Eps. 5 Kamu Tidak Pura-Pura?

1126 Kata
Berlian masih penasaran juga belum yakin bila Mahesa benar-benar amnesia. Beberapa waktu yang lalu pria itu baik-baik saja meski dalam kejaran polisi, tapi kenapa tiba-tiba amnesia begini? Baginya semua butuh bukti bukan semata dari tampilan mengenaskan. Mungkin orang lain bila melihat kondisi Mahesa saat ini akan tertipu tapi tidak dengan Berlian. Dia mengajukan beberapa pertanyaan lagi untuk membuktikan dugaan tersebut. “Mahesa, aku ingin memastikan sesuatu.” Berlian bicara dengan nada serius. Mahesa memandang Berlian dengan mata kosong. “Apa itu?” Suaranya datar saat bicara menatap Berlian. “Apa benar kamu mengalami amnesia?” Mahesa mengangguk pelan. “Ya, aku tidak ingat apa-apa tentang masa laluku. Entah, ada apa denganku. Rasanya susah untuk mengingat sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu yang nggak kuketahui. Mungkin aku amnesia seperti yang kamu bilang, tapi kurasa tidak, memang ada hal yang belum bisa aku ingat saja,” balasnya tanpa ekspresi. Berlian memandang Mahesa dengan mata yang penuh kekhawatiran. “Aku nggak percaya,” ucapnya namun menampar keras bagi yang mendengarnya. “Aku yakin kamu hanya berpura-pura lupa.” Mahesa menggelengkan kepala. “Nggak, aku benar-benar nggak ingat apa-apa. Aku nggak tahu siapa aku, dari mana aku berasal, atau apa yang aku lakukan sebelumnya. Mungkin kamu mengenalku? Sejak tadi kamu terus memanggilku dengan nama itu. Apa itu namaku?” balasnya jujur, merasa tidak mengenal nama yang disebut Berlian. Berlian memandang Mahesa dengan mata yang penuh penasaran, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Mahesa. Dia memandang Mahesa dengan mata yang penuh kecurigaan, lalu membuat kesimpulan sendiri. “Aku percaya kamu, Mahesa. Kamu memang benar-benar mengalami amnesia,” ucapnya menyimpulkan. Berlian tidak tahu apa sebabnya Mahesa mengalami amnesia, tapi dia yakin bahwa Mahesa tidak berpura-pura. Dia memutuskan untuk meninggalkan Mahesa sendirian, berharap bahwa suatu hari nanti Mahesa bisa mengingat kembali masa lalunya dan membantu dirinya. “Aku akan kembali lagi nanti, Mahesa. Sebaiknya kamu mengingat aku. Ingat, Berlian akan sering datang kemari mengunjungimu,” ucapnya di ujung kata sebelum pergi dengan penuh penekanan di setiap katanya dan juga tatapan tajamnya. Berlian pergi dengan sejuta tanya, memikirkan tentang Mahesa dan apa yang sebenarnya terjadi pada pria itu. Dia berharap bisa membantu Mahesa mengingat kembali masa lalunya, tapi untuk sekarang, dia hanya bisa menunggu dan melihat. Yang jelas kondisi amnesia itu tidak akan membuatnya melepaskan Mahesa begitu saja. Mahesa menatap punggung Berlian yang sudah berlalu menjauh darinya dengan intensitas yang kuat. Dia baru tahu namanya Berlian, dan wajahnya yang cantik serta sikap berani itu terukir dalam ingatannya. Dia berharap wanita itu bisa membantunya mengingat sesuatu tentang masa lalunya. “Mahesa ... Mahesa ...,” gumamnya mengulang nama itu berulang kali, mencoba merasakan apakah itu memang namanya. Tapi, tidak ada reaksi apa pun dalam dirinya. Nama itu terdengar familiar, tapi tidak ada emosi atau kenangan yang terkait dengannya. Mahesa merasa frustrasi dan bingung. Siapa dia sebenarnya? Apa yang terjadi dengan masa lalunya? Dan apa yang bisa dia lakukan untuk mengingat kembali? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya, membuatnya merasa semakin tidak pasti tentang dirinya sendiri. “Siapa aku sebenarnya?” desah Mahesa sembari menjatuhkan tubuhnya yang kokoh pada kayu lapuk yang ada di belakangnya, meratapi nasibnya sendiri, harap kayu itu bisa menenangkan dirinya yang sedang terombang-ambing di tengah ketidakpastian. ** Berlian duduk di kursi dengan pikiran berat, menatap ke arah jendela yang terbuka lebar, membiarkan sinar sore masuk ke dalam ruangan. Dia merasa lelah dan sedih, beban hidupnya semakin berat setiap hari. Masalah hutang Hadyan masih menjadi momok yang menakutkan, membuatnya tidak bisa bernapas lega. Beberapa waktu ini, dia berhasil selamat dari kejaran penagih hutang, tapi dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah dia akan terus dikejar-kejar oleh mereka? Apakah dia akan bisa melunasi hutang-hutang itu? Kemudian, masalah penipuan yang melibatkan Hadyan juga belum selesai. Berlian merasa terjebak dalam lingkaran setan yang tidak ada habisnya. Dan sekarang, dia harus menghadapi masalah baru—Mahesa sebagai kunci dari permasalahan ini, ditemukan dalam keadaan amnesia. Berlian berharap bisa membantu Mahesa mengingat kembali masa lalunya, tapi dia tidak tahu bagaimana caranya. Tapi yang lebih menyedihkan adalah masalah pembagian harta warisan dengan Duta. Setelah mereka bercerai, Duta langsung membahas masalah pembagian harta warisan, membuat Berlian merasa seperti tidak dihargai. Berlian merasa sedih dan kecewa, karena dia pikir hubungan mereka lebih dari sekadar materi belaka. Ternyata cinta pria itu untuknya setipis tisu. Berlian menundukkan kepala, merasa seperti tidak bisa menahan beban hidupnya lagi. Dia merasa seperti berada di jurang keputusasaan, tidak tahu bagaimana cara keluar dari semua masalah ini. Dia hanya bisa menangis, membiarkan air matanya mengalir deras, berharap bisa menghilangkan sedikit beban yang dirasakannya. Dalam keheningan sore itu, Berlian hanya bisa memikirkan tentang masa depannya yang tidak pasti. Apakah dia bisa melewati semua masalah ini? Apakah dia bisa menemukan kebahagiaan lagi? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya, membuatnya merasa semakin sedih dan putus asa. Berlian tidak terasa menitikkan air mata, tetes demi tetes jatuh ke pipinya yang pucat. Dia tidak bisa menahan lagi beban emosinya, dan air mata itu mengalir deras, membasahi wajahnya. Dia membiarkan dirinya menangis, membiarkan semua kesedihan dan keputusasaan yang dirasakannya keluar dalam bentuk air mata. Dia memikirkan tentang masa lalunya, tentang hubungan yang gagal, tentang hutang yang tidak ada habisnya, dan tentang masa depan yang tidak pasti. Berlian merasa seperti berada di titik terendah dalam hidupnya, dan dia tidak tahu bagaimana cara bangkit lagi. Air mata itu terus mengalir, dan Berlian tidak bisa menghentikannya. Dia hanya bisa membiarkan dirinya menangis, berharap bahwa dengan begitu, dia bisa melepaskan sedikit beban yang dirasakannya. Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Pintu diketuk dengan cepat dan keras. “Siapa itu?” Berlian mengusap air matanya dengan punggung tangan lantas beranjak dari duduknya dan menuju ke ruang tamu untuk membukakan pintu. Dari balik pintu terlihat sosok pria dengan wajah sangar menatap tajam ke arahnya. “Aku mau bertemu dengan Berlian,” ucapnya lantang disertai nada mengintimidasi. Sontak, Berlian kaget seketika. Dia tidak mengenal pria itu dan pasti pria asing ini datang untuk menagih hutang. Dia kemudian putar otak bagaimana cara mengusir pria ini tanpa harus menggunakan emosi atau juga kekuatan fisik yang menguras energi. “Maaf, Pak. Berlian tidak ada di rumah ini. Dia pergi jauh dan belum kembali.” Pria sangar itu menatap Berlian untuk mencari kebohongan di wajahnya. Namun wajah Berlian terlihat datar,tenang tanpa emosi apapun hingga dia menyimpulkan bila Berlian berkata jujur. “Baik, bila wanita itu pulang ke rumah ini hubungi aku. Aku akan segera datang kemari untuk bicara dengannya.” Pria itu meninggalkan nomor ponsel dan pergi setelahnya. Berlian merasa lega sekali bisa mengusir pria penagih hutang itu pergi untuk sementara waktu. Namun menurutnya bila terus seperti ini dia tidak akan sanggup menjalani hidup lagi. Dia tidak bisa hidup dalam kejaran seperti ini. “Apa aku sebaiknya pindah rumah saja untuk sementara waktu? Bagaimana bila aku pindah ke daerah Mahesa saja?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN