Bab 2. Berhenti Bekerja?

1147 Kata
Kara terduduk di tepi tempat tidurnya yang bersebrangan dengan tempat tidur Michelle, deru napasnya masih memburu, ketakutan dan cemas. Masih terbayang-bayang di benaknya kegiatan panas dari balik pintu kamar papi Michelle, pinggul seorang pria bertubuh tegap bergerak maju mundur di depan seorang perempuan yang duduk mengangkang lebar di atas sofa, sambil melumat bibir wanita lainnya yang seolah sedang menunggu giliran. Masih terngiang-ngiang pula di telinganya suara desahan dan lenguhan ketiganya, bersahut-sahutan dan lemah. “Astaga … apa lebih baik aku berhenti saja,” gumam Kara bermonolog, menutup penuh wajahnya, dan dia yang sangat ketakutan. Seumur hidupnya baru kali ini dia melihat dengan jelas adegan intim itu secara langsung. Dia pernah menyaksikan adegan yang sama di film-film romantis, dan itu menyenangkan. Tapi ternyata berbeda saat melihatnya langsung, menakutkan dan lemas di sekujur tubuh. Kara tidak begitu jelas melihat wajah pria karena kamar yang gelap, dia malah dengan jelas melihat tubuh mengkilat berkeringat dengan b****g kokohnya yang bergerak maju mundur. Tapi dia yakin bahwa pria itu adalah Michael, papi Michelle. Malam itu, Kara mengalami kesulitan tidur, saat tidur pun dia terbangun, lalu melihat jam yang menunjukkan pukul dua dini hari, kemudian tertidur lagi. Tapi, satu jam kemudian dia terbangun lagi, dan ketakutan lagi. Tidur Kara benar-benar terganggu karena mengingat kejadian yang tidak dia duga dan meresahkan. Sempat pula menoleh ke arah Michelle yang sudah tidur lelap, merasa ragu untuk berhenti, karena Kara yang sudah menyayangi anak itu. *** Kara tetap bangun pagi esok hari, tapi tubuhnya kurang segar karena tidurnya yang buruk semalam. Untungnya hari ini adalah hari Sabtu dan Michelle yang tidak pergi ke sekolah. Jadi Kara tidak perlu sibuk mempersiapkan peralatan sekolah Michelle, dia hanya menyuruh anak itu mandi dan membersihkan serta membereskan kamar agar lebih rapi. “Aku nggak sabar lagi ketemu papi! Yay!” teriak Michelle saat sudah mandi dan Kara yang sedang merapikan rambutnya di depan cermin. Tapi raut wajah Michelle berubah heran saat melihat wajah kuyu Kara lewat cermin di depannya. “Kak Kara kenapa mukanya begitu?” tanyanya. “Ha?” Kara pura-pura terkejut, dia memang yang sedang tidak bersemangat. “Oh, aku kurang tidur semalam.” “Kenapa? Oh, pasti main hape ya? Sibuk ceting sama Ilham ya?” Kara tertawa kecil, mencubit gemas pipi Michelle, Ilham adalah teman dekatnya. “Nggak, kurang tidur aja.” “Ah, karena main hape deh kayaknya.” Kara menggeleng saja dan membiarkan Michelle dengan pikirannya. Tiba-tiba pintu kamar diketuk, dan Michelle yang bersemangat menoleh. Kara langsung mundur beberapa langkah dari Michelle membiarkan Michelle berdiri dan melangkah semangat menuju pintu. Michelle membuka pintu kamar dan dia berteriak. “Papiii!” Terdengar tawa rendah seorang pria berpakaian rapi dan tercium pula aroma parfum lembut nan wangi. Pria itu berseru senang dan menggendong Michelle. “Ah, sudah cantik dan hmmm wanginya anak Papi.” Kara masih berdiri di tempatnya, sulit baginya untuk tersenyum saat ini, melihat tubuh tinggi tegap atletis dan wajah degan rahang kokoh rupawan, ada kumis tipis di atas bibir pria itu membuat Kara merasa jijik. Kara tidak suka pria berkumis, tipis, apalagi tebal. “Hai.” Pria itu akhirnya menyapa Kara, dan Kara tersenyum mengangguk. Tidak mau pria itu curiga, Kara memberanikan diri maju dan mengangguk, mengulurkan tangannya. “Saya Kara, Pak,” ujarnya sopan. “Ya, saya tahu nama kamu, kamu baby sitter Michelle yang baru,” ujar Michael, papi Michelle, tanpa mau menyalami Kara, padahal Kara sudah mengulurkan tangan kanannya karena melihat Michael yang menggendong Michelle dengan satu tangan kirinya. Kara menarik tangannya, dan mulai tidak nyaman, apalagi Michael kemudian mengubah cara menggendong Michelle dengan kedua tangannya, seolah menunjukkan bahwa dia yang tidak tertarik menyalaminya. Dia juga tidak menyebut nama, lagi pula Kara juga sudah tahu namanya. Suasana kembali tenang dan tidak ada lagi jeritan manja Michelle. “Jadi, kita sarapan di luar?” tanya Michael ke Michelle, pergi begitu saja tanpa berkata apa-apa ke Kara. “Iya, Papi. Hm … aku mau makan di café Si and Sa,” ujar Michelle dengan sikap manjanya. “Oh, café itu, yang ada tempat bermainnya?” “Iya, Papi. Aku suka café itu, kakak baristanya baik banget. Suka kasih aku free coklat.” Michael tertawa renyah mendengar celoteh Michelle. Tampak Kara tergopoh-gopoh mengikuti langkah cepat dan lebar Michael menuju luar rumah. Dan mobil SUV mewah yang sudah terparkir di luar dan siap mengantar mereka. Michael menurunkan tubuh Michelle dan menyuruhnya cepat menuju mobil. “Pak, saya nggak ikut,” ujar Kara tiba-tiba. Michael beralih ke Kara, dahinya mengernyit. “Kamu bekerja dan sudah menandatangani kontrak.” “Pak, saya….” Kara mendadak gugup saat ditatap tajam mata elang Michael, bibirnya gemetar tak sanggup berucap. “Kak Kara? Kok nggak ikut?” delik Michelle yang ternyata menahan langkahnya menuju mobil, wajahnya heran bercampur cemas melihat Kara yang tiba-tiba tidak tertarik untuk ikut pergi sarapan di café Si and Sa. “Aku di rumah saja, Michelle,” ujar Kara, sekilas melirik Michael. “Aku pusing.” Michael mendengus sinis melihat Kara, dan dia yang tampak sebal mendengar alasan Kara yang menolak ajakan sarapan pagi di luar rumah dan terkesan mengada-ada. “Ayo, ikut, Kak!” rengek Michelle sambil menarik lengan Kara. “Aku pusing, Michelle. Aku ingin istirahat saja di rumah.” Michael terkesiap. “Istirahat katamu?” Kara tergugup, menyadari ucapannya yang konyol, karena dia yang semestinya bekerja dan saat ini bukanlah waktu untuk beristirahat. “Maafkan saya, Pak. Saya benar-benar pusing karena … kurang tidur,” ujar Kara akhirnya, meminta pengertian Michael. Michael memandang remeh dan sinis ke Kara, merasa geram akan sikap gadis itu pagi ini, dia yang baru saja bertemu putrinya setelah sekian lama pergi, lalu dia yang ingin mengajaknya sarapan pagi di luar untuk memenuhi janjinya, juga ingin bersenang-senang. Tapi, Kara seolah merusak suasana pagi dan tentu putrinya yang kecewa. “Saya pusing, Pak. Saya….” Kara tidak bisa melanjutkan kata-katanya, ketakutan dan kecemasan menyelimuti dirinya saat ditatap tajam Michael. Tiba-tiba saja dia tidak bisa menguasai tubuhnya dan dia yang hampir limbung. Dengan cepat Michael menahan tubuh Kara dengan kedua tangan kokohnya memegang punggung Kara, hingga tanpa sengaja mereka berdua yang saling tatap, tatapan Kara yang lemas penuh rasa takut, dan Michael dengan tatapan tajamnya, tertuju ke bibir mungil Kara dan sekilas ke d**a. Kara tampak berusaha untuk kuat dan tangannya bergerak menolak Michael. Saat Michael memastikannya berdiri, Kara berjalan lunglai menuju kursi kecil dan duduk di atasnya. Michael akhirnya yakin bahwa Kara yang mungkin saja memang pusing, apalagi dia melihat wajah Kara yang pucat. “Kamu istirahat saja,” ujarnya melunak. “Kak Kara sakit,” lirih Michelle kecewa, wajahnya cemberut dan tertekuk sedih. “Iya, Michelle. Aku pusing.” “Karena main hape semalam, ‘kan?” “Michelle—” Michael mendekati Kara, “Istirahatlah,” ujarnya, dan sikapnya yang berubah baik. Kara mengangguk lemah. Tak lama kemudian, Michael menghubungi seseorang agar segera memberi perawatan khusus untuk Kara. Lalu dia mengajak Michelle untuk tetap pergi tanpa Kara. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN