"Di pesan itu tertulis third person bukan? Dua huruf itu menunjukkan satu huruf sebagai orang ketiga. Misal aku ingin mengatakan huruf A, dua huruf diantaranya Z dan B bukan? Kau mengerti?" jelasku pada Denis.
Denis melihat pesan Mia baik-baik. Ia sedang mencoba memecahkan teka-teki pesan dari Mia.
"Jadi jika kita mengartikan ini. Maka isi pesannya..."
"Save Me?" tanya Denis memastikan kebenaran dari tebakannya.
Aku mengangguk mengangguk mengiyakan lalu kami saling memandang dengan perasaan yang tercampur aduk.
"Jadi maksudmu Mia dalam bahaya?" tanya Denis dengan panik.
Aku kembali mengangguk kecil. Air mataku kembali berjatuhan.
"Bagaimana ini Denis? Aku tidak mau kehilangan sahabatku," rengekku pada Denis.
Denis diam, sepertinya cowok k*****t itu sedang memikirkan jalan keluar terbaik.
"Sejak kapan Mia tidak menemuimu?" tanyanya kemudian.
"Dua hari yang lalu. Terakhir aku bertemu dengannya ketika aku mengantarnya pulang,” jawabku.
"Rumah ini satu-satunya petunjuk. Bagaimana kalau kita dobrak saja?" usulnya.
Tanpa ragu aku segera mengangguk setuju.
Denis pun membantuku untuk berdiri. Setelah itu ia mengambil ancang-ancang untuk menendang pintu rumah Mia. Dalam sekali tendang, pintu rumah itu ambruk. Sungguh kekuatan yang mengagumkan. Aku tidak pernah tahu kalau Denis sekuat itu. Namun, taka da waktu untuk bertanya. Kami segera masuk ke dalam untuk memeriksa setiap ruangan. Namun tidak ada seorang pun yang kami temui. Kosong.
"Bagaimana ini?" tanyaku nyaris putus asa.
"Apa kamu tahu tempat yang mungkin Mia datangi?" tanya Denis lagi.
Aku menggeleng pelan. Selama berteman dengan Mia, aku tidak pernah mendengar kalau Mia mempunyai tempat rahasia. Selain itu, Mia juga tidak memiliki kerabat di kota ini. Jadi mustahil bagi Mia dan keluarganya meninggalkan rumah ini bukan? Sebenarnya apa yang terjadi?
"Nisa."
Panggilan itu membut lamunanku buyar. Aku segera mendatangi Denis yang sedang memeriksa sebuah kamar yang belum mereka sempat periksa.
"Ada ap--..."
Aku seketika jatuh terduduk. Dia tidak mampu melanjutkan ucapannya. Cewek itu tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya meski dia melihat jelas dengan kedua matanya sendiri.
Seorang lelaki paruh baya dengan pisau menancap di jantungnya telah tewas menggantung di ruangan itu. Nisa mengenal baik lelaki yang tewas itu. Itu adalah ayah Mia.
Di dinding ruangan itu tertulis sebuah pesan, "My lord.
Nisa spontan melirik ke arah Denis setelah membaca pesan itu. Mengherankannya, Denis sekarang tampak begitu murka. Ia menjadi seperti orang kesetanan, menghancurkan apapun yang ada di ruangan itu. Ia juga mulai mengeledeh semua ruangan di rumah Mia lalu ia berhenti saat menemukan ibu Mia yang sudah tewas dengan leher patah di dalam mesin cuci.
Nisa merasa semakin putus asa. Di dalam penglihatannya, hanya Mia yang meninggal, bukan keluarganya. Bagaimana bisa ini begitu menyimpang? Mia juga seharusnya mati karena terjun dari gedung lima lantai. Tapi sekarang Nisa bahkan tidak bisa menemukan keberadaan Mia.
Apa kekuatanku sudah hilang? Sudah tak berguna? Begitulah apa yang ada di pikiran Nisa saat ini.
Tiba-tiba ponsel Denis berbunyi. Cowok itu segera mengangkatnya walau sekilas aku lihat itu telepon dari privat number.
"Halo?"
Denis mengangkat telpon misterius itu. Ia masih dalam keadaan marah dan telepon itu membuatnya semakin tampak menyeramkan.
Terdengar suara tawa yang terkekeh-kekeh dari seberang sana. Karena jarak Nisa dan Denis tidak jauh, Nisa dapat mendengar dengan jelas suara tawa itu.
"Let's play game with me. If you win, she will alive. But if you loose, i will be you."
Denis menatap ke arah Nisa dengan sorot mata tajam dan serius membuat Nisa menjadi terheran-heran sekaligus penasaran.
Bersama suara angin yang berhembus, samar-samar Nisa melihat wajah Denis yang berubah dari penuh amarah menjadi tanpa ekspresi.
"Nisa, aku akan membunuh orang lagi," katanya dengan seringai yang menyeramkan.
Nisa terdiam mendengar perkataannya. Sebenarnya selama ini ada yang selalu mengganggu Nisa. Melihat apa yang sedang dia alami saat ini, maka Nisa merasa bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk membuktikan hipotesisnya selama ini.
"Nisa?" Denis menghampiri Nisa yang hanya diam saja sambil menundukkan kepala.
Nisa menghela napas dan menegakkan kepala. Dengan tekad bulat, dia menatap Denis lekat-lekat.
"Aku yang akan membunuhnya dengan tanganku sendiri!"
Denis agak terkejut mendengar pernyataan dari Nisa. Cowok itu berubah ekspresi. Kini dia terlihat bingung. Ia menatap Nisa sekali lagi. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini.
Mungkin Denis tak pernah menyangka sama sekali kalau seorang Annisa Sofiana mengatakan hal seperti ini. Namun wajah Nisa terlihat bersungguh-sungguh. Siapapun yang berani menyakiti seseorang yang dia sayangi, dia harus mati. Begitulah kira-kira arti dari sorot mata Nisa saat ini.
Hukum Hammurabi mengatakan “gigi untuk gigi. Mata untuk mata. Jadi nyawa untuk nyawa pula”. Karena pembunuh itu telah membunuh orang tua Mia dan entah bagaimana nasib Mia sekarang. Apakah dia masih hidup atau tidak. Nisa merasa harus membunuh pembunuh itu. Dia harus mengambil nyawa pembunuh itu dengan cara yang sama seperti yang dia lakukan untuk menghabisi nyawa orang tua Mia, jika bisa bahkan lebih kejam.
Denis terdiam. Dia hanya menatap Nisa seolah sedang berpikir, ini suatu pernyataan perang untuknya atau suatu penawaran kerjasama untuk menangkap pembunuhnya.
"Denis."
"Ya?"
"Berikan handphone.mu!" suruh Nisa sambil mengulurkan tangan. Meminta Denis untuk memberikan handphone cowok itu pada Nisa.
Denis menurut. Ia memberikan handphonenya pada Nisa. Nisa pun segera mengecek riwayat panggilan. Hanya ada tiga riwayat di sana atas nama 'brother', 'my', dan 'private number'.
Nisa melirik ke arahnya lalu ditamparnya Denis keras-keras. Denis agak terkejut dan nyaris membalas kalau ia saja Nisa tidak menyadari kalau Nisa sudah menghunuskan pisau padanya.
Diam-diam ketika Denis mengamuk, Nisa mengambil pisau yang ada di dapur Mia. Karena dia merasa kalau cowok ini bukanlah Denis yang dikenalnya lagi. Jika firasat Nisa benar, Denis kemungkinan adalah pembunuh.
"Nisa, jangan main-main!" kata Denis panik.
Denis memandang Nisa dengan tatapan yang seolah berkata'ada apa ini?', 'kenapa kamu melakukan ini?'.
"Denis, jawab dengan jujur. Apa kau sakit?"
Denis mengubah ekspresinya lagi. Kali ini dia tampak tenang. Tak ada lagi kebingungan di wajahnya.
"Sakit apa, Nisa? Aku baik-baik saja!" jawabnya dengan sangat tenang. Terlalu tenang bagi seseorang yang sedang ditodong dengan pisau di hadapannya.
"DID alias Dissociative Identity Disorder." Jawab Nisa dengan tegas.
"Hah? Apa sih maksudnya?" Denis masih pura-pura bodoh.
"Ada berapa alter ego yang kau punya? Dua?" Nisa bertanya lagi.
"Apa maksudmu, Nisa?" tanya Denis bingung.
"Radit."
Mendengar nama Radit ekspresi Denis berubah. Ia menatap Nisa dengan sinis.
"Kamu percaya pada Ferdi?" tanyanya.
"Tidak. Tapi bukankah kamu yang memberitahuku?" sanggah Nisa.
"Welcome my lord, I was waiting for you so long."
Denis diam. Pupil matanya melebar dan ia menggertakkan giginya kuat-kuat seakan ia sedang menahan kemarahan yang begitu besar. Nisa tetap bertahan. Jika ia menyerang, Nisa bertekad akan benar-benar menikam pisau di tangannya pada Denis.
"Kupikir kamu tidak tahu bahasa Inggris. Tapi pengucapanmu sangat bagus. Kamu berbohong padaku?" tanya Denis sambil tersenyum mengejek. Ia tetap berdiri di tempatnya. Tidak bergerak sedikitpun.
"Awalnya aku berpikir itu untuk kak Tasya, namun ternyata itu ditujukan untuk dirimu sendiri Denis. Kamu bahkan tidak mengenaliku ketika menjadi Radit waktu di kantin. Kamu berbeda Denis. Kamu barusan mengatakannya padaku bahwa kamu akan membunuh lagi. Jadi, siapakah di antara kamu dan Radit yang telah membunuh keluarga Mia?" tanya Nisa setengah membentak.
Dada Nisa mendadak entah mengapa terasa sesak. Rasanya terlalu sakit menghadapi kenyataan pahit ini. Padahal dia sudah sedikit menyukai cowok k*****t di hadapannya itu. Namun jika benar Denis adalah pembunuh yang telah membantai keluarga Mia, Nisa akan menghentikan Denis bagaimanapun caranya.
"Aku sengaja melakukannya." Denis mulai bicara. Ia tersenyum begitu lembut membuat Nisa kebingungan.
"Aku ini anak tunggal. Sangat menyedihkan menjadi pangeran tanpa panglima bukan? Jadi saat SMP aku mengubah diriku menjadi Radit, seseorang cowok dari keluarga sederhana. Selama menjadi Radit aku memiliki banyak teman dan aku bahagia. Ia benar-benar memiliki panglima yang setia. Radit bahkan melebihi aku, Denis Aditya. Lalu aku mulai menyadari, panglimaku mengetahui rahasiaku. Ia tahu Radit itu tidak ada. Jadi aku melarikan diri. Ketika SMA aku kembali mnjadi Denis Aditya dan aku bertemu denganmu Nisa."
"Aku sudah bahagia bersamamu, Nisa. Untuk apa aku menghadirkan Radit dalam hidupku lagi. Aku telah membunuhnya. Aku memang berkata 'aku akan membunuh lagi' tapi aku tidak benar-benar membunuh manusia. Aku membunuh diriku sendiri yang ada di masa lalu!" ujar Denis panjang lebar.
"Lalu yang menelponmu tadi? Bukankah itu asli? Atau kamu sengaja bersekongkol dengan orang lain untuk membingungkanku? Bagaimana mungkin pembunuhnya langsung menghubungimu dan tahu tentang kau?" tanya Nisa masih merasa ragu.
"Dia mengincarmu, bukan aku!" ujar Denis sambil menatap Nisa dengan wajah serius. Tak ada kebohongan di matanya. Itu kejujuran.
"Lalu kenapa ia menelponmu bukan aku?" tanya Nisa.
"Karena Mia," jawab Denis tegas.
"Mia? Apa maksudmu?" tanya Nisa bingung.
"Nisa, sebaiknya kita bergegas. Mia dalam bahaya. Kita harus menyelamatkannya!"
Nisa menatap Denis. Dia sesungguhnya masih tidak percaya dengan penjelasan Denis tapi juga tidak bisa mengabaikan Mia. Terlebih Mia mempercayakan wasiatnya pada Denis. Jika memang Denis pelakunya, Mia tentu tidak akan melakukan hal itu.
"Nisa." panggil Denis lagi.
Nisa menurunkan pisau di tangannya dan menjatuhkannya ke lantai. Perlahan-lahan Denis mendekati Nisa lalu memeluk cewek itu dengan erat.
"Percayalah padaku!"
Nisa bergeming, bingung dan juga linglung.
“Percayalah padaku, Nisa!” ujar Nisa sekali lagi.
Nisa hanya mengangguk lemah.
"Jika kita menemukan Mia dan kau masih ingin membunuhku, aku akan mengizinkanmu membunuhku. Aku tidak akan melawan!" kata Denis tegas membuat Nisa sedikit menyesal karena telah menuduhnya sebagai pembunuh.
"Lalu dimana kita bisa menemukan Mia?" tanya Nisa putus asa.
Denis melepas pelukannya, cowok k*****t itu menunjukkan sebuah tempat dari GPS handphonenya. Sepertinya ia melacak lokasi pelakunya ketika ia menelpon Denis tadi. Sungguh cerdik dan tak terduga.
"Aku sudah tahu lokasinya," ujar Denis tersenyum puas.
"Ayo pergi." Ajaknya.
Mereka pun segera menuju ke lokasi dimana Mia berada. Lokasinya cukup jauh walau begitu Nisa berharap kalau mereka belum terlambat.
"Ini tempatnya!" kata Denis ketika mereka sudah tiba di tujuan.
Nisa memandang ke tempat itu. Itu hanyalah sebuah bangunan tua yang terletak di pinggir kota. Sepertinya bangunan ini sudah usang dan ditinggalkan.
Nisa dan Denis segera masuk untuk mencari Mia. Mereka terus mencarinya sampai mereka melihat Mia berdiri di atap bangunan itu. Apa yang Nisa lihat sama seperti yang ada di penglihatannya tempo hari.
"Mia."
Mendengar panggilan Nisa, cewek itu tersenyum lalu melambaikan tangan padanya.
Nisa pun memcoba mendekati Mia, tetapi Mia memintanya berhenti.
"Stop, Nisa!"
Nisa menghentikan langkahnya lalu heran pada Mia.
"Aku sudah membunuh mereka,"
Nisa terkejut mendengar pengakuan itu dari mulut Mia. Baginya, itu adalah hal paling mustahil yang akan dilakukan Mia.
"Apa maksudmu?" tanya Nisa.
"Aku membunuh orang tuaku, Nisa!" ujar Mia sambil tersenyum.
"Apa? Kau gila?" kata Nisa tidak percaya.
"Cih.. Mereka sangat menyebalkan. Bertengkar setiap hari, tinggal bersama tetapi tidur di kamar terpisah, makanpun sendiri-sendiri seolah mereka dua orang asing yang tinggal di tempat yang sama. Lalu kau bilang aku akan mati. Jadi aku membunuh mereka sebelum aku mati. Jadi, kami akan tetap bersama selamanya. Rencana yang sempurna bukan?" Mia terkekeh, ia benar-benar terlihat menakutkan saat ini.
"Mia.. Aku tidak akan membiarkanmu mati. Bukankah aku sudah bilang begitu?"
Mia menatap Nisa dingin.
"Who do you think you are? I will death with my way. My lord help me to be the God."
"Nisa, selamat tinggal."
Lalu dalam seperkian detik nISA melihat tubuh sahabatNYA itu melayang di udara sebelum akhirnya terjun bebas ke bawah dan ........
"Mia.........!!"