Kara tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis seharian, pintu kamar yang dikunci dari luar, dan ponselnya yang ditahan. Dia sesekali berteriak, tapi sepertinya percuma dan sia-sia, tidak ada yang peduli, hingga akhirnya dia tertidur.
Malam harinya, Kara terkejut, lampu kamar yang tiba-tiba menyala dan dia melihat Michael yang datang, langsung mendekap dan melumat penuh bibirnya. Dia berteriak lagi, tapi suaranya parau sampai dia yang tidak bertenaga.
“Bersihkan tubuh kamu,” ujar Michael setelah berpakaian, Kara memang tidak melakukan apa-apa seharian ini selain tidur, karena letih dan takut.
Kara menangis terisak. “Sakit, Pak.”
Michael mendengus tersenyum. “Kalo kamu menikmatinya, tidak ada rasa sakit. Kamu akan terbiasa setelah ini. Percayalah.” Michael mengacak rambut Kara yang kusut, lalu pergi begitu saja dari kamar Kara.
Kara meringkuk, dia tidak mau mandi karena pikirannya yang kusut.
***
Kara bangun di awal pagi dan dia mendengar suara-suara di luar kamar.
“Dari kemarin pagi Michelle dititipkan di rumah opanya.”
“Nggak sama baby sitternya?”
“Nggak, Kara malah digarap sama pak Michael.”
“Astaga. Bukannya tenang Michelle sudah jadi anaknya, malah kelakuan semakin menjadi-jadi.”
“Ya gitu.”
“Trus Kara di mana?”
“Di kamar, ini aku mau kasih dia makan. Kata pak Michael dia dilarang keluar dulu.”
“Nggak dengar suaranya?”
“Ya tidurlah, masih pagi ini.”
Terdengar pintu dibuka dan Heni terkejut melihat Kara yang ternyata sudah bangun dan duduk di tepi tempat tidurnya.
Heni meletakkan baki berisi makanan lengkap di atas meja samping tempat tidur, lalu berdiri di depan Kara yang duduk dengan wajah lesunya.
“Kara, pak Michael pesan kamu harus mandi,” ujar Heni hati-hati, ada rasa iba tapi dia juga tidak berdaya.
Kara mengangguk pelan, dia tahu percuma berbicara atau bertanya-tanya, Heni yang menurutnya tidak akan peduli kepadanya.
Melihat Kara yang diam saja, Heni pun pergi ke luar dari kamar.
Kara memandang nanar kepergian Heni dan dia berdecak kecil. Tapi, dia merasa aneh karena tidak mendengar suara pintu dikunci dari luar. Dia pun tergerak memeriksa pintu, melangkah pelan menuju pintu, menggerakkan pegangan pintu dan ternyata memang tidak dikunci. Kara yakin Heni lupa menguncinya.
Kara berbalik, melihat makanan dan minuman dan dia yang merasa sangat lapar. Dia pun makan dengan lahap sampai habis tak tersisa.
Kara tidak peduli pesan dari Michael agar dia membersihkan diri, dia malah berkemas dan diam-diam pergi.
***
Kara sudah sampai di kamar kos temannya dan dia langsung mandi. Pikirannya masih kacau dan sempat berpikir seandainya Michael mencarinya, tapi dia tidak yakin.
“Kara?”
“Hai, Intan.”
Intan, teman satu kos Kara, mendekati Kara dan duduk di dekatnya, dia memperhatikan Kara dengan seksama. “Apa yang terjadi?” tanyanya. Melihat wajah Kara yang sedih, dia yaki nada hal buruk yang terjadi pada diri teman satu kamarnya itu.
“Aku diperkosa.”
“Ha?”
“Tenang, aku akan pergi dari sini kalo kamu keberatan dengan keberadaanku di sini.”
Intan terdiam, memandang Kara dan dia refleks mundur dari Kara.
Kara mengerti apa yang dipikirkan Intan sekarang. “Maaf, Intan.”
“Ka … kamu diperkosa siapa?”
“Papinya Michelle.”
“Astaga.”
Kara menghela napas panjang, tatapannya nanar dan hampa ke depan.
“Kara, kamu boleh tetap di sini.”
Kara menggeleng lemah, “Aku nggak mau melibatkan kamu, Tan. Aku … aku hanya ingin meminjam uang, untuk pergi jauh.”
Intan mengerti apa yang dikhawatirkan Kara dan dia bersedia meminjamkan uang ke Kara.
Sebenarnya ada banyak yang ingin Intan tanyakan kepada Kara saat itu, tapi dia tidak sampai hati untuk bertanya karena melihat wajah kusut dan kuyu Kara. “Kalo kamu mendapatkan kesulitan, jangan sungkan untuk datang kemari dan meminta bantuan dariku,” ujarnya.
Kara mendengus tersenyum. “Aku akan ke sini saat uangku sudah cukup dan aku akan kembalikan kepadamu.”
“Nggak perlu begitu, Kara. Aku tau kamu nggak punya siapa-siapa lagi,” ujar Intan, mengkhawatirkan temannya. Sebelumnya Kara juga pernah mengalami musibah, dia dibegal saat pulang malam dari restoran tempatnya bekerja, dan dia yang membantu keuangan Kara. Namun, Kara mengembalikan uangnya tepat waktu. Kara juga pernah menjadi korban pelecehan bapak kos, dan dia bungkam. Lagi-lagi, Intan juga yang ikut menyelesaikan masalahnya.
Kara menatap serius wajah Intan dan dia bertekad tidak ingin menyusahkan.
***
Sudah dua bulan Kara tinggal di kamar kos sederhana di kawasan kumuh Jakarta. Dia juga bekerja di sebuah warung kelontong yang tidak jauh dari kamar kosnya. Entah kenapa dia merasa sangat lemah dalam beberapa hari ini, dan dia akhirnya memeriksakan diri ke puskesmas terdekat. Tanpa diduga, pegawai yang memeriksanya langsung menduga dia yang sedang hamil.
Kara terkejut bukan main dan dia langsung pulang dengan perasaan kalut dan khawatir.
Berpikir untuk menggugurkan kandungannya, Kara membaca banyak artikel tentang cara untuk menghilangkan janin. Tapi, seketika dia merasa bersalah saat membaca akhir kalimat di salah satu artikel yang dia baca, bahwa tindakan menggugurkan kandungan dengan sengaja itu tidak dibenarkan dan suatu saat akan mendapat ganjaran yang buruk, perasaan bersalah dan penyesalan yang tidak berujung.
Kara bimbang dan tidak semangat, dihadapi pikiran-pikiran buruk dan kekhawatiran. Dia akhirnya memutuskan untuk mendatangi Michael di kantornya, meminta pertanggung jawaban.
***
Kara sebenarnya sudah merasa pihak Michael yang pasti tidak akan mau menerima kenyataan bahwa dia yang sedang mengandung benih Michael, dan tidak mungkin pula Michael yang mau menikahinya. Dia hanya gadis biasa dan Michael adalah orang terpandang dan memiliki banyak uang. Namun, Kara setidaknya bisa berharap Michael memberinya sejumlah uang untuk biaya hamil dan persalinan nanti, juga biaya lain-lainnya. Jika tidak didapatkan, Kara akan meminta gaji yang belum dibayarkan kepadanya saat bekerja hampir satu bulan lamanya di rumah Michael, sebagai pengasuh Michelle.
Sudah tiga kali Kara mendatangi kantor Michael, dan Michael yang selalu tidak ada di tempat. Keempat kalinya, dia nekat naik ke atas setelah mendapatkan infomasi ruang kerja Michael di lantai dua puluh empat, dan dia berhasil bertemu Michael.
“Kamu?”
Bersambung