gumamnya pelan, namun penuh racun. Kepalanya menunduk sedikit, memejamkan mata, dan saat itulah gambaran Amelia muncul begitu jelas—kulitnya yang selembut sutra, senyum yang nyaris polos, tatapan yang malam itu penuh dengan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar gairah. Matteo merasakan tarikan aneh di dadanya. Itu bukan sekadar nafsu. Ia teringat kabar bahwa Kenneth memiliki sifat temperamental, tangan yang ringan untuk memukul, dan mulut yang manis untuk memanipulasi. Bayangan tubuh indah dan lembut Amelia berada di bawah kekuasaan pria itu membuatnya hampir ingin menghancurkan meja di depannya. Telepon di mejanya berdering. Ia meraihnya dengan gerakan cepat. "Tuan Hayes, jadwal untuk—" suara asistennya, Liam, terdengar di seberang. "Tunda semuanya," potong Matteo tegas. "Tapi, Sir, ada—" "Aku bilang, TUNDA," suaranya rendah, tapi nada perintahnya membuat Liam langsung terdiam. Matteo meletakkan gagang telepon, lalu kembali memusatkan pandangannya ke atas meja. Ia meraih amplop undangan itu lagi. Jemarinya menelusuri foto Amelia, berhenti di garis rahang halusnya, lalu di senyum yang entah kenapa kini terlihat seperti topeng. ‘Kenapa kau memilihnya, Amelia? Apa kau tidak punya pilihan lain? Atau… ada yang memaksamu?’ pikirnya. Suara hatinya semakin tegas, seperti perintah yang tidak bisa dibantah. ‘Kalau kau memang butuh keluar dari neraka itu, aku akan jadi orang yang menarikmu keluar.’ Matteo menatap pantulan dirinya di kaca jendela. Mata yang sebelumnya tenang kini membara, berbahaya. Seperti biasanya saat dia mendengar kabar ada serangan dari musuhnya. Entah kenapa, ini terasa personal. Dia tidak pernah bersinggungan langsung dengan Kenneth Jackson, tapi saat ini, dia seolah telah menjadi musuh besarnya. Dia tidak peduli seberapa dalam ia harus menyelami lumpur permainan keluarga Jackson. Satu hal yang pasti—Amelia tidak akan menjadi istri Kenneth. * Langit Chicago sore itu berwarna kelabu, menambah berat suasana di ruang kerja Matteo. Ia duduk di kursi kulit hitamnya, jari-jarinya mengetuk permukaan meja kayu mahoni dengan ritme tak sabar. Sebuah berkas tipis tergeletak di depannya—hasil penyelidikan kilat dari anak buahnya. Nino, tangan kanan Matteo yang selalu berpakaian rapi seperti seorang bankir, berdiri di depan meja. “Kami menggali cukup dalam,” ujarnya pelan, seakan takut suara keras akan memicu badai di mata bosnya. “Pernikahan Amelia Davis dengan Kenneth Jackson bukan sekadar urusan pribadi, Matteo. Ini masalah bertahan hidup bagi keluarga Davis.” Matteo menyipitkan mata. “Bertahan hidup?” Nino mengangguk. “Bisnis keluarga Davis nyaris ambruk. Proyek mereka di sektor properti gagal total—kerugian mencapai jutaan. Mereka butuh suntikan dana besar untuk menutup lubang itu. Dan satu-satunya yang datang menawarkan ‘bantuan’ adalah keluarga Jackson… tentu saja, dengan syarat.” Matteo mencondongkan tubuhnya, kedua sikunya bertumpu di meja. “Dan syarat itu adalah Amelia.” Nino menelan saliva, lalu membuka halaman terakhir berkas itu. “Bukan cuma itu. Kami menemukan pola… kehancuran bisnis keluarga Davis tampaknya bukan kecelakaan. Beberapa kontrak penting yang seharusnya menyelamatkan mereka dibatalkan mendadak—dan pihak yang mengambil alih proyek itu? Keluarga Jackson. Mereka melakukannya dengan cara sangat halus, sehingga tidak dapat diketahui tanpa menggali lebih jauh.” Suara Matteo terdengar seperti geraman rendah. “Jadi… mereka yang merobohkan rumah itu… lalu berpura-pura jadi penyelamat.” “Persis.” Nino mengangguk lagi. “Kami bahkan menemukan bukti transfer ke rekening beberapa orang dalam perusahaan Davis. Jumlahnya cukup untuk membeli pengkhianatan.” Matteo bersandar, rahangnya mengeras. Bayangan Amelia, berdiri di altar dengan pria seperti Kenneth, membuat darahnya mendidih. “Mereka menjebak keluarganya… dan menjadikan dia hadiah dalam permainan kotor ini.” Nino menatap Matteo hati-hati. “Apa rencananya, Bos?” Senyum tipis namun dingin merayap di sudut bibir Matteo. “Pertama, kita pastikan keluarga Davis tahu siapa sebenarnya yang mereka undang masuk ke rumah mereka. Kedua…” Ia berhenti sejenak, matanya menatap kosong ke jendela yang memantulkan lampu kota, “…aku akan memastikan Amelia tidak pernah mengucapkan sumpah pernikahan dengan Kenneth Jackson.” “Dengan cara halus atau—” “Nino,” Matteo memotong, suaranya tajam seperti pisau. “Kau tahu aku tidak percaya pada kata halus untuk hal seperti ini, kalau memang itu yang kau maksud.” “Baik, Tuan!” Nino mengangguk patuh. Keheningan memenuhi ruangan, hanya terdengar denting halus arloji Matteo ketika ia meraih gelas whiskey dan meneguknya perlahan. Api alkohol itu sebanding dengan api yang kini membakar niatnya. Pernikahan ini, pikirnya, bukan sekadar urusan hati. Ini perang—dan Matteo Hayes tidak pernah mundur dari medan perang. ** Pagi itu, cahaya matahari menembus kaca patri gereja, membiaskan warna-warna indah yang menari di lantai marmer putih. Namun bagi Amelia, cahaya itu terasa terlalu terang—menelanjangi setiap rasa takut yang berusaha ia sembunyikan. Di kursi panjang, tamu-tamu berpakaian mewah berbincang pelan, suara mereka seperti riak di permukaan danau. Bunga lili putih menghiasi setiap sudut, aromanya manis namun menyesakkan d@da. Gaun pengantin yang ia kenakan adalah karya desainer ternama—lapisan renda halus jatuh sempurna di bahunya, dan bagian bawahnya mengembang bak awan. Tapi di balik kain mahal itu, kulit Amelia terasa dingin. Jemarinya yang dibalut sarung tangan satin bergetar saat menggenggam buket mawar putih. Ia memandang jauh ke ujung altar, di mana Kenneth Jackson berdiri tegap. Setelan jas hitamnya rapi tanpa cela, dasi sutra merah gelap kontras dengan senyum tipis yang lebih mirip ancaman. Mata pria itu menatapnya seperti pemangsa yang sudah mengunci mangsanya. Amelia mencoba menarik napas dalam, tapi paru-parunya seperti terhimpit. "Tenang… hanya sebentar lagi… lalu semua akan berakhir," ia berbisik pada dirinya sendiri. Namun langkah yang harus ia tempuh terasa seperti jalan menuju penjara. Ketika organ tua mulai memainkan nada pembuka, sang pengiring pengantin di sampingnya berbisik, "Siap, Amelia?" Ia hanya mengangguk. Suaranya terlalu serak untuk keluar. Pada akhirnya Lucy menolak menjadi pengiring pengantinnya. “Demi persahabatan kita, tidak, Mel! Aku akan merasa seolah mengantarmu ke meja tukang jagal, jadi tolong carilah yang lain. Aku akan dihantui, dan itu akan buruk akibatnya untuk psikis ku.” Itu ucapan Lucy semalam, saat mereka terpojok tak berdaya, dan terpaksa menuruti proses persiapan pengantin baru untuk acara pernikahan. Seserius itu. Bahkan Lucy tidak sanggup berada di sana. Dan dia di sini sekarang. Amelia membulatkan tekadnya. Sudah sejauh ini, dan tidak ada jalan untuk kembali. Dia hanya perlu menyiapkan mental dan menyemangati dirinya dengan membayangkan neneknya baik-baik saja, sedang merajut di depan perapian. Langkah pertama membuat tumit sepatunya berdetak di lantai marmer, seiring tatapan semua orang mengarah padanya. Beberapa tersenyum, beberapa berbisik kagum. Tapi ia tak mendengar kata-kata mereka—hanya detak jantungnya sendiri yang memekakkan telinga. Di ujung sana, Kenneth mengangkat dagunya sedikit, tatapan matanya berbicara lebih jelas dari kata-kata, Kau milikku mulai sekarang. Amelia merasakan tulang punggungnya menegang. Ada bagian dari dirinya yang ingin berbalik, lari, dan tidak pernah kembali. Namun kaki itu tetap melangkah, seperti boneka yang ditarik benang. Ketika akhirnya ia berdiri di samping Kenneth, pria itu membungkuk sedikit dan berbisik di telinganya, senyum masih terpasang untuk para tamu. "Setelah ini, kamu akan selamanya di sisiku, Amelia." Dingin merayap di tulang belakang Amelia. Ia mencoba menahan tatapannya agar tidak menunjukkan ketakutan, tapi bibirnya sedikit bergetar. Ia tidak tahu—di luar sana, seseorang sedang bergerak menuju gereja, siap membalikkan seluruh skenario ini. *** Langit siang itu tampak terlalu tenang untuk badai yang sedang disiapkan Matteo Hayes. Angin sepoi hanya menyentuh ujung rambutnya, tapi di dalam dadanya, amarah dan tekad berputar seperti pusaran gelap. Ia berdiri tegak di sisi mobil hitamnya, jas armani melekat sempurna di tubuhnya, seolah dipahat langsung untuknya. Dua pria tegap di kanan-kiri berdiri menunggu perintah, sementara deretan mobil mewah berhenti membentuk barisan tak resmi di halaman parkir gereja. Matteo menghembuskan napas pelan, matanya tertuju ke pintu besar yang setengah terbuka. Kenneth Jackson tidak membuat pengamanan khusus untuk acara pernikahannya. Bahkan tidak ada penjaga sama sekali di depan gereja. Tentu saja, dia bisa menikahi anak perempuan sebuah keluarga yang telah dimanipulasi sedemikian rupa, tanpa merasa akan menyinggung perasaan seseorang. Kenneth juga terlalu percaya diri, mengira tidak ada musuh yang akan mengganggu acaranya. Matteo berkedip senang. Sebentar lagi dia akan masuk dan mengubah semuanya. Seorang pria berambut abu-abu, tangan kanannya di dunia bisnis sekaligus informan setia, mendekat sambil menyerahkan ponsel. “Semua sudah siap, Tuan Hayes. Jalur belakang gereja aman. Tim di dalam sudah berada di posisi.” Matteo menerima informasi itu dengan anggukan singkat. “Bagus. Pastikan tidak ada satu pun dari pihak Jackson yang sempat menyentuhnya.” Pria itu ragu sejenak. “Tapi… ini berarti Anda akan berhadapan langsung dengan Kenneth dan keluarganya di depan semua tamu. Reputasi—” Matteo menatapnya, tatapan hitam tajam yang membuat kata-kata pria itu tertahan di tenggorokan. “Jangan ingatkan aku mengenai hal konyol itu sekarang.” Ujung bibirnya terangkat miring, bukan senyum manis—lebih mirip peringatan gelap. Ia melangkah ke dekat pintu mobil, jari-jarinya mengetuk atapnya pelan. Ia mengingat malam itu—aroma rambut Amelia, tatapan mata polos yang berani, dan noda yang membekas di seprai. “Amelia…” bisiknya. Suara itu nyaris seperti doa… namun juga bernada ancaman, “Kamu tidak akan berakhir di pelukan pria itu.” Dan Matteo Hayes tidak pernah kehilangan sesuatu yang ia inginkan. “BRAAKK!” Pintu gereja terbanting, seketika terbuka lebar. Seisi ruangan terkejut. Beberapa orang yang duduk di deretan bangku paling belakang memekik ketakutan, buru-buru bangkit dari bangku seraya berusaha melihat apa yang sedang terjadi. Dari balik pantulan cahaya matahari yang menyilaukan, sosok Matteo Hayes melangkah masuk dengan jas hitam tersemat rapi di tubuh tegapnya. Wajahnya datar, mata tajam menusuk, sementara di belakangnya belasan anak buah dengan setelan gelap merangsek, menyebar cepat, menghalau siapa pun yang berani menghalangi. “Ada apa?” salah satu anggota keluarga Jackson menoleh, kaget. Keributan kecil terjadi di dekat pintu masuk begitu keluarga Jackson menyadari apa yang terjadi. Mereka sontak berusaha mencegah Matteo masuk lebih jauh ke dalam gereja, namun langsung di tahan oleh anak buah Matteo. Orang-orang terpana. Tidak memahami apa yang sedang terjadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN