22. Perut Bule

1678 Kata
Suara ketukan pelan di pintu ruang kerja Mia mengalihkan perhatian gadis itu dari laporan bulan yang tengah diperiksanya. "Mbak …," panggil Chica hati-hati dari depan pintu. "Kenapa, Cha?" balas Mia heran. Tidak biasanya Chica memanggil dari luar begini. Biasanya gadis itu langsung nyelonong masuk saja dengan enaknya. Perlahan pintu terbuka lalu kepala Chica menyembul dari celah pintu. "Ada tamu." "Klien?” Mia mengernyit bingung. Refleks ia langsung melirik jam dinding sambil mengingat-ingat jadwalnya. “Bukannya masih nanti siang ya?" "Bukan klien, Mbak." Chica meringis serba salah. "Terus siapa?" tanya Mia mulai curiga. Chica kembali meringis sebelum menjawab. "Mas Lio." Benar saja kecurigaan Mia! Ternyata tamu tak diundang dan yang kehadirannya tidak diharapkan. "Mau apa dia?" tanya Mia malas. "Katanya ada yang mau diobrolin buat persiapan proyek minggu depan sama Mbak Mia." "Kamu bilang aku ada?" "Iya." Chica mengangguk takut-takut lalu langsung menggumamkan pembelaan dirinya. "Soalnya ada mobil Mbak Mia segede gitu nampang di depan pintu utama, masa Chica bilang enggak ada." "Bilang aja aku lagi pergi sama siapa gitu, mobilnya ditinggal," tolak Mia malas. Enggan rasanya menemui Lio di luar kewajiban pekerjaan.  "Na, perginya sama aku aja yuk!" Suara Lio yang tiba-tiba terdengar menanggapi penolakan Mia jelas membuat gadis itu langsung terkejut. "Cha …?" Mia menatap horor ke arah Chica yang masih setia berdiri di balik pintu. Tepatnya pintu yang hanya terbuka sedikit saja hingga kepala gadis itu seperti terjepit. Matanya seolah menyiratkan pertanyaan kenapa Chica tidak memberitahu kalau Lio ada di depan pintu juga. "Maaf, Mbak." Perlahan pintu terbuka lebar dan tampaklah sosok Lio di belakang Chica. Pantas saja gadis itu tidak berani membuka pintu lebar-lebar tadi. Rupa-rupanya karena ada Lio. "Jangan marahin Chica, Na,” bela Lio cepat. Ia tidak tega kalau sampai Chica didamprat Mia dengan pedas. “Aku yang maksa mau ikut di belakang Chica." “Mbak, Chica ke bawah dulu ya.” Gadis itu cepat-cepat berlari terbirit ke bawah sebelum Mia memarahinya. Setidaknya untuk beberapa waktu ke depan Chica bisa terhindar dari murka sang bos. Syukur-syukur Lio bisa menjinakkannya, jadi Chica tidak akan kena omel. “Aku boleh masuk, Na?” tanya Lio sambil melangkah masuk. “Enggak dikasih juga pasti maksa masuk,” balas Mia ketus. Lio bersiul kemudian tersenyum geli. “Judesnya ….” “Duduk deh!” ujar Mia galak. Lio berjalan menghampiri Mia, tetapi tidak langsung duduk. Ia malah mengajukan pertanyaan tidak penting yang membuat Mia mengernyit bingung.  “Na, udah sarapan belum?” “Belum.” “Temenin aku sarapan yuk!” ajak Lio santai. “Enggak mau,” tolak Mia tanpa perlu berpikir dulu. “Yah, kok gitu?” Wajah Lio jelas menunjukkan kekecewaan. “Kamu ke sini mau ngomongin kerjaan kan?” balas Mia datar. “Iya.” “Ya udah langsung bahas kerjaan aja. Jangan malah ngajak makan.” Lio manggut-manggut paham. Sadar kalau percuma membujuk Mia. Segera ditariknya kursi dan bersiap duduk.  “Tadinya aku pikir mau ngobrol sekalian makan. Soalnya aku belum makan dari kemarin siang. Tapi kalau kamu enggak mau ya enggak apa-apa. Aku makannya setelah dari sini aja.” Mia mendelik terkejut mendengar ucapan Lio. “Ayo, cari makan!" Perkataan itu refleks meluncur dari bibir Mia tanpa direncanakannya. Sontak Lio tercengang. "Tadi katanya enggak mau." "Nanti mati kelaperan enggak makan-makan." Dalam hati Mia bertanya-tanya, kenapa juga ia harus peduli? Lio mengulum senyum mendengar jawaban Mia. "Kenapa enggak makan dari kemarin siang?" tanya Mia lagi. "Enggak sempat." "Ada kerjaan?" Rasanya Mia ingin mencubit bibirnya sendiri yang tidak bisa berhenti bertanya. "Hm.” Lio mengangguk mengiakan. “Tengah malam baru selesai. Mau makan udah malas." "Kalo udah sakit, baru tau repotnya," gumam Mia ketus. Alih-alih tersinggung, Lio malah tersenyum bahagia. "Makasih ya, Na." "Makasih kenapa?" "Udah perhatian sama aku." Mia mencibir sinis. "Perhatian apanya?" Sejujurnya Mia sendiri tidak mengerti dengan dirinya. Entah mengapa juga ia harus peduli kalau Lio belum makan, tetapi hal itu terjadi begitu saja. Entah mengapa ia harus menunjukkan perhatian pada Lio, ia sendiri tidak mengerti. Setelah terjadi, barulah Mia menyesal dan dilanda malu.  "Enggak, lupain.” Lio menggeleng cepat. Lio tahu Mia pasti akan dilanda malu, jadi ia memilih menghentikan saja bahasan ini. “Mau makan apa?” tanya Mia. “Ada saran?” Mia berpikir beberapa saat. “Mau makanan Indo, Asia, Barat?” “Apa aja boleh.” “Gado-gado bisa?” “Bisa.” “Yakin?” “Yakin,” jawab Lio disertai anggukan pelan. “Beberapa tahun terakhir ini udah mulai bisa.” Hati Lio seketika diliputi bahagia. Tanpa Mia sadari, gadis itu menunjukkan kalau ia masih mengingat kebiasaan Lio dulu. Saat mereka dekat dulu, Lio memang paling sulit kalau diajak makan masakan Indonesia. Bukan lidahnya yang tidak mau terima melainkan perutnya. Lio cenderung mulas-mulas setelah memakan masakan Indonesia yang berlimpah bumbu. Maklum, perut bule. “Oke.” Mia mengangguk kecil. Ia segera berdiri, menyambar dompetnya, lalu berjalan menuju pintu. Lio segera menyejajari langkah Mia. “Tempatnya jauh?”  “Emang kenapa?” “Kalau dekat kita jalan kaki aja. Kalau jauh baru naik kendaraan.” “Enggak terlalu jauh, tapi kalau jalan kaki gempor juga.” “Kalau gitu mau pakai mobil kamu?” tawar Lio. Mia memberikan tatapan heran pada Lio. “Kenapa enggak mobil kamu aja?” “Hari ini aku pakai motor. Kamu mau naik motor sama aku?” tanya Lio sambil meringis jail. “Kalau kamu mau sih aku dengan senang hati bonceng kamu.” Mia segera menggeleng kencang lalu memutuskan, “Naik mobil aku aja!” Lio terkekeh pelan. “Takut kotor ya naik motor?” “Bukan,” jawab Mia datar. “Takut rambutnya berantakan?” tebak Lio geli. “Bukan.” Suara Mia mulai terdengar sebal. “Risih karena pakai dress?” tebak Lio lagi. Mia melotot kesal. “Bukan.” “Kalau gitu kenapa?” “...” Mia memandangi Lio dan terlihat salah tingkah. “Aku tahu!” ujar Lio tiba-tiba. “Apa?” Lio tersenyum sangat lebar sebelum menjawab. “Takut nempel-nempel sama aku ya?” “Udah tau nanya!” desis Mia keki. Ia segera mempercepat langkahnya menuruni tangga. Namun, Lio terus menyamakan langkahnya dengan Mia. “Masa takut sama aku?” “Udah deh! Mau berangkat enggak ini?” Lio menadahkan tangan ke arah Mia di anak tangga terbawah. “Kunci mobil kamu mana?” “Buat apa?” tanya Mia curiga. “Biar aku yang nyetir.” “Kenapa kamu yang nyetir?” “Biar kamu enggak capek. Cukup tinggal duduk santai di sebelah aku.” Mia berdecak malas. “Capek dari mana? Udah biasa kali nyetir sendiri.” “Biasa kan enggak ada aku,” ujar Lio santai. “Kalau ada aku, kamu enggak perlu capek, enggak perlu repot. Selama lagi sama aku, aku bakal pastikan kamu selalu nyaman.” “Buset …, mulai gombal dia,” bisik Mia sambil bergidik ngeri. Namun, diberikannya juga kunci mobilnya pada Lio. Entah demi menghentikan gombalan Lio, atau karena ingin mencicip rasanya dimanjakan oleh seseorang yang spesial. Eh? Spesial?! “Aku enggak gombal, Na,” bantah Lio tenang. “Aku serius.” “Berangkat deh, yuk! Tambah lama nih!” Mia segera ngibrit menuju mobilnya dan duduk manis di kursi penumpang.  Sekitar 30 menit kemudian, keduanya sudah duduk berhadapan di sebuah kedai makanan yang menjual aneka masakan Indonesia, salah satunya gado-gado. Tempat ini merupakan salah satu favorit Mia karena rasa masakannya lezat, tempatnya bersih, dan harganya sepadan. Begitu dua piring gado-gado terhidang di atas meja, Lio langsung menyantapnya. Maklum, ia sudah kelaparan sejak tadi. Uhuk! Namun, baru saja satu suapan masuk ke mulut Lio, pemuda itu langsung terbatuk. “Kenapa?” tanya Mia kaget. Refleks ia menyorongkan segelas teh hangat ke depan Lio. Pemuda itu langsung meneguknya. Setelah batuknya reda, wajah Lio terlihat memerah dan napasnya sedikit terengah. “Ini pedas banget,” ujar Lio dengan suara seperti tercekik. “Kayaknya ketuker sama punya aku.” Mia meringis geli kemudian menukar piring mereka. Sedikit kasihan juga melihat Lio kewalahan seperti tadi. Begitu menyantap piring yang satunya, Lio bernapas lega. Rasanya manusiawi dan bisa diterima lidah Lio. “Kamu masih suka makan pedas, Na?” tanya Lio sambil menatap ngeri pada piring Mia. “Hm.” Mia mengangguk santai. “Kurangi makan pedasnya, Na,” tegur Lio lembut. “Supaya enggak terlalu pedes kalo ngomong?” tanya Mia teringat ejekan Lio beberapa waktu lalu. “Bukan.” Lio menggeleng sungguh-sungguh. “Enggak baik buat perut kamu, Na.” Sikap Lio yang sedang serius ini membuat Mia jadi sedikit salah tingkah.  “Kamu masih enggak bisa makan pedas?” tanya Mia berbasa-basi. “Udah lumayan bisa. Tapi kalau pedasnya kayak yang itu sih aku nyerah.” Keduanya menghabiskan makan sambil berbincang santai. Sesekali jelas masih diwarnai perdebatan, tetapi setidaknya semua aman. “Jadi, mau bahas apa?” tanya Mia usai piring mereka tandas. “Aku mau bahas buat pemotretan minggu depan.” “Yang mana ya?” Mia mengernyit, mencoba mengingat-ingat. Kalau tidak salah, minggu depan jadwalnya cukup padat. Ada lima pekerjaan yang harus ditanganinya.  “Pemotretan buat Gladys Studio.” “Yang buat pagar ayu sama penari itu?” tanya Mia memastikan. “Iya.” “Apa yang mau kamu bahas?” “Mau memastikan aja kalau riasannya nanti sesuai dengan konsep yang diinginkan,” ujar Lio serius. Dalam hati, diam-diam Mia mengagumi sikap Lio. Pemuda itu bisa menempatkan diri sesuai situasi dengan sangat baik. Sebentar ia bisa terlihat santai, sebentar hangat dan bersahabat, sebentar menyebalkan, lalu detik berikutnya serius serta profesional. Harus Mia akui, ia jelas tidak bisa melakukan itu. Mia terlalu mudah terbawa perasaan, dan sulit mengubah suasana hati sesuai keadaan. “Kan udah ada brief,” jawab Mia santai. “Aku tahu.” Lio mengangguk cepat. “Aku cuma enggak mau sampai ada kejadian kayak kemarin lagi.”  Mia hanya diam. Enggan rasanya membahas lagi pertengkaran konyol mereka di proyek yang lalu. “Aku enggak mau kita ribut lagi di lokasi karena miskom,” lanjut Lio. “Ribut-ribut di kerjaan mah biasa kali. Santai aja,” ujar Mia berusaha terdengar biasa saja. Perlahan, Lio tersenyum samar. “Buat aku, ribut karena urusan pekerjaan sama kamu itu hal yang sia-sia, Na.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN