Bab 7. Awal Perkenalan

1077 Kata
Michael mengumpat sebal, baru saja bangun dari tidur paginya dan matanya yang masih menahan kantuk, mamanya menghubungi dirinya. “Halo,” sapanya malas-malasan. “Michael, ya ampun suaramu kenapa serak begitu. Kamu baru bangun?” “Aku lembur semalaman, Ma. Ada apa?” “Kapan kamu berangkat ke Sangatta?” “Aku sudah bilang mimggu depan.” “Hari apa, Mike?” “Jumat.” Michael menyingkap selimut tipisnya dan duduk di tepi tempat tidur. “Oh, syukurlah. Kamu ke rumah malam ini ya? Freya akan datang dari Bandung.” “Mama—“ “Hei, ayolah. Atau Mama suruh Juno menjemputmu.” Michael memegang dahinya dan dia yang masih mengantuk. “Oke. Aku akan ke sana.” Terdengar hela napas lega di ujung sana dan Michael langsung menutup ponsel tanpa ucapan selamat tinggal. Turun dari tempat tidur, Michael sebentar menuju jendela apartemen besarnya, melihat pemandangan luar kota Jakarta yang sudah sangat sibuk pagi ini. Mendengus sinis, dia sudah sibuk semalam hingga tengah malam. Tiba-tiba dia merasa tubuhnya menghangat, dan anggota tubuh bawahnya menegang. Dalam dua tahun ini dia tidak sangat sibuk dan tidak punya waktu bersenang-senang dengan perempuan-perempuan. Mengingat nama Freya, entah kenapa dia bergejolak, dan ingin menuntaskan hasratnya. Michael pergi ke kamar mandi, dan masuk ke dalam ruang kaca, membiarkan sekujur tubuhnya diguyur air shower, dan memuaskan diri sampai pelepasan. *** Hari ini adalah hari Kara meninjau keadaan rumah lansia yang akan dia rawat. Dia juga membawa serta Gabriel, dan Dito yang menemaninya. Kara tampak puas dengan keadaan rumah dan fasilitas-fasilitas yang akan dia dapatkan selama bekerja. Kamar yang besar dan tempat tidur nyaman, dengan kamar mandi di dalamnya, beserta dapur kecil khusus di dalam kamar. “Saya pikir menjaga Caleb jauh lebih mudah dari pada pak Utsman. Kamu tahu sendiri si mantan jenderal itu, kasar karena kebiasaan saat muda dulu. Nah, yang satu ini sudah nggak bisa apa-apa lagi. Burungnya saja sudah tidak bisa berdiri.” “Astaga, Pak Ditooo.” “Jadi saya yakin kamu bisa merawat Caleb.” “Pak Caleb.” “Beliau tidak suka dipanggil ‘Pak’, Lovely.” “Oh.” “Biar dianggap muda selamanya.” Kara tertawa kecil, lalu menoleh ke Gabriel yang tampak senang dan betah di rumah bergaya Italia. Dito juga ikut memperhatikan Gabriel, tersenyum hangat. “Anakmu betah sepertinya,” ujarnya bergumam. “Iya, Pak. Saya harap dia betah dan ... saya jamin dia nggak akan mengganggu.” “Saya percaya, Lovely. Saya bisa melihat dari sorot mata birunya.” “Iya, Pak.” Dito menghela napas panjang sambil sekilas melirik Kara, mengingat perkenalannya dengan Kara dan dia yang sempat bertanya tentang ayah Gabriel, tapi Kara dengan tegas tidak ingin memberitahunya, dan itu adalah ranah yang sangat pribadi, dan Dito mengerti. “Hm ... pasti mata ayahnya.” “Iya, Pak.” Entahlah, Dito terdetak lagi melihat Gabriel, seolah mengingat seseorang, tapi dia tidak terlalu serius menanggapi intuisinya. Tak lama kemudian, muncul Huda dan dia tersenyum lebar ke arah Kara. Dia juga melihat Gabriel dan wajahnya berbinar-binar, dan dia membiarkan Gabriel asyik berjalan ke sana ke mari di rumahnya yang luas, tapi anak itu tampak sangat hati-hati. “Hai, Lovely,” sapa wanita berkerudung itu. Kara langsung menunduk hormat, suara Huda membuat perasaannya menghangat dan dia merasa tenang. Huda langsung mengulurkan tangan kanannya, dan Kara pun menyalaminya. “Saya Lovely Karamelia Fauziya.” Mata Huda terbelalak mendengar nama panjang Kara. “What a lovely name. Cantik dan indah sekali nama kamu, kamu ... hm ... cantik dan manis.” Kara tersenyum mengangguk, entah kenapa pujian ini dirasa sangat tulus dari mulut wanita berwajah Arab, tidak sesuai dengan wajahnya yang terkesan angkuh, justru sikapnya yang hangat dan ramah. “Sudah lihat keadaan suami saya?” tanya Huda kemudian. “Sudah, Bu. Saya yakin saya bisa bekerja dengan baik.” “Saya sudah mendengar cerita tentang kamu dari Dito, hm ... dulu merawat Jenderal dan saya yakin sangat menantang.” Kara lagi-lagi mengangguk, merawat dan mengasuh lansia hanya butuh kesabaran tak terbatas dan fisik yang kuat, dan dia yang sanggup melakukannya. “Saya ikut berduka, Lovely.” “Iya, Bu.” Utsman meninggal dunia di saat Kara sedang menemani istrinya berbelanja dan kesehatannya yang memang sudah menurun dalam beberapa minggu terakhir, juga dia yang kecewa dengan keputusan salah satu anaknya yang akhirnya memilih pindah ke luar negeri. “Luar biasa kamu yang bisa merawat sampai bertahun-tahun.” “Satu tahun lebih, Bu,” ralat Kara. “Oke.” Huda tampaknya tidak mau memperpanjang pembicaraan tentang duka. Dia beralih ke Gabriel yang mendekati mereka. “Hai,” sapanya. Gabriel tersenyum manis dan melambaikan tangannya, wajahnya terlihat malu-malu. Huda menunduk, memperhatikan Gabriel dengan seksama. “Siapa nama anak ganteng ini?” “Abil, Bu,” jawab Gabriel tanpa malu-malu, dia belum bisa menyebut namanya dengan jelas. “Gabriel, Bu,” ralat Kara cepat. “Oh, haha. Lucu sekali, panggil Oma Huda ya?” “Oma Uda,” tanggap Gabriel masih dengan senyum cerianya. Huda menjawil dagu Gabriel, “Manisnya,” pujinya, senang dengan sikap Gabriel yang menyenangkan. “Suka rumah Oma Huda?” Gabriel mengangguk semangat. “Ada kolam renang juga di belakang.” “Olam Lenang?” Huda gantian mengangguk, dan Gabriel tersenyum lebar. Perkenalan yang cukup baik pagi itu dan semua terlihat puas, Kara yang senang karena nyonya rumah yang sangat ramah dan alim, Huda juga terlihat yakin Kara bisa bekerja dengan baik, memuji fisik Kara yang kuat dan lengan yang tegap, serta pak Dito yang juga puas melihat mereka yang langsung akrab. Kara dijadwalkan mulai bekerja mulai minggu depan. “Jadi dia tidak menikah tapi punya Gabriel?” tanya Huda memastikan, saat Kara sudah pulang dari rumahnya. “Iya, Bu. Dia ... tidak mau kehidupan pribadinya ditanya-tanya.” “Aku mengerti soal itu. Hm ... jadi ingat Michael, punya anak tapi tidak menikah. Kenapa banyak sekali kasus seperti ini sekarang,” gumam Huda sesal. Dito mengangguk kecil, menyadari ada kesamaan Kara dan anak atasannya, yang sama-sama merupakan orang tua tunggal dari anak-anak hasil dari hubungan gelap. Dia sebelumnya sempat menduga bahwa Kara yang mungkin merupakan eks PSK, tapi setelah mengenal Kara dan mengamatinya, dia menampik dugaannya, dan menurutnya Kara adalah perempuan tangguh dan bukan perempuan yang gampang dibeli dengan materi. Bagaimanapun, dia jadi penasaran dengan kehidupan Kara. *** Michael melirik sekilas arloji di tangan, dan bergegas bersiap-siap. Dia ingin memenuhi janjinya untuk datang ke rumah orang tuanya sore ini. Dia langsung menghubungi sopir agar bersiap-siap menjemputnya dari kantor, mengantarnya ke rumah orang tuanya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN