Bab 4. Gabriel Telah Lahir

1194 Kata
Kara terpana melihat langsung penampakan Michael di depannya, sempat bergidik, karena ternyata Michael memiliki tubuh jangkung dan wajah dengan rahang yang kokoh. Dia memang tampan dan memesona, tapi terkesan sangat bengis. Saat kejadian di malam itu, Kara tidak bisa melihat papi Michelle itu dengan jelas, karena kamarnya yang hanya diterangi lampu temaram, juga Michael yang langsung membungkamnya. “Saya Kara, pengasuh Michelle dan … saya hamil.” Kara langsung memberanikan diri mengatakan keadaannya. Padahal dalam hatinya sudah tumbuh benih kebencian terhadap pria keturunan Inggris ini dan dia yang ingin lari saja. Michael tertawa sinis, melirik perut kecil Kara. “Trus kamu mau apa?” “Ini anak Bapak.” Kara menunjuk ke perut kecilnya, dan dia merasa usia kehamilannya sudah lebih dari tiga bulan. Tawa Michael bertambah keras. “Kamu sebaiknya pergi dari kantor ini sebelum aku panggil security. Jangan mengada-ada,” katanya saat tawanya reda, dan dia memandang Kara dengan sinis. Kara sudah mengira akan begini, bahwa Michael yang pasti enggan bertanggungjawab. Lagi pula dia sudah tahu sedikit tentang sisi gelap kehidupan Michael, yang suka “jajan” dengan banyak perempuan. Dia berpikir bahwa ada banyak perempuan yang menjadi korban keganasan Michael, mengadu hamil kepadanya dan pria brengesek itu yang ogah bertanggung jawab. Kara berbalik, dan berjalan cepat menuju lift, tidak mau menoleh ke belakang dan ingin segera tiba di kamar kosnya. Pikiran Kara berkecamuk, usia kehamilannya sudah lebih dari tiga bulan dan dia tidak memeriksakannya ke bidan atau ke klinik selama ini. Dia memilih bungkam dan merahasiakan kehamilannya, merawatnya sendiri melalui informasi yang dia baca dan pahami dari internet. “Ayahmu kejam, jangan pernah mengenalinya,” ujar Kara bermonolog, menatap nanar sekujur tubuhnya di cermin dan dia yang harus siap menghadapi masalah besarnya. *** Intan terkejut saat melihat sebuah notif di ponselnya, bahwa dia menerima uang sejumlah delapan ratus ribu dari seseorang bernama Berliana. Sama persis dengan jumlah uang yang dia pinjamkan ke Kara beberapa bulan yang lalu, tapi siapa Berliana? Intan langsung menghubungi nomor kontak Kara, tapi tidak ada jawaban. Sejak Kara pergi dari kamar kosnya, Kara tidak pernah menghubunginya lagi, dan dia pun sudah merelakan uang yang dipinjam Kara. Dia yakin uang yang diterimanya barusan adalah dari Kara, dan Kara yang tidak ingin dia hubungi. “Halo?” Intan mengangkat ponselnya dan menyapa orang yang menghubunginya. “Intan.” “Kara?” “Aku baru saja mengirim uang.” “Ini nomor kamu yang baru?” “Ya, simpan ya.” “Kamu ah. Jangan begitu. Apa kabarmu?” “Aku sehat.” “Bayimu?” “Ya.” “Oh, aku pikir kamu menggugurkannya. Apa kamu sudah bertemu papa Michelle?” Terdengar helaan napas kesal di ujung sana. “Ya, dan dia mengusirku.” “Ck, persoalan yang sedang kamu alami ini umum sekali, Kara. Sudahlah, jangan temui dia lagi.” “Iya. Percuma dan dia yang berkuasa. Aku yakin ada banyak perempuan yang menjadi korbannya.” “Tentu saja dan jangan heran. Dia saja punya anak tapi bukan hasil pernikahan, itu baru satu kasus. Oiya, kamu kerja di mana sekarang?” “Aku kerja di toko kelontong besar di sini. Gajinya lumayan, tapi harus kerja keras.” “Sebaiknya hati-hati, Kara.” “Aku bisa jaga diriku.” Intan menelan ludahnya kelu. “Kabari aku ya?” “Iya, Intan. Hm … terima kasih.” “Ck, jangan begitu … aku bukan orang lain.” “Ya.” Lalu Kara menyudahi panggilannya, pamit karena dia yang harus segera bekerja. Intan berdecak dan menggeleng, berharap ini adalah masalah terakhir yang dihadapi Kara, dan Kara yang tetap kuat menjalani hari-harinya. Kara memang memiliki segudang masalah yang tidak berkesudahan, berasal dari keluarga berantakan, ayah dan ibunya yang bercerai sejak dia kecil dan dia yang dirawat nenek sebelah ayahnya. Kara pernah tinggal di rumah ibunya, dan dia malah dilecehkan ayah tirinya. Lalu pindah lagi ke rumah neneknya, dan seorang paman yang melecehkannya. Akhirnya, Kara memutuskan pergi dari keluarga yang tidak mempedulikan dirinya, dan tinggal berpindah-pindah di kota Jakarta. *** Beberapa bulan kemudian, Kara pagi ini sudah bersiap kerja, tapi dia mendadak mulas dan dia pun menyadari bahwa waktunya melahirkan. Dia langsung menghubungi atasannya dan meminta izin libur, meminta sambil mengejan hebat. Kara meletakkan ponselnya dan dia yang sudah tidak tahan, seperti hendak buang air besar. Untungnya dia sudah siaga sejak dua minggu lalu dengan peralatan yang lengkap untuk melahirkan, dan dia yang mempelajari bagaimana cara melahirkan sendirian tanpa bantuan orang lain. Kara berjuang keras pagi itu, kadang duduk, kadang rebah, dan dia sudah memegang gunting, dan tubuhnya bermandi peluh. Pagi yang sunyi di sekitar kos, karena semua penghuni pergi bekerja dan keadaan gedung kos yang kosong. “Akh.” Kara merasa lega saat bayi sudah keluar dari kemaluan dan dia dengan sigap dan hati-hati menggendong bayi, dan langsung menyusukannya. Kara memejamkan matanya saat merasakan perih di s**********n, tapi entah kenapa rasa sakit perlahan hilang saat menyusu dan bayinya yang tenang di dadanya. *** Tidak ingin bermasalah dengan banyak orang, Kara berkemas dan pindah dari kosan. Dan dia berusaha sebisa mungkin agar kelahiran bayinya tidak diketahui. Kara tahu apa yang akan terjadi jika pemilik kos mengetahui dia yang melahirkan di kamar itu, pasti akan marah besar dan meminta ganti rugi uang dengan jumlah yang sangat besar karena sepinya peminat saat tahu sejarah kamar itu. “Jadi pindah ke mana, Kara?” tanya Intan melalui ponsel. “Aku pindah ke apartemen kecil, sudah hampir satu bulan.” “Bayimu?” “Sehat, Gabriel namanya.” “Oh, Kara. Aku ingin datang ke apartemenmu.” “Ya, datang saja, aku akan kirimkan alamat.” “Kamu butuh uang?” “Aku masih punya simpanan, Intan. Aku juga sudah daftar bekerja di gedung apartemen ini sebagai petugas kebersihan.” “Gabriel?” “Sepertinya aku akan menitipkan saja, ada tempat penitipan di gedung ini dan … harganya yang agak kemahalan.” “Kamu memang nggak pernah menyerah dengan keadaan, Kara.” Kara mengangguk lesu, tapi dia mendadak semangat saat melihat bayi mungilnya tertidur pulas. “Iya, aku harus kuat, Intan.” *** Michael sedang berada di rumah orang tuanya sore ini, dan dia bertemu mamanya. “Menikahlah, Michael. Michelle sudah sah jadi anakmu, dan dia yang pasti membutuhkan sosok mama,” ujar Huda, mama Michael. Michael berdecak kecil, bagaimana dia mau menikah sementara dirinya tidak pernah mempercayai pernikahan. Menurutnya pernikahan adalah malapetaka dan tidak akan mendatangkan kebahagiaan. Terlebih, pernikahan keduaorangtuanya yang buruk selama ini. “Mama tau kamu yang hanya melihat sisi buruk pernikahan, pernikahan mama dan papamu misalnya. Mama akui kami memiliki hubungan yang kurang baik, tapi bukan berarti kamu jadi enggan menikah.” “Aku belum punya pilihan, Ma.” “Mama sudah siapkan untukmu. Namanya Freya dan dia adalah perempuan sempurna, dia cantik, pintar dan lulusan dari Cambridge. Dia pasti bisa mengimbangi kamu.” Michale tertawa sinis. “Tunggu apa lagi, Michael.” “Aku belum mau, Ma.” Huda menghela napas panjang, dan raut wajahnya yang muram. “Mama dan papamu baik-baik saja, ya … kita tahulah papa itu bagaimana, tapi dia tetap bertanggung jawab dan tetap baik sama keluarga.” Michael menelan ludahnya, menatap wajah letih mamanya, yang menyimpan banyak luka. “Aku akan mempertimbangkannya,” ujarnya, tapi tidak yakin. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN