Berlian terdiam, matanya membelalak kecil mendengar pertanyaan Mahesa yang begitu tulus dan dalam. Tangannya masih tergenggam di tangan pria itu, hangat, lembut … tapi justru membuat dadanya semakin sesak. “Aku … ” ucapnya pelan, namun suara itu tercekat di tenggorokan. Ia menunduk, menatap sambungan jemari mereka, seolah mencari jawaban di sana. “Aku peduli karena … kamu manusia. Karena kamu terluka di depan mataku, karena kamu menyelamatkanku berkali-kali. Karena … kamu juga orang yang membuatku merasa aman, bahkan saat aku tak tahu harus percaya pada siapa.” Matanya berkaca-kaca, hatinya seperti perang antara logika dan perasaan. Mahesa menatapnya, sorot mata itu menyiratkan luka dan harapan dalam satu garis tipis. “Kalau semua itu bukan perasaan … lalu apa?” Berlian menarik napas