Eps. 7 Tetangga Baru

1445 Kata
Hati Berlian rasanya hancur bagai diremas seperti remahan kertas yang ada di tangannya, kusut tak berbentuk. Kenapa di saat dia dihadapkan pada masalah pria yang selama ini selalu menjadi sandaran kokohnya dengan mudahnya menghempaskan dirinya dengan alasa tak masuk akal—hutang. Kemana perginya cinta melimpah untuk dia selama ini? Uang begitu mudah menggantikan semuanya dan merajai segala sesuatunya di dunia ini. Hah! Berlian hanya bisa menghela napas berat semakin terhimpit oleh tekanan masalah hidup. Tubuh Berlian roboh di depan pintu, tidak kuat menahan beban masalah yang semakin menekan. Dia merasa seperti dihantam oleh badai kesedihan yang tidak ada habisnya. Air mata mengalir deras dari matanya, dan suaranya terisak-isak dalam tangisan yang tidak terkendali. Berlian merasa seperti kehilangan segala-galanya, tidak hanya harta benda, tapi juga harga dirinya. Hayu yang ada di dalam rumah mendengar suara tangisan Berlian dan segera keluar untuk melihat apa yang terjadi. Saat dia membuka pintu, dia melihat Berlian tergeletak di lantai, tubuhnya terguncang oleh tangisan yang tidak terkendali. Hayu terkejut dan khawatir, segera berlari ke arah Berlian dan memeluknya erat. “Berlian, apa yang terjadi? Kenapa kamu menangis seperti ini?” tanya Hayu, mencoba menenangkan Berlian. Namun, Berlian hanya terus menangis, tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Hayu masih merasa bingung ada apa sebenarnya, lalu dia melihat kertas yang diremas di dekat tubuh Berlian dan membukanya. Saat dia membaca isi kertas itu, wajahnya berubah menjadi sedih. “ Berlian, ini... ini hasil sidang perceraian? Dan kamu tidak mendapatkan warisan apa-apa?” Tubuh Hayu yang awalnya tenang kini ikut tergoncang dan gemetar. Duta memang benar-benar keterlaluan. Berlian hanya mengangguk, masih menangis. Hayu ikut sedih dan memeluk Berlian erat. “Selama ini Duta adalah sosok suami yang baik tapi sekalinya dia menyimpang kenapa parah begini? Apa yang dia lakukan padamu? Putriku tidak pantas diperlakukan seperti ini olehnya!” Hayu memeluk Berlian lebih erat, mencoba menenangkan dan memberikan dukungan kepadanya. Hanya ini yang bisa dilakukannya sekarang. Dua wanita yang dalam kesusahan ini kemudian masuk ke rumah dan mengunci pintunya rapat daripada ada tamu tidak diundang lagi yang akan memberikan laknat yang membuat mereka harus mengumpat kasar sebelum mereka minggat dari rumah ini. Dalam kesedihan yang masih membayang mereka berdua saling menghibur sampai keadaan benar-benar tenang. “Kamu nggak perlu lagi memikirkan Duta. Meski menyesakkan tapi kamu beruntung sekarang bisa mengetahui sikap aslinya seperti apa daripada kamu terus hidup dengannya dan terjebak dalam bayangan palsu keindahan,” tutur Hayu sembari mengusap lembut rambut panjang Berlian yang duduk bersandar di sampingnya. “Ya, Ibu benar. Untuk apa aku menangisi pria ba-jingan itu? Ini adalah air mataku terakhir untuknya. Setelah ini tidak akan pernah ada air mata lagi yang jatuh.” Berlian mengusap lembut titik-titik air mata yang tersisa dari pelupuk mata. Dia berjanji pada dirinya sendiri akan menuntut balas dari setiap titik air matanya yang jatuh pada Duta suatu saat nanti. Butuh waktu selama beberapa saat untuk menenangkan dan menata emosinya kembali menjadi stabil. Setelah helaan napas yang panjang dan cukup berat, Berlian akhirnya bicara. “Bu, aku sudah menemukan tempat tinggal yang baru untuk kita sementara waktu. Sekarang ayo kita pergi dari rumah ini secepatnya,” ujar Berlian di tengah sesak yang masih menghimpit dadanya dan mencoba untuk tegar dengan menampilkan senyum tipis di muka. “Ya, Ibu sudah siapkan semuanya, termasuk barang-barangmu. Tinggal bawa saja beberapa koper itu.” Hayu menuju ke sebuah sudut ruangan di mana di sana ada lima koper besar berjajar rapi. ** Setelah beberapa jam perjalanan, Berlian dan Hayu akhirnya tiba di rumah baru mereka, sebuah rumah sewaan yang sederhana namun nyaman. Saat mereka memasuki rumah, mereka langsung merasakan suasana yang berbeda. Rumah itu terletak di daerah yang tenang, dengan pemandangan sawah yang hijau dan udara yang segar. “Rumah ini sangat nyaman,” celetuk Hayu sambil melihat sekeliling. “Ibu suka sekali dengan tempat ini.” Berlian tersenyum, merasa sedikit lebih lega ibunya cocok dengan tempat pilihannya. “Ya, Ibu, aku juga suka dengan tempat ini. Aku pikir kita bisa melupakan semua masalah di sini untuk sementara waktu.” Hayu mengangguk setuju. “Ibu setuju, Nak. Ibu merasa sudah cukup dengan semua drama di rumah lama kita.” Berlian memeluk Hayu. “Aku juga, Ibu. Aku janji, kita akan memulai hidup baru di sini, dan kita akan bahagia.” Mereka berdua kemudian berjalan-jalan di sekitar rumah, menikmati suasana yang tenang dan damai. Mereka merasa seperti telah menemukan oasis kecil di tengah badai masalah yang mereka hadapi. Rumah sewaan itu menjadi tempat perlindungan bagi mereka, tempat mereka bisa merasa aman dan nyaman. -- Sore hari, Berlian berada di teras dan menyirami beberapa pot bunga yang ada di sana. Tiba-tiba, dia melihat Mahesa yang baru selesai dan kembali dari ladang dengan masih mengenakan sepatu boot. Mahesa menyapa Berlian dengan senyum hangat. “Sore, Berlian! Bagaimana rumah barumu? Sudah merasa nyaman tinggal di sini?” Mahesa bertanya sambil membersihkan sepatu bootnya dari sisa tanah basah yang menempel pada bagian ujungnya. Berlian tersenyum. “Sudah nyaman, Mahesa. Terima kasih sudah membantu aku mencarikan rumah ini." Mahesa mengangguk. "Senang bisa membantu. Bagaimana dengan keadaan sekitar? Sudah terbiasa?” Berlian mengangguk. “Sudah, aku suka sekali dengan suasana di sini. Udara yang segar dan pemandangan sawah yang indah.” Mahesa tersenyum. “Ya, aku juga suka sekali dengan tempat ini. Aku ingin tinggal di sini seterusnya.” Mereka berdua kemudian mengobrol tentang keadaan sekitar, seperti cuaca yang sedang baik-baik saja dan hasil panen yang melimpah. Obrolan mereka berlangsung ringan dan santai, membuat Berlian merasa lebih nyaman dengan tetangga barunya. Sejenak dia lupa bila Mahesa adalah target utamanya karena sifat pria itu di luar ekspektasinya, ramah dan mudah akrab dengan orang baru. Hayu keluar dari rumah setelah mendengar Berlian bicara dengan seseorang. Saat dia melihat tetangga baru mereka, dia terkejut. Menurutnya Mahesa adalah seorang lelaki tampan dengan wajah yang kuat dan mata yang tajam. Rambutnya yang hitam dan sedikit keriting menambah kesan yang gagah pada dirinya. Meskipun hanya seorang petani, Mahesa memiliki aura yang natural dan elegan. Berlian memperkenalkan Hayu kepada Mahesa. “Mahesa, ini ibuku.” Dia kemudian memperkenalkan Hayu pada Mahesa. “Ibu, dia tetangga dekat kita dia juga yang mencarikan rumah ini untukku, namanya Mahesa,” jelasnya tanpa menyebutkan detail dan menerangkan bila pria itu sebenarnya adalah target utamanya. Mungkin untuk saat ini biarlah dia sendiri yang tahu, sedangkan Hayu akan dia beritahu nanti setelah semuanya jelas. Mahesa tersenyum dan menyambut Hayu dengan hangat. “Selamat sore, Tante. Senang berkenalan denganmu.” Hayu tersenyum dan membalas sapaan Mahesa. “Ya, Pak Mahesa.” Mahesa menggelengkan kepala. “Nggak perlu panggil Pak, Tante. Aku masih muda, jadi cukup Mahesa saja.” Berlian hanya tersenyum tipis saja mendengar Mahesa bicara. Memangnya pria itu tahu usianya? Dia saja amnesia bagaimana bisa mengingat semuanya? Hayu tersenyum dan bergabung dalam pembicaraan dengan Berlian dan Mahesa. Mereka berdiskusi tentang kehidupan di desa, pertanian, dan kehidupan sehari-hari. Hayu merasa nyaman dengan Mahesa yang ramah dan santai. Dia tidak menyangka bahwa tetangga baru mereka akan menjadi seseorang yang begitu menyenangkan. Berlian terlihat beberapa kali menatap intens Mahesa kala pria itu bicara dengan Hayu. Mahesa merasa diperhatikan oleh Berlian. Dia mengalihkan sejenak perhatiannya dari Hayu dan menatap Berlian. Tatapan mereka bertemu untuk sesaat, dan Mahesa merasa ada sesuatu yang tidak biasa dalam tatapan Berlian itu. Berlian memiliki ekspresi yang tenang, namun ada sesuatu yang dalam dan intens dalam matanya yang membuat Mahesa merasa tidak nyaman. 'Kenapa ... tatapan itu terasa aneh sekali? Entah, tatapan itu sangat berbeda dan aku tidak bisa mengartikannya.' Mahesa tidak bisa menjelaskan apa yang dirasakannya, namun dia merasa ada semacam koneksi yang tidak terucapkan antara dia dan Berlian. Tatapan mereka berlangsung hanya beberapa detik, namun Mahesa merasa seperti waktu berhenti sejenak. Mahesa merasa penasaran, namun dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan perasaan itu. Berlian kemudian mengalihkan pandangannya, dan Mahesa merasa seperti terbangun dari suatu keadaan yang tidak biasa. Dia kembali fokus pada Hayu dan melanjutkan percakapan, namun dia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak terucapkan antara dia dan Berlian. “Tante, bila memerlukan sesuatu atau butuh sesuatu dan dalam kesulitan bisa datangla padaku. Sesama tetangga kita harus saling membantu,” ucapnya di ujung percakapan. “Ya, Tentu. Terima kasih atas tawarannya, semoga kita bisa menjadi tetangga yang baik ya?” Mahesa kemudian berpamitan untuk masuk ke rumah. Di dalam rumah, dia melepas sepatu boot kemudian duduk sejenak di kursi rotan yang ada di sudut ruangan untuk menyandarkan sejenak punggungnya yang terasa kaku. Pikirannya kemudian jatuh pada Berlian. “Apa Berlian tahu sesuatu mengenai diriku dengan tatapan tadi? Aku rasa dia mengetahui banyak hal tentang diriku. Siapa sebenarnya dia? Mungkin aku harus sering berinteraksi dengan dia untuk mengetahui siapa dirinya dan juga mencari identitasku dari wanita itu,” gumamnya lirih dengan kalimat menggantung di udara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN