Bab 1. Lega Michael

1117 Kata
Michael tersenyum puas saat membaca sebuah pesan singkat di layar ponselnya, dia resmi dinyatakan sebagai pemegang hak asuh Michelle, anak dari hubungan asmaranya dengan Nadia beberapa tahun lalu. Sebelumnya, meskipun pemegang hak asuh Michelle adalah Nadia, tapi Michelle sudah dirawat Michael sejak usia dua tahun, dan kini anak itu sudah berusia lima tahun. Sekarang, Michael bisa lebih leluasa merawat Michelle tanpa terganggu dengan tuntutan dari pihak Nadia. Urusan ini sangat panjang dan melelahkan, karena pihak Nadia yang sempat menolak beberapa kali. “Kamu aman sekarang, Mike. Nadia nggak bisa lagi menuntut kamu banyak hal. Michelle adalah anak kandungmu dan kamu berhak menentukan masa depannya,” ujar Putra, pengacara Michael. “Sudah saatnya mencari pasangan,” ujarnya kemudian. Michael tertawa ringan. “Ah, sudahi petualangan kamu, Mike. Usiamu sudah tidak muda lagi, tiga tahun lagi sudah kepala empat. Nggak ada alasan lagi untuk bersenang-senang dengan wanita-wanita yang hanya menggerogoti uangmu.” “Itu soal yang nggak mudah.” “Dipermudah saja. Kamu cari wanita yang baik-baik, nikahi. Soal cinta itu belakangan. Setidaknya ada yang bisa dipanggil mama oleh Michelle. Kasihan anak itu, bertahun-tahun nggak ada yang bisa dia panggil mama. Mamanya saja hanya peduli uangmu.” “Aku nggak mau seperti ayahku, menikah, tapi banyak simpanan.” “Tapi kamu nggak jauh beda dari ayahmu, tidak menikah, tapi punya anak.” “Setidaknya aku masalahku nggak serumit ayahku, terutama terkait dengan mamaku.” “Sudahlah, lebih baik kamu pikirkan lebih serius lagi soal mama untuk Michelle. Ingat mamamu selalu risau soal ini.” Putra lalu membereskan tasnya dan pamit ke luar ruangan. Tak lama Putra pergi, Michael menghubungi sekretarisnya. “Feni, siapkan dua perempuan untukku malam ini. Aku ingin di Maritim club.” *** Kara bekerja dengan semangat sejak pagi, tak lama lagi dia akan menerima gaji pertamanya sebagai pengasuh seorang anak perempuan lima tahun bernama Michelle Bahira Linch. Pekerjaan yang sangat mudah dia lakukan dibanding dengan pekerjaan sebelumnya di rumah makan cepat saji. Sudah hampir empat minggu dia menginap di rumah besar dan mewah papi Michelle, Michael Surya Linch, pengusaha alat berat dan property sekaligus pemilik tambang batubara besar di Kalimantan. “Malam ini papi pulang ke rumah, nanti aku kenalin kak Kara ke papi,” ujar Michelle semangat, dia tidak sabar ingin segera memperkenalkan pengasuh barunya ke papinya. Kara belum pernah melihat langsung papi Michelle, yang hanya bisa dia lihat lewat foto-foto yang terpajang di ruang tamu rumah. Papi Michelle adalah orang yang super sibuk, terkadang pergi dinas ke luar negeri beberapa minggu dan kali ini adalah waktu yang terpanjang, lebih dari tiga minggu dia melakukan perjalanan dinasnya, keliling Jawa dan Kalimantan, dan tidak pulang ke rumah selama itu. Kara tidak begitu pusing dengan janji Michelle, yang dia pikirkan adalah gaji pertamanya yang ingin dia dapatkan segera. Kata Heni, kepala rumah tangga rumah Michelle, dia akan menerima gajinya tepat pukul sepuluh malam ini. Meskipun papi Michelle tampan dan gagah rupawan, Kara tidak begitu penasaran. Lagi pula, dia pernah mendengar isu kurang baik dari sosok Michael dari Heni, kasar dan mau menang sendiri. Para pegawai rumah tangga mengaku lebih suka Michael bepergian ke luar kota daripada pulang ke rumah. “Oke,” tanggap Kara pendek, tidak mau banyak bertanya. “Papiku nggak galak kok, Kak,” ujar Michelle, melihat Kara yang tidak begitu antusias dengan kedatangan papinya. Kara tertawa kecil, dia tahu apa yang tengah dipikirkan Michelle. “Sudah, ayo, kita berangkat ke sekolah, atau mau diantar pak Jono pake mobil?” “Nggak mau, aku mau naik motor sama kak Kara.” “Tapi kalo papi kamu tau bahwa kamu selama ini naik motor?” “Aku mau naik motor,” tegas Michelle. Kara menghela napas pendek, mengingat Michelle memandang iri Meta, keponakan Kara yang setiap hari diantar jemput Kara dengan motor, lalu berujung tawaran bekerja sebagai pengasuh dengan gaji yang sangat lumayan. “Tapi nanti papi kamu pasti tahu kamu selama ini diantar jemput pake motorku.” Michelle cemberut. “Hei, aku tetap antar kamu naik motor, tapi, 'kan papi kamu pulang ke rumah malam ini, jadi pasti dia akan tau kalo kamu naik motor sama aku ke sekolah.” Michelle masih cemberut. “Kak Kara jangan ngadu.” Kara tertawa kecil, lalu mengangguk. Meskipun dia yang pada akhirnya yakin papi Michael yang akan melarang Michelle naik motor lagi bersamanya. Michelle sudah siap pergi ke sekolah dan dia langsung duduk di belakang Kara dan memeluknya erat-erat. *** Michael menggeram kesal saat duduk di depan meja bar di Maritim klub, dia baru saja ingat janjinya kepada Michelle, bahwa dia akan pulang malam ini. “Feni, aku pulang ke rumah sekarang. Suruh dua perempuan itu datang langsung ke rumah saja,” ujar Michael melalui ponsel, sambil berjalan menuju luar klub. dia lalu menghubungi sopirnya agar bersiap-siap mengantarnya pulang ke rumahnya. Michael sudah berada di dalam mobilnya, dan dia menerima panggilan dari putri tersayangnya. “Halo, Michelle sayang.” “Katanya Papi pulang ke rumah malam ini, tapi kenapa Papi nggak pulang-pulang juga? Aku sudah menunggu dari tadi.” Michael melirik jam tangannya, waktu menunjukkan pukul sembilan malam, dan dia mengumpat tanpa bersuara. “Papi sibuk, Sayang. Maafkan Papi. Tapi Papi janji pulang.” “Tapi ini sudah malam banget, Papi.” “Kamu tidur saja, kita bisa ketemu besok pagi. Hm … mau Papi ajak sarapan di restoran yang kamu suka?” “Ok, Papi.” Terdengar helaan napas berat di ujung sana dan Michael mengerti putrinya yang kecewa. “I love you,” ucap Michael mengakhiri panggilannya. “Too,” balas Michelle singkat, terdengar malas. Setelahnya, Michael mendengus tersenyum melihat sebuah pesan nakal, dua wanita pesanannya sudah sampai di depan rumahnya dan menunggu kedatangannya. *** Mata Kara terbelalak saat menerima sebuah notif, gaji pertamanya sudah dia terima, sembilan juta rupiah. Dia sepertinya sudah mantap akan bekerja lebih lama sebagai pengasuh Michelle dan bertekad akan berhemat. Kara melirik ke Michelle yang sudah tidur di atas kasur, dan dia yang tiba-tiba saja mendadak haus. Setelah memperbaiki selimut Michelle, Kara melangkah ke luar kamar pergi menuju dapur. “Ah,” desah Kara setelah meneguk habis satu gelas air minum, dia lalu duduk menunggu sampai perutnya terasa lebih nyaman. Setelahnya, dia berdiri dan melangkah menuju luar dapur. Namun, tiba-tiba saja dia mendengar suara lenguhan pria dan jeritan wanita sayup-sayup, dan dia yang penasaran ingin tahu dari mana suara itu berasal. Kara melangkah pelan ke kamar yang berada di dekat ruang tamu, yang pintunya terbuka setengah, sehingga dia bisa melihat bagian dalamnya dari luar. Alangkah terkejutnya Kara, melihat seorang pria telanjang sedang bergerak maju mundur di depan wanita yang tak berbusana, sambil melumat bibir wanita lainnya yang berdiri di sampingnya. Kara mendadak ketakutan, berjalan cepat menuju kamar Michelle dan menutupnya rapat-rapat. Sekujur tubuhnya menggigil, juga tangannya yang gemetar. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN