“Kok belum mulai-mulai ya?” Chica bergumam bingung sambil mengamati ke arah set untuk pemotretan hari ini.
Saat ini, Mia dan Chica tengah duduk berdua di teras kafe, tempat akan dilakukannya sesi foto prewedding hari ini. Pengambilan gambar di dalam kafe seharusnya sudah dilakukan sekitar 15 menit yang lalu, tetapi sampai sekarang belum juga dimulai. Padahal, Mia sudah selesai merias Lila sejak tadi.
Mia ikut mengamati ke dalam, memperhatikan kasak-kusuk yang tengah terjadi di antara tim Klix dan Tita.
“Ada masalah gitu?” gumam Mia curiga.
Tepat saat itu juga, Tita berbalik badan dan menatap Mia, lalu kembali bicara dengan Lio. Tidak lama kemudian, Lio berjalan meninggalkan set menuju lantai atas, lalu Tita berjalan menghampiri Mia.
“Mbak, diminta ke atas sebentar," ujar Tita dengan wajah kusut.
“Siapa yang minta?” Padahal tanpa bertanya pun Mia sudah bisa menebak karena ia jelas-jelas melihat Lio naik barusan.
“Mas Lio,” jawab Tita gugup.
“Mau apa?” tanya Mia curiga.
“Tita enggak yakin sih, tapi kayaknya berhubungan sama sesi foto yang pertama hari ini.”
“Kayaknya ada masalah ya?” tanya Chica penasaran.
Tita tidak berani menanggapi pertanyaan Chica. Ia malah menarik-narik Mia agar berdiri. “Cepetan yuk, Mbak! Moodnya Mas Lio lagi jelek. Dari tadi marah-marah.”
Lio itu memang terkenal sebagai fotografer yang perfeksionis. Jika ada hal yang berjalan tidak sesuai dengan rencananya, Lio bisa jadi sangat kesal dan menakutkan.
Meski enggan, Mia naik juga ke atas. Semakin lama pemotretan dimulai, semakin lama juga pekerjaannya selesai. Mia menaiki tangga dengan malas-malasan, menuju lantai atas kafe yang saat ini kosong. Tempat ini memang dibooking seharian oleh Tita sehingga tidak ada tamu yang datang kecuali orang-orang yang berkepentingan dalam sesi foto hari ini.
“Duduk, Na!” ujar Lio kaku ketika melihat Mia muncul di tangga teratas.
Mia menghampiri meja tempat Lio duduk. “Ada apa?”
“Na, kamu baca brief buat sesi hari ini?” tanya Lio tanpa basa-basi.
“Baca," jawab Mia heran. “Kenapa?”
“Riasannya enggak sesuai,” ujar Lio dengan nada kesal.
Mia mengernyit tidak suka. Sikap Lio saat ini mengingatkan Mia pada perdebatan pertama mereka tentang sunrise. “Enggak sesuai gimana?”
“Di brief udah jelas ditulis, Na. Suasana santai, pakaian kasual, riasan natural,” jawab Lio tegas.
“Terus, masalahnya apa?” tanya Mia dengan nada menantang.
“Masalahnya riasan dan gaya rambut Lila sama sekali enggak cocok dengan bajunya.”
“Siapa yang bilang enggak cocok?” tanya Mia gusar.
“Aku," jawab Lio datar.
“Kenapa?”
“Gaya rambutnya terlalu kaku, kesannya resmi. Riasannya juga tebal, terlalu mencolok. Kesan kasual dan naturalnya enggak dapet pas diframe. Belum lagi sama dandannya Arya, kebanting jadinya.”
Konsep foto mereka di sesi pertama ini adalah menampilkan keseharian pasangan calon pengantin. Semuanya ingin dibuat sealami mungkin, bukan seperti settingan.
“Tapi menurut aku itu udah cocok,” sahut Mia ngotot.
“Enggak cocok, Na,” bantah Lio gusar.
“Sejak kapan dandanan klien jadi urusan kamu juga?” Mia mulai terlihat keki.
“Sejak dulu. Kalau memang enggak sesuai pasti aku komplain.”
“Emangnya menurut kamu tatanan rambut yang santai itu kayak apa?” tantang Mia.
“Digerai saja sudah cukup rasanya.”
“Memangnya santai itu selalu digerai?” Mia tertawa sinis. “Standar banget.”
“Tapi itu kelihatan natural, Na.”
“Naturalnya cewek sama cowok beda kali,” ujar Mia dingin. Menurutnya, dandanan Lila hari ini sudah santai dan terlihat natural, kenapa juga malah diprotes?
“Tapi ini enggak cocok sama konsep fotonya, Na,” ujar Lio berkeras.
“Terus kalo kamu ngotot bilang enggak cocok, jadinya kamu mau apa?"
"Perbaiki riasannya.”
"Hah?" Mia tercengang mendengar nada bicara Lio yang terkesan memerintah. Selama ini, Mia belum pernah melihat sisi diri Lio yang seperti ini.
"Sesuaikan dengan yang aku minta," ujar Lio lagi.
Namun, bukan Mia namanya kalau bisa dengan mudah tunduk pada perintah orang lain, apalagi yang jelas-jelas bertentangan keinginannya. "Kenapa enggak konsep fotonya aja yang menyesuaikan sama riasan?"
"Enggak bisa, Na.” Lio menggeleng tegas. “Riasan harus mengikuti arahan yang udah dibuat. Jadi kamu harus perbaiki."
"Seenaknya aja kamu!” desis Mia geram. “Enggak sekalian aja kamu yang makeup sendiri? Enak banget nyuruh-nyuruh!"
"Kalau gitu sekalian aja kamu yang foto mereka!" balas Lio tidak kalah kesalnya.
"Oke!" Mia menerima dengan berani tantangan Lio.
Tita, Chica, dan Mamat yang sejak tadi bersembunyi di anak tangga sambil mendengarkan perdebatan keduanya, seketika muncul untuk melerai pertengkaran aMia dan Lio yang sepertinya akan semakin memanas jika dibiarkan.
"Mas, Mbak, udah dong jangan pada berantem," bujuk Tita sambil menghampiri dengan tergesa.
Mamat segera meraih lengan Lio dan menarik-nariknya. "Mas, turun yuk! Udah telat nih."
"Gue enggak akan kerja sampai semua diperbaiki sesuai brief," ujar Lio dingin.
"Mati lo …!” desis Chica yang berdiri tepat berseberangan dengan Mamat.
Chica dan Mamat saling melempar tatapan memelas, berharap para bos mereka bisa kembali waras dan tidak lagi melanjutkan huru-hara ini. Lalu, seolah bisa saling mentransfer pikiran lewat kode mata, Mamat mengisyaratkan Chica untuk membujuk Mia juga. Intinya, Mia dan Lio harus dipisahkan untuk saat ini agar bisa saling menenangkan diri.
"Mbak, turun yuk! Riasannya kita perbaiki yuk. Rambutnya udah Chica ubah kok," bujuk Chica semanis mungkin.
"Gue enggak mau nurunin standar biar sesuai sama maunya orang yang sok ngatur ini," sahut Mia angkuh.
"Aduh, jadi gimana dong ini?" keluh Tita di tengah-tengah. Kepalanya pusing sejadi-jadinya. Andai sesi pemotretan hari ini sampai batal, Tita bisa dilumat oleh Erwan saat kembali ke kantor nanti.
"Gue mau ke mobil. Jangan panggil gue sampe waktunya ngerias sesi kedua.” Mia segera membalik tubuhnya kemudian berlalu tanpa peduli pada wajah-wajah bingung yang lain.
Setelah meninggalkan lantai atas, Mia langsung menuju mobilnya dan diam di sana untuk menenangkan diri. Mia tidak tahu apa yang terjadi di dalam dan dia tidak mau tahu. Jengkelnya pada Lio benar-benar bertumpuk. Andai Lio bicara dengan cara yang lebih baik, tidak memerintah dan arogan seperti tadi, mungkin respon Mia juga tidak akan sedemikian kerasnya.
Sekitar satu jam kemudian, kaca mobil Mia diketuk dari luar oleh Lio. Pemuda itu memberi isyarat agar Mia membukakan pintu. Sebenarnya Mia enggan, tetapi melihat beberapa pasang mata tertuju ke arah mereka, mau tidak mau ia bukakan juga pintu untuk Lio.
Pemuda itu langsung membuka pintu dan duduk dengan santai di sisi Mia. Lio mengulurkan segelas kopi hangat ke arah Mia. "Diminum, Na."
Mia menyambutnya setengah hati. Bukan karena ingin kopi, melainkan lebih karena takut cairan hangat itu akan tumpah ke atas kursinya.
"Mau apa ke sini?" tanya Mia dingin.
Lio menoleh ke samping sambil tersenyum samar. "Masih kesal?"
"Mau ngajak ribut lagi?" tanya Mia sinis.
"Kok ngomongnya gitu, Na?" balas Lio antara lelah dan sedih.
Mia mengangkat bahunya. "Tiap ketemu emang kita ribut terus kan?"
"Kamu benar sih." Lio mengangguk perlahan. Jika diingat-ingat, sejak ia mulai bertemu lagi dengan Mia, waktu-waktu pertemuan mereka selalu diisi dengan perdebatan. "Na, kenapa ya kita jadi begini?"
Mia melirik sepintas. Suara Lio yang terdengar janggal membuat Mia heran. "Begini gimana?"
"Ya seperti yang kamu bilang.” Lio mengembuskan napasnya perlahan. “Kita jadi berdebat terus, ribut terus. Susah sekali buat akur."
"Emang kapan kita akur?" tanya Mia sinis.
"Dulu,” gumam Lio. Matanya perlahan terlihat menerawang jauh. “Dulu banget."
Jawaban Lio membuat Mia jadi ikut berpikir.
"Tapi begini masih lebih baik sih, Na," ujar Lio tiba-tiba.
"Lebih baik dari apa?" tanya Mia tidak mengerti.
Lio tersenyum sumbang. "Kalau dibanding waktu kita saling diam, berlagak enggak kenal, begini masih lebih baik."
Mia tersentak. Ia tahu yang Lio maksud.
"Kamu jangan marah lagi ya.” Tiba-tiba saja suara Lio melembut. “Maaf kalau tadi aku terlalu ngotot."
Mia tercengang. Lio yang tadi begitu arogan, kini dengan mudahnya meminta maaf.
"Habis ini kamu mau merias untuk sesi kedua kan?"
Mia mengangguk kaku sebagai jawaban.
"Jangan kesal lagi ya." Tanpa permisi Lio mengusap pelan kepala Mia, lalu segera membuka pintu. "Aku turun dulu."
Sikap berdamai yang Lio tunjukkan mau tidak mau membuat Mia juga harus menurunkan egonya. Sesi pemotretan hari ini harus dituntaskan jika tidak ingin menyusahkan banyak pihak. Sekesal apa pun, Mia harus berusaha profesional. Setelah menenangkan diri beberapa saat lagi, Mia turun dari mobil dan melaksanakan tugasnya.
Usai merias Lila untuk sesi kedua, Mia memilih duduk di teras, ditemani oleh Chica.
"Udah baikan, Mbak?" tanya Chica hati-hati.
"Baikan apa?"
"Sama Mas Lio."
Mia memutar bola matanya. "Emang siapa yang marahan?"
"Ya kalian," jawab Chica sambil nyengir.
"Marahan …, baikan .... Kamu kira aku sama dia pacaran?"
Chica manggut-manggut polos. "Keliatannya sih kayak yang iya."
"Jangan ngaco deh!" omel Mia sebal.
"Tadi di mobil Mas Lio ngomong apa aja Mbak?" tanya Chica penasaran.
"Gitu aja," balas Mia malas.
"Kasih tau dong," pinta gadis itu.
"Usilan deh!"
"Emang." Chica menyahut geli.
Lucunya, Mia tidak bisa benar-benar menutup mulut seperti yang diinginkannya. Dengan mudah Mia akan bercerita dan memuaskan keingintahuan Chica.
"Dia heran kenapa aku sama dia ribut mulu. Kayak kucing sama anjing tiap ketemu."
"Ih, sama!” Chica berseru spontan. “Chica juga heran."
Mia mendelik gusar. Khawatir suara Chica terdengar pihak-pihak lain.
"Tapi dulu Mbak sama Mas Lio emangnya enggak suka debat?" tanya Chica lagi.
"Dulu banget pas SMA ya akur."
"Terus sejak kapan jadi gini?"
"Baru sekarang."
"Eh, Mbak Mia kan pernah bilang kalo setelah SMA kalian itu ketemu lagi. Tapi bukan sekarang maksud Chica."
"Hm.” Mia mengangguk membenarkan. “Pas kuliah."
"Oh, kalian kuliah bareng?" gumam Chica takjub. Satu info baru lagi yang Chica dapatkan tentang hubungan Mia dan Lio.
"Enggak bareng, cuma satu kampus. Jurusan kan beda."
"Kok bisa samaan kampusnya?” Chica tersenyum menggoda. “Mbak Mia ngikutin Mas Lio ya?"
"Amit-amit sih, Cha!" Mia mendelik sebal.
Chica tidak peduli dengan pelototan Mia, ia terus saja bertanya. "Terus pas kuliah suka kebetulan ketemu?"
"Iya. Kadang ketemu."
"Kalo ketemu perang mulu kayak sekarang?"
"Boro-boro.” Mia langsung menggeleng. “Yang ada kita saling diem-dieman. Enggak pernah saling sapa. Kalo kebetulan papasan pura-pura enggak liat. Kayak yang enggak kenal aja."
Mia jadi teringat perkataan Lio di mobil tadi. Perangnya mereka sekarang, bagi Lio masih terasa lebih baik ketimbang hari-hari mereka bersikap saling dingin dan berlagak tidak kenal. Sejujurnya, harus Mia akui, ia pun lebih memilih seperti ini. Lebih baik perang mulut daripada perang dingin.