Eps. 6 Mencari Hunian Baru

1411 Kata
Berlian menyandarkan tubuhnya yang terasa berat ke daun pintu yang sudah terkunci rapat. Dia tidak akan membuka akses lagi bagi para penagih hutang untuk membuat hidupnya yang sudah berantakan semakin kacau lagi. Tidak untuk setelah ini! Dan tidak untuk selamanya! Berlian kemudian segera pergi dari ruang tamu dan kembali masuk ke dalam. Di sana ada Hayu yang duduk dengan pikiran yang memenuhi isi kepala. Wanita itu masih sedih dan terpukul dengan meninggalnya Hadyan yang mendadak juga bingung bagaimana caranya melunasi hutang-hutang suaminya, sedangkan saat ini tidak ada yang tersisa untuk dibayarkan. Berlian menghampiri dan ikut duduk di samping Hayu, mencoba untuk menghibur agar tidak terus larut dalam masalah ini. “Ibu, aku tahu kamu sedang mengalami banyak tekanan. Tapi aku ada di sini untukmu.” Hayu memandang Berlian dengan mata yang berkaca-kaca. “Ibu nggak tahu bagaimana bisa menghadapi semua ini, Sayang. Ibu merasa seperti tidak ada jalan keluar.” Berlian memegang tangan Hayu. “Aku tahu ini tidak mudah, tapi masih ada aku. Ibu bisa menyerahkan masalah ini padaku. Dan aku punya ide. Sebaiknya kita pindah dari rumah ini, sementara waktu. Ini akan membantu kita untuk mendapatkan ketenangan dan jarak dari semua masalah ini.” Hayu memandang Berlian dengan mata yang penasaran. “Pindah dari rumah ini? Tapi di mana kita bisa tinggal?” Berlian tersenyum.“Aku bertemu seseorang yang tinggal jauh dari sini. Di sana aku melihat ada beberapa rumah kosong di daerah itu. Kita bisa tinggal di sana sementara waktu. Ini akan membantu kita untuk mendapatkan ketenangan dan memikirkan langkah selanjutnya juga memulai babak baru dalam kehidupan.” Hayu memandang Berlian dengan mata yang penuh harapan. “Ibu setuju saja bila kamu punya rencana demikian. Aku tidak tahu apa yang aku lakukan tanpa kamu, Berlian. Menurutmu kapan kita akan pindah?” Bahkan Hayu langsung setuju seketika tanpa berpikir panjang. Dia berada dalam kondisi terpuruk. Bila terus diposisikan dalam keadaan seperti ini bukan hanya harus menanggung beban berat dalam hidupnya tapi juga makin lama dia makin tertekan dan tidak menutup kemungkinan dia akan depresi. “Secepatnya, Bu, kita akan pindah dari sini. Sebaiknya Ibu mulai packing dari sekarang. Besok aku akan mencari informasi dan setelahnya baru kita akan pindah.” Hayu hanya mengangguk saja sebagai respons ditengah beban yang masih menghimpitnya. ** Berlian mendatangi kembali Mahesa di sebuah tempat baru di mana terakhir kali dia bertemu dengannya beberapa waktu yang lalu, tepatnya di sebuah pedesaan yang jauh dari keramaian kota. Tempat ini dikelilingi oleh sawah dan hutan yang hijau, dengan udara yang segar dan suara burung yang merdu. Terlihat Mahesa berada di tengah sawah yang hijau dan subur, dikelilingi oleh tanaman padi yang tumbuh dengan baik. Sebagai petani, dia tidak bisa melakukan banyak hal di sini selain merawat tanaman dan menunggu hasilnya. Pekerjaannya sehari-hari adalah memantau kondisi tanah, menyiram tanaman, dan memupuknya agar tumbuh dengan baik. Dia juga harus waspada terhadap hama dan penyakit yang dapat merusak tanaman. Mahesa bekerja keras dari pagi hingga sore, dengan harapan dapat memanen hasil yang baik dan memenuhi kebutuhan hariannya. Dia sangat mencintai pekerjaan barunya ini sebagai petani. Dia menjeda sejenak pekerjaannya ketika melihat Berlian datang ke arahnya. Dia masih ingat padanya, juga namanya. Mahesa menyambut Berlian dengan senyum hangat. “Apa kabar, Berlian? Kenapa kamu kembali datang ke sini?” Mahesa berkata sambil menawarkan tempat duduk. Sejenak Berlian memperhatikan senyum pria itu. Pria yang merupakan tersangka dari kasus penipuan ayahnya yang seharusnya dia benci, melempar senyum padanya dengan ramah. Dan sekarang dia malah minta tolong padanya. Ironis! Rasanya aneh sekali. Namun, dia tepis rasa itu terlebih dulu untuk tujuan utamanya. Pelan tapi pasti dia akan menjerat Mahesa ke meja hijau. Tapi untuk sekarang dia harus membuat posisinya dan Hayu aman terlebih dulu di tempat ini. Berlian duduk kemudian membahas tujuan kedatangannya. “Mahesa, aku membutuhkan informasi tentang tempat tinggal. Aku sedang mencari rumah yang bisa ditempati sementara waktu oleh dua orang.” Mahesa mengangguk paham. “Rumah?” Mahesa tersentak sejenak. “Aku tahu ada beberapa rumah kosong di daerah ini. Aku bisa membantu kamu mencarikan tempat yang sesuai.” Mahesa kemudian memberitahu Berlian tentang beberapa rumah kosong yang dia ketahui di sekitar tempat ini. “Ada beberapa rumah kosong di sekitar sini yang bisa kamu pertimbangkan. Salah satunya adalah rumah kosong di dekat rumahku sendiri. Rumah itu milik Pak Tua, yang sudah tidak tinggal di sini lagi. Rumah itu cukup besar dan memiliki halaman yang luas.” “Rumah yang dekat dengan rumah kamu?” Berlian tertarik dengan informasi tersebut. Menurutnya bila bertetangga dengan Mahesa itu lebih baik lagi karena dia bisa memantau pria itu lebih lama. “Rumah itu sepertinya bisa menjadi pilihan yang baik. Berapa biaya sewanya?” Mahesa tersenyum. “Pak Tua tidak meminta biaya sewa yang mahal. Dia hanya ingin rumahnya dirawat dengan baik.” Berlian tersenyum lega. “Terima kasih, Mahesa. Aku senang kamu bisa membantu aku. Bila begitu bisakah kamu mengantarku sekarang bertemu dengan Pak tua itu?” “Ya, tentu saja.” Mahesa bersikap biasa seperti selayaknya sikap yang biasa dia tunjukkan pada yang lain tidak ada kecurigaan sama sekali pada Berlian. Mahesa kemudian mengantar Berlian bertemu dengan Pak Tua, pemilik rumah yang akan disewa oleh Berlian. Rumah yang akan disewa itu adalah sebuah rumah sederhana dengan dua kamar tidur, satu ruang tamu, dan satu dapur. Rumah itu terletak di samping persis rumah Mahesa, yang juga merupakan rumah sederhana dengan satu lantai. Sedangkan rumah Mahesa memiliki halaman yang kecil dengan beberapa tanaman hias, dan terlihat rapi dan bersih. Rumah yang akan disewa oleh Berlian memiliki kondisi yang sama dengan rumah Mahesa, hanya saja lebih besar sedikit dan memiliki halaman yang lebih luas. Mahesa menemui Pak Tua dan menjelaskan padanya bila ada seseorang yang ingin menyewa rumah. Pak Tua kemudian menyambut Berlian dengan hangat dan menjelaskan tentang rumahnya. Berlian berbicara dengan Pak Tua, pemilik rumah, setelah melihat seluruh isi rumah. “Pak, aku sangat suka dengan rumah ini. Aku ingin menyewanya. Berapa harga sewanya?” Pak Tua tersenyum. “Aku menetapkan harga sewa yang tidak terlalu mahal. Aku hanya ingin rumah ini dirawat dengan baik. Aku pikir lima ratus ribu per bulan sudah cukup.” Tarif yang disebutkan oleh Pak tua sangat miring sekali. Selain kondisinya nyaman yang terpenting dia dekat dengan Mahesa dan selalu bisa mengawasi pria itu. Berlian setuju dan mengeluarkan uang tunai dari tasnya. “Baiklah, Pak. Saya akan membayar sewa untuk satu tahun ke depan sekaligus. Berapa totalnya?" Pak Tua menghitung dan menyebutkan nominalnya yang kemudian langsung dibayar oleh Berlian. “Terima kasih sudah membayar lunas di depan. Tolong jaga dan rawat rumah ini dengan baik selama menempatinya.” Pak tua kemudian menyerahkan kunci rumahnya pada Berlian. ** Berlian kembali ke rumah untuk menjemput Hayu untuk mengajaknya pindah ke rumah baru. “Ibu ... aku kembali dengan membawa kabar baik. Aku sudah menemukan tempat tinggal baru yang nyaman untuk kita huni,” ucap Berlian riang di depan pintu. Dia mengayun tangan untuk mendorong pintu terbuka namun tatapannya kemudian jatuh pada selembar amplop yang tergeletak di lantai. “Apa ini?” Berlian mengambil amplop surat itu dan membukanya. Saat itu juga, wajahnya berubah menjadi pucat pasi. Surat itu berasal dari pengadilan agama, dan isinya membuat Berlian syok. Hasil sidang perceraian telah keluar, dan pembagian warisan juga telah ditentukan. Namun, yang membuat Berlian syok adalah bahwa dia tidak mendapatkan warisan sepeser pun dari Duta, meski sebenarnya itu bukan hal penting baginya tapi fakta itu sangat menyakitkan. Berlian merasa tidak percaya dan kecewa. Dia tidak menyangka bahwa hasil sidang perceraian akan seperti ini. Berlian berdiri di depan pintu, termenung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. “Ini ... tidak adil namanya,” desah Berlian di tengah kemarahan. Surat yang ada di tangannya diremas dengan kasar hingga kusut dan tak berbentuk. Hatinya pun ikut kusut saat ini karena hal itu. Dia kesal sekali dengan hasil keputusan yang menurutnya sama sekali tidak adil. Bagaimana bisa dia sampai tidak mendapatkan pembagian harta perceraian sepeser pun? Padahal setahunya harta gono gini dibagi secara adil bagi kedua belah pihak. Tapi ini apa? Keputusan berat sebelah dan tidak memihak dirinya sama sekali. “Pasti ini ulah Duta. Pria itu ... aku baru tahu telah salah menikahi seorang pria yang aku kira benar-benar mencintaiku. Tapi aku baru sadar bila dia tidak benar-benar mencintaiku dan dia lebih cinta pada harta,” desisnya dengan menampilkan raut muka kemarahan yang bercampur dengan kekecewaan juga kesedihan yang mendalam. Rasa bahagianya seketika hancur oleh hasil keputusan yang timpang itu. “Duta ... kamu akan mendapatkan balasan nantinya. Tunggu saja, kamu pria sialan!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN