SEPULUH

2451 Kata
Aku tertegun melihat Ferdi berjalan menuju ke arah aku dan Denis. Aku melihat Denis yang hanya diam tanpa melakukan apapun. Tawa di wajahnya menghilang. Tak ada ekspresi apapun yang terdeteksi, kosong. Perubahan mendadak ini membuat bulu kudukku sedikit meremang. Rasanya, ada aura tidak biasa darinya sekarang. “Lama nggak bertemu.” Ferdi menatap tajam ke arah Denis. “Radit.” Senyuman miring terlengkung di bibir Ferdi membuatku merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan pada Denis. Ada apa dengan mereka berdua? Ferdi melirikku lalu secepat kilat Denis menarikku mundur. “Dia milikku,” tegasnya membuat bola mataku memnbulat. “Milikmu huh?” Ferdi lagi-lagi tersenyum miring membuatku merasakan firasat yang kurang baik. Denis menghalangi pandangan langsung Ferdi padaku dengan tubuhnya. Auranya terasa begitu seram, bahkan tengkukku mendingin karena ini. Aku segera menarik Denis mundur, mensejajarkan tubuh kami berdua. Dengan segenap keberanian, aku tatap langsung mata Ferdi membuat lelaki itu sedikit kaget dengan apa yang aku lakukan. "Maaf, Fer. Kamu salah orang, ini Denis Aditya bukan Radit," tegasku membuat Ferdi hanya mengembuskan napas kasar. Ferdi mengangkat kedua tangannya lalu mengempaskannya pelan ke udara seolah dia sedikit meragukan perkataanku barusan. Aku memang tidak tahu mengenai apa yang terjadi sekarang, tetapi aku tidak mau Denis dan Ferdi bertengkar. Apalagi ini adalah hari pertama Ferdi di sekolah. Dia tidak boleh terkena masalah, terlebih orang itu adalah Denis. “Ini Denis, bukan Radit!” Aku menegaskannya sekali lagi membuat Ferdi bereaksi. Cowok  itu melangkah maju lalu meraih sedikit ujung rambutku. "Princess, don't you know if my lord want your blood?" tanyanya sambil tersenyum penuh arti. Aku menatapnya dengan bingung lalu beralih menatap Denis. Deg! Pandangan mata Denis seketika itu menjadi menakutkan seolah sebelah matanya berubah menjadi merah. Mata merah itu seakan berkobar dan akan melahap apapun dan siapapun. Aku menelan ludah lantas segera memutar otak untuk bisa menghentikan semua ini. "Aku nggak ngerti bahasa Inggris,” ketusku lantas menggandeng tangan Denis. "Ayo, kita ke kantis, Denis," ajakku. Denis bergeming, bahkan meski aku telah menariknya secara paksa. Satu-dua kali gagal, baru ditarikan ketiga Denis mengalah. Cowok itu sengaja membuat tubuhnya yang memang lebih kuat dariku itu berhasil aku tarik. Segera, aku membawanya pergi ke kantin. Aku tidak mau dia dekat-dekat dengan murid pindahan itu. Firasatku buruk jika mereka bersama. Aku diam-diam melirik Denis ketika kami sudah cukup jauh dari Ferdi. Aku sangat ega saat melihat matanya sudah kembali seperti semula. Ia bahkan membalas rangkulan tanganku. Rasanya,  untuk seperkian detik, aku merasa tadi itu bukan Denis. Walau, tentu saja dia memang sudah terasa janggal dan aneh sejak pertama kali kami bertemu di Busway. Atau yang tadi itu hanya perasaan paranoidku saja? Entahlah. "Oi, Oon!" Denis memanggilku. Aku tersadar dari lamunanku dan segera menoleh padanya yang segera menjitak ringan kepalaku. “Oon,” ledeknya sambil menjulurkan lidahnya. “Nyebelin,” umpatku. Kesal sekaligus lega karena dia kembali menjadi cowok k*****t yang aku kenal. Saat ini kami sudah duduk di tempat duduk yang sudah disediakan di kantin sekolah. “Oon!” "Kenapa? Apaan?" ketusku. "Kamu nggak mesen makanan? Laper, nih," ujarnya sambil menunjuk meja kami yang kosong. "Oh, lupa. Aku mesen dulu, deh. Kamu mau makan apa?" tanyaku. “Kamu mesen apa?” Denis balik bertanya. "Mie ayam dan es jeruk, deh," jawabku. “Kamu?” “Sama aja kayak kamu,” jawabnya sambil merebahkan kepalanya di meja kantin. "Ok, bentar," kataku lalu pergi untuk memesan. Tak lama kemudian aku datang membawa pesanan Denis tapi cowok k*****t itu sudah menghilang. Kemana dia? Aku meletakkan pesanan kami di atas meja sebelum pergi mencarinya. Tak ada, setiap sudut Kantin sudah aku jelajahi dan tak menemukannya. Aku pun mencoba mencarinya keluar Kantin. Aku tertegun saat melihatnya sedang bicara dengan Ferdi. Aku segera berlari menyusulnya. "Denis!!!" Aku menarik lengan Denis sekuat tenagaku tapi cowok k*****t itu tidak bergerak sedikitpun. Malahan aku yang kemudian terpental balik ke arahnya. "Denis, pesananmu sudah ja... " Aku menghentikan ucapanku saat menatap Denis yang berdiri di depanku. Aura, sorot mata dan cara bagaimana dia melihatku sangat berbeda. Ia begitu dingin, sedingin es. Wajah dingin itu, entah bagaimana terasa tidak asing bagiku. Mataku mendadak perih, air mata meluncur indah dari pelupuk mataku. Kenapa aku menangis? Aku sendiri pun tidak tahu. Ferdi yang sedang berdiri di dekat kami segera memalingkan wajahku padanya lalu mengisyaratkan agar aku pergi. Bak terhipnotis, cengkraman tanganku di lengan Denis melonggar lalu terlepas. Tatapan cowok k*****t itu seperti tidak mengenalku sam sekali. bahkan, mungkin saat ini dia menganggapku sebagai orang asing yang tidak berarti untuknya. Pantulan wajahku di matanya tidak ada, dia benar-benar tidak melihatku. Sama sekali. Entah kenapa hatiku sakit dan juga perih. "My lord, kita harus pergi," ujar Ferdi pada Denis. Di luar dugaan Denis mengangguk setuju lalu pergi meninggalkanku tanpa menoleh sedikitpun ke belakang. My lord? Sepertinya aku pernah mendengarnya. Kapan? Aku juga tidak tahu. *** Kejadian tadi siang antara Ferdi dan Denis mengganggu pikiranku. Meski begitu, aku tidak boleh memperdulikan soal itu sekarang. Kali ini aku harus fokus pada urusan Mia. Bagaimanapun dia adalah orang yang paling membutuhkanku. Urusan Denis dan Ferdi, bisa aku urus belakangan. Sesuai rencana, pulang sekolah aku pergi ke rumah Mia. Aku ingin memastikan dengan kedua mataku sendiri kalau Mia baik-baik. Sejak kejadian kemarin, Mia menjadi lebih tertutup padaku. Dia bahkan tidak masuk sekolah. Oleh sebab itu, wajar saja jika aku sangat mengkhawatirkan keadaannya. Tiba di depan rumah Mia, aku mengetuk pintu serta memanggil namanya beberapa kali tetapi tidak ada jawaban. Aku mencoba menghubunginya via telpon, sms dan sosmed (sosial media ) tetapi nihil. Handphonenya tidak aktif. Hal ini membuatku semakin gelisah. Aku mencoba melihat keadaan di dalam dengan mencoba mengintip dari kaca jendela rumahnya tapi sia-sia. Aku tidak dapat melihat apapun. Gelap. Ah.. Apa Mia dan keluarganya sedang tidak di rumah? Dengan langkah gontai aku meninggalkan rumah Mia tanpa hasil. Di taman dekat rumah Mia, kembali aku melihat murid pindahan itu, Ferdi. Aku yang merasa harus berbicara dengannya segera berlari ke arahnya tanpa berpikir panjang. "Ferdi!" panggiku. Ferdi menoleh lalu tersenyum. "Ada apa, Princess?" tanyanya ramah. "Kamu apa'kan Denis huh?" tanyaku dengan nada yang cukup tinggi. Aku sungguh tidak menyukainya. Dia tertegun sejenak lantas terbahak membuatku semakin merasa kesal. "Apa yang lucu? Kamu apa'kan dia sampai bertingkah seolah tidak mengenalku tadi?" tanyaku. Ferdi menghentikan tawanya lalu memandangku dengan serius. Sungguh mengagumkan ekspresi wajahnya bisa berubah dalam seperkian detik. Dia jadi sedikit mirip dengan si cowok k*****t. "Kamu nggak mengenal siapa Denis rupanya. Apa kamu tahu kalau yang terlihat selama ini bukan dirinya yang sebenarnya?" tanyanya dengan pandangan dan nada suara meremehkan. Aku mengepalkan tanganku dengan kuat. “Kenapa? Kamu tersingung huh?” ledeknya. Kesabaranku menipis. Tanpa pikir panjang, aku meraih satu tangannya dan mencengkram kuat tangan itu. Berharap aku bisa 'melihat' apapun yang bisa kulihat darinya, masa depan atau kematiannya, aku tidak peduli. Aku sangat penasaran dengannya tetapi kosong. Tak ada apapun. Aku lupa, kemampuanku tidak pernah datang karena disengaja. "Princess, begitu tertarikkah dirimu denganku sampai memegang tanganku begini?" ejeknya. Ferdi melepas gengaman tanganku lalu menarikku ke arahnya hingga jarak kami menjadi cukup dekat. Tangannya bergerak cepat lantas mencengkram kuat leherku membuatku yang dalam keadaan kaget tidak dapat melakukan perlawanan apapun. Bahkan, mulai sedikit kesulitan bernapas. Walau tersedak, aku sama sekali tidak merasa takut dengannya. Bruk!! Ferdi terpental lantas jatuh tersungkur setelah sebuah pukulan membuatnya tumbang. Seorang cowok yang aku kenal sudah berdiri di sampingku. Dia memeriksa keadaanku sebelum akhirnya menarik tubuhku masuk ke dalam pelukannya. "Kamu nggak apa-apa, Nis?" tanya cowok itu dengan suara panik. Raut wajahnya sama sekali tidak mampu menyembunyikan rasa khawatirnya. Aku mengangguk pelan. “Nggak apa-apa, kok,” jawabku. Cowok itu melepas pelukannya lalu beralih melihat ke arah Ferdi. Dia kemudian berjalan meidekatinya Ferdi yang masih duduk di tanah. Aku tertegun saat melihat Bibir kanan Ferdi berdarah. Sepertinya pukulan dari si k*****t cukup kuat sehingga mampu membuat bibir Ferdi terluka. "Kalau kamu mencoba melukai atau melakukan sesuatu padanya, aku akan membunuhmu!" ancamnya sambil mencengkram kuat kerah seragam Ferdi. Ferdi tersenyum geli, tak ada respon lain selain itu. Dia seolah memang sudah menduga kalau cowok ini akan bereaksi seperti ini sehingga tidak merasa terkejut ataupun heran. "You're back, My Lord," imbuhnya dengan santai. Denis geram sehingga nyaris melayangkan tinjunya lagi. Namun aku segera bergerak cepat untuk mencegahnya melakukan itu. Aku juga setengah memohon padanya agar mau melepaskan Ferdi. "Udah, ayo kita pergi!" Denis bergeming. Cowok k*****t itu masih saja memandang Ferdi dengan penuh kebencian sedangkan Ferdi terlihat sangat santai. Saat melihat mereka berdua, aku merasa seperti melihat iblis dan malaikat yang sedang duduk berhadapan, saling menunggu siapa yang akan menyerang lebih dulu. Walau begitu, aku tidak tahu, siapa yang iblis atau malaikatnya. Cukup lama adegan itu berlangsung sampai akhirnya Denis menyudahi peperangan batin di antara mereka. "Nisa, ayo pergi!" ajak Denis sambil menarik paksa lenganku untuk meninggalkan tempat itu. "Oi, Denis!" Denis menoleh ke arah Ferdi dengan tidak suka. Cowok pindahan itu sepertinya belum kapok sehingga baru saja berdiri sudah mencari masalah lagi. "Kamu tidak akan bisa membunuh lagi. Karena aku akan melenyapkanmu secepatnya!" Seperti perahu karet yang diterjang badai, aku tenggelam bersama pernyataan itu. Membunuh lagi katanya? Denis? Aku otomatis menoleh ke arah Denis, cowok itu hanya menatapku dengan wajah lugu. Aku menjadi bimbang dan penasaran karena itu. Pernyataa Ferdi dan ekspresi wajah Denis sama sekali tidak singkron. Denis sepertinya menyadari kebimbanganku. Cowok k*****t itu tiba-tiba menutup telingaku dengan kedua tangannya. Ia memandangku dengan lekat sambil mengucapkan kata-kata tanpa suara yang hanya bisa dipahami melalui bahasa bibirnya. "Suki!" "Hah? Maksudnya apa?" tanyaku penasaran. Denis mendecih pelan. Cowok k*****t itu melepaskan tangannya dari telingaku lalu melangkah pergi. Aku yang sempat bengong segera tersadar dan berlari menyusulnya. Sempat aku menoleh ke belakang, tapi Ferdi sudah tidak ada di sana. Kemana dia? *** Dua hari berlalu tetapi Mia tak juga menunjukkan batang hidungnya. Kemarin dia lagi-lagi hanya mengirimkan voice note yang menyatakan bahwa dia baik-baik saja dan memintaku untuk tidak perlu mengkhawatirkannya. Namun sebagai sahabat, tentu saja aku mengkhawatirkannya. Terlebih nomernya selalu tidak aktif setelah mengirimkan pesan suara. Keadaan di sekolah juga tidak enak. Si Ferdi, murid pindahan yang duduk di belakangku itu sudah seperti mata-mata. Ia selalu mengawasiku gerak-gerikku membuatku takut untuk bergerak. Akibatnya, tubuhku terasa kaku dan kram. Selama dua jam pelajaran yang aku lakukan hanya duduk dengan sikap sempurna karena sepasang mata besar yang terus melihatku dari belakang. Meski terdengar sedikit alay, tapi itu yang aku rasakan sekarang. Bel istirahat berbunyi, aku segera melangkahkan kakiku ke kelas X IPA-2, kelas Denis. Ketika melihatnya, aku segera berlari dan meloncat ke arahnya seolah dia adalah pacarku yang sudah lima tahun menghilang dan baru saja ditemukan. Meski agak terkejut, Denis menangkapku yang tiba-tiba berlari dan meloncat ke arahnya. Aku sangat lega, setidaknya dia tidak mempermalukanku. Teman-temannya bersorak melihat tingkah kami. Aku segera turun ketika ia mulai menarik-narik dengan kejam ujung rambutku seolah berkata 'cepat turun, oon!'. "Kamu kenapa? Salah minum obat?" tanya Denis ketika kami sudah di kantin. Aku cuma nyengir. Tidak mungkin aku jujur padanya kalau aku merasa ketakutan pada si cowok horror bernama Ferdi itu. Bagaimanapun aku belum punya bukti kalau dia berniat jahat padaku. "Ada apa?" tanya Denis lagi. Kali ini penekanannya kuat, sepertinya dia menginginkan jawaban. Aku hanya tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan perasaan takutku. "Denis," panggilku lirih. "Ho?" sahut Denis datar. "Soal Mia, aku.... hm..." Aku terdiam sejenak. Bingung. Apa ini waktunya untuk aku jujur padanya soal diriku? "Ada apa? Lama amat!" Denis mulai kesal karena aku tidak juga bicara. "Mau nggak nemenin aku ke rumah Mia ntar pulang sekolah?" tanyaku sambil memasang muka memelas. Aku rasa ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakan padanya kalau aku seorang watcher. Denis cemberut, sepertinya dia agak kecewa. Apa dia menyadari kalau bukan itu yang ingin aku katakan padanya? "Boleh," Jawabnya mengiyakan ajakanku. Akupun tersenyum senang ke arahnya. "Traktir aku bakso ya," pintanya mengajukan syarat. Aku manyun. Sekali k*****t emang bakalan k*****t selamanya. Kesal. *** "Nis, tunggu!" Ferdi menahanku ketika berniat menghindarinya lagi. Cowok horror ini sepertinya paham aku menghindarinya. Ketika aku hendak pulang, dia memegang lenganku seolah berkata kalau ia ingin bicara denganku. "Ada apa?" tanyaku jutek. "Santai. Aku hanya ingin kau berhati-hati!" jawabnya sambil tersenyum. "Berhati-hati? Pada siapa?" tanyaku bingung. "Denis." Aku menghela napas berat. Sepertinya ada suatu rahasia di antara mereka sehingga mereka tidak bisa akur dari kemarin. Tapi.. Bicara soal Denis, aku jadi teringat soal Radit. "Radit itu siapa?" tanyaku penasaran. Ferdi tertawa keras, garis lengkung di pipinya terlihat dan matanya semakin menyipit. Entah kenapa saat ini dia tidak terlihat menakutkan sama sekali. Apa aku terlalu berburuk sangka padanya? "Radit itu siapa?" tanyaku lagi. Ferdi mencoba meredakan tawanya yang kelewat batas itu. Ia beberapa kali menghela nafas untuk menghentikan tawanya yang bisa lepas kapan saja itu seolah pertanyaanku adalah suatu yang lucu. "He is a king in the light. But now, he fall down in the dark," jawabnya lalu berlalu pergi meninggalkanku. Aku ingin lebih banyak bertanya padanya tapi aku mengurungkan niatan itu saat melihat Denis. Aku pun memilih menghampiri Denis. "Dia bilang apa?" tanyanya dengan wajah serius. Dari penekanan dan cara bicaranya, dia tidak suka aku bicara dengan Ferdi. "Nggak ada," jawabku berbohong. "Kamu yakin?" tanya Denis curiga. Aku mengangguk. "Yaudah kalau gitu," katanya mengalah seolah tidak ingin membahas masalah ini lagi. Kami berjalan menuju rumah Mia. Entah kenapa aku merasa kalau kami semakin dekat saja. Kami hampir tiba di rumah Mia tapi tiba-tiba sebuah sms masuk ke wa-ku. Aku membukanya, ternyata dari Mia. [RTZBUWDFLNDF. Ps: third person.] Setelah membaca pesan dari Mia, aku mendadak lemas. Air mataku tumpah. Aku gemetar dan merasa kakiku kehilangan syaraf-syarafnya. "Nis, ada apa?" tanya Denis kebingungan. Aku tak menjawab, mulutku kaku. Aku hanya bisa menangis. "Denis..Denis.." Aku menangis sejadi-jadinya membuat Denis semakin bingung. Aku tak tahu lagi harus bagaimana, aku ingin menjelaskannya tetapi mulutku terkunci. Aku hanya bisa berlari sekuat tenaga menuju rumah Mia. Denis aku tinggal di belakang. Aku tak peduli lagi dengan yang lain, aku hanya memperdulikan Mia! "Mia..Mia..Mia..!!" Aku mengedor-ngedor pintu rumah Mia sembari meneriakkan namanya dengan keras-keras. Aku mencoba membuka pintu rumahnya, terkunci. Aku coba jendelanya, juga terkunci. Aku mulai gila, aku hendak mengambil kursi dan melemparkannya ke jendela rumah Mia tetapi Denis mencegahku. "Ada apa Nisa? Jelaskan! Aku akan membantumu!" katanya setengah membentakku. Aku terduduk lemas. "Pesan Mia.." kataku sambil menunjukkan pesan yang aku dapat. "Ada apa dengan pesan ini? Bukannya ini hanya huruf yang nggak jelas? Typo-kah?" tanya Denis tak mengerti. Aku menggeleng. "Itu pesan....." kataku sambil menatapnya dengan airmata yang tak kunjung mereda. "Pesan apa?" Denis penasaran. "Dia selalu menggunakan kode ini jika dia dalam kesulitan." "Maksudmu?" Denis masih tidak mengerti. "Di pesan itu tertulis third person bukan? Dua huruf itu menunjukkan satu huruf sebagai orang ketiga. Misal aku ingin mengatakan huruf A, dua huruf di antaranya Z dan B bukan? Kau mengerti?" Denis melihat pesan Mia baik-baik. "Jadi jika kita mengartikan ini. Maka isi pesannya...." Aku mengangguk. Kami saling memandang dengan perasaan yang tercampur aduk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN