RATNA’S POV
Aku baru saja keluar dari toko kue. Aku akan merayakan ulang tahun adikku yang ke-7. Dia memang bukan adik kandungku, tapi bagiku yang hanya anak panti, anak-anak di panti itu sudah aku anggap sebagai saudaraku.
Aku sudah menelpon ibu kepala panti kalau aku akan pulang telat hari ini. Akan aku kejutkan adik kecilku ini dengan kue tart. Aku sudah menabung sejak sebulan yang lalu untuk membelikannya kue ini.
Drrrt...drrrt
Sebuah pesan masuk di handphoneku. Rupanya dari Tiara, dia mengajakku bertemu di sekolah. Aku melirik jam tanganku, masih ada sedikit waktu. Jadi aku memutuskan untuk menemuinya. Bagaimanapun meski kini kami bermusuhan, dulu kami adalah teman.
Aku setengah berlari menuju gedung kelas XII. Tiara mengajakku bertemu disana. Ketika aku sampai, aku melihatnya tengah berdebat dengan seorang cowok. Aku mengenal cowok itu. Ketika cowok itu melihatku, ia segera pergi. Tapi aku merasa ada yang berbeda dengan Tiara. Auranya sedikit menakutkan.
Aku mencoba meluruskan pikiranku dan tidak negatif thinking padanya. Aku pun menghampiri Tiara.
"Tiara. Ada apa?" tanyaku.
"Kau penghianat!" jawab Tiara dengan geram.
"Ada apa Tiara?" tanyaku heran, sedikit takut juga dengan cara dia menatapku.
"Kau harus mati!" katanya sambil menodongkan pisau lipat padaku.
Aku sangat ketakutan. Dia memaksaku menulis surat wasiat terakhir. Entah kenapa aku merasa kalau dia akan nekat, jadi aku coba untuk memberitahu orang-orang jika mungkin terjadi sesuatu padaku. Aku meninggalkan pesan rahasia di surat itu.
Setelah aku menulisnya. Dengan air mata yang telah tumpah aku memohon ampun pada Tiara. Karena aku takut dia akan menyakiti anak-anak panti. Karena panti tempatku tinggal masih berada di kekuasan ayah Tiara.
Tiara menyuruhku naik ke pinggiran balkon. Aku sudah mencoba mengiba tetapi dia tak peduli. Tiara saat ini seperti bukan Tiara yang aku kenal lagi. Meski selama ini dia jahat padaku, aku tidak menyangka dia tega melakukan ini.
Tiara membentakku sehingga aku tak punya pilihan lain selain menurutinya. Dengan kaki dan tangan yang gemetar aku naik ke pinggiran balkon. Ketika aku sudah berdiri di atas balkon, Tiara tertawa terpingkal-pingkal seolah ini sangat lucu. Dia pun pergi setelah membuatku nyaris mengompol karena takut.
Aku pun menarik napas lega. Aku mencoba turun tetapi sebuah tangan mendorongku dengan kuat hingga aku terjatuh ke bawah. Untuk beberapa detik, aku melayang sebelum akhirnya kurasakan merasakan tulangku remuk dan jantungku berhenti berdetak. Aku tewas!
***
AUTHOR’s POV
Nisa berjalan tegap menuju sebuah rumah besar. Di dekat pintu gerbang dua orang cowok tengah menunggunya. Nisa menatap dua cowok itu dan mereka membukakan pintu gerbang untuknya seolah dia adalah seorang putri yang tengah berjalan bersama dua pengawalnya.
Mereka berjalan menyusuri jalan dari pintu gerbang lurus ke pintu utama dari rumah mewah itu. Di sepanjang jalan itu bunga mawar segala warna mengiringi. Nisa tetap menaikkan kepalanya. Dia telah memutuskan. Segala resiko harus dia tanggung. Ia sudah tak bisa mundur lagi.
"Di sini tempatnya?" tanya Nisa dengan penekanan yang kuat.
Dikepalkan tangannya yang mulai mendingin karena gugup. Ia menarik napas dalam dan sekali lagi memantapkan niatnya.
"Kamu yakin akan melakukan ini? Kami hanya melumpuhkan penjaganya, belum penghuni rumahnya," ujar Ferdi sambil menoleh kearah Nisa, seolah ia tahu kalau Nisa masih menyimpan keraguan.
"Apa semuanya sudah siap?" tanya Nisa menanyakan persiapan mereka untuk hal ini.
"Tentu saja. Aku sudah mengaturnya," jawab Denis tanpa ragu.
"Ayo masuk!"
Mereka bertiga pun masuk ke rumah mewah itu. Nisa mencoba membuka knop pintu tetapi rupanya pintu terkunci. Cewek itu menoleh ke arah Denis.
"Minggir. Aku bisa mengatasi ini." Ujar Ferdi yang langsung membuka pintu itu hanya dengan sebuah peniti.
Kreek..
Pintu terbuka. Mereka pun masuk ke dalam.
Beberapa pengawal terkejut dengan kehadiran mereka bertiga. Para pengawal itu mencoba menyerang namun sayang yang mereka hadapi bukan cowok sembarangan. Kelima pegawal itu jatuh pingsan hanya dalam seperkian detik. Denis dan Ferdi membuat Nisa ternganga, kemampuan keduanya dalam bertarung bisa dibilang luar biasa.
Mereka pergi ke lantai tiga, menuju kamar sasaran mereka. Nisa masuk, cewek di depannya yang tengah berdandan menatapnya kaget.
"Sedang apa kalian di sini?" tanyanya angkuh.
Nisa mendekati cewek itu dan langsung menendang perutnya. Cewek itu jatuh tersungkur karena tidak menduga akan diserang. Namun ia masih kuat berdiri. Dengan kemarahan yang meluap, cewek itu menyerang Nisa. Beberapa kali Nisa menghindar tapi pada serangan keempat cewek itu berhasil mengenainya.
Nisa mengusap pipinya yang kena tonjok. Dia memandang cewek di depannya dengan geram.
"Nisa, kamu mundur saja. Aku yang maju!" kata Ferdi sambil memposisikan dirinya untuk memasang kuda-kuda. Ia telah siap menyerang.
"Tidak. Kamu menyingkirlah! Aku akan menjatuhkannya kali ini!" ujar Nisa menolak bantuan Ferdi .
Sementara Nisa melawan Tiara, target mereka. Denis berjalan pelan menuju balkon lantai tiga yang berada di sisi kiri kamar Tiara.
Cowok itu melihat ke bawah dan dibawah adalah sebuah kolam renang. Jarak antara balkon dan kolam renang sekitar 6,5 meter. Denis mendengus kesal ketika ia tahu ketinggian balkon.
"Dia tidak akan mati jika jatuh di jarak ini!"
"Kecuali aku menenggelamkannya," ujar Denis sambil menyeringai.
Tiara terkena tendangan Nisa dan cewek itu langsung jatuh pingsan.
"Ikat dia. Kita akan menggantungnya di sini!" perintah Denis sambil memberikan seutas tali pada Ferdi.
Ferdi hanya mengangguk dan segera melaksanakan tugas dari Denis.
"Menggantung?" tanya Nisa kebingungan.
"Kita akan memaksanya bicara dengan menggantungnya di balkon ini. Jika dia cepat mengaku, dia akan kita selamatkan. Jika tidak, dia akan jatuh dan patah tulang," jawab Denis santai.
"Patah tulang? Bukannya mati?" tanya Nisa bingung.
"Nisa tidak semua orang yang jatuh dari gedung atau balkon mati. Untuk membuatnya mati setidaknya ketinggiannya harus 20 meter lebih. Selain itu, harus dipastikan tempat mendarat adalah beton yang kuat dan kepala harus jatuh lebih dulu. Jadi bisa mati seketika." Denis menjelaskan.
"Ketinggian rumah ini hanya 6,5 meter, belum cukup untuk membunuhnya. Terlebih lagi dibawah ada kolam renang. Kecuali kakinya patah dan ia tak bisa berenang kita bisa membuatnya seolah-olah ini kecelakaan!" kata Ferdi menimpali ucapan Nisa.
Nisa hanya mengangguk lemah. Tidak tahu harus menjawab apa karena sejujurnya ia tidak memahami jalan pikiran kedua cowok di dekatnya ini.
"Jadi sebaiknya kita apa'kan dia?" tanya Nisa lagi.
"Kita tetap pada rencana. Kita akan menggantungnya. Kita akan membuatnya tahu rasanya jadi Ratna," jawab Denis sambil tersenyum.
Ferdi telah selesai mengikat tubuh Tiara dan menggantung cewek itu di balkon. Tiara yang merasakan gravitasi yang sangat kuat tersadar dari pingsannya.
Tiara menerjangkan kakinya di udara, berteriak minta tolong dan menangis putus asa.
"Tolong..tolong aku..!" Tiara mengiba.
"Jadi, bagaimana rasanya?" tanya Nisa sambil mendekati Tiara yang berada di pinggir balkon.
"Nisa..Tolong aku. Lepaskan aku. Ampuni aku!" Tiara memelas. Air mata cewek itu telah tumpah.
"Nisa, aku mohon. Aku tidak melakukan kesalahan apapun. Tolong lepaskan aku!" Tiara mengiba. Wajahnya menunjukkan ketakutan yang teramat sangat.
"Itulah perasaan Ratna saat kamu membuatnya berdiri di balkon sekolah!"
Pupil mata Tiara melebar, bibirnya tergerak tanpa sadar seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi tertahan.
"Kamu akan segera menyusul Ratna di alam baka!" ujar Nisa lagi membuat Tiara semakin ketakutan.
"Aku tidak tahu apapun soal Ratna. Sungguh. Aku tidak melakukan apapun." Tiara mengelak.
Nisa memandang tajam kearah Tiara.
"Denis, mari kita habisi pembohong ini!" kata Nisa tegas.
Mendengar perkataan Nisa, Tiara menjerit.
"Tidak. Tidak. Lepaskan aku."
"Aku tidak membunuh Ratna. Aku memang yang memaksanya menulis surat itu, aku juga yang mengundangnya naik ke balkon sekolah karena aku ingin bicara dengannya. Tapi aku tidak tahu apa-apa soal dia jatuh. Aku hanya ingin mengerjainya dengan surat itu. Sungguh ak--."
Byuurr.
Tiara terjatuh ke dalam kolam renang. Denis telah memotong tali yang menghubungkan tubuh Tiara dan balkon.
Nisa terkejut ketika melihat Tiara Jatuh. Ia menengok Tiara yang mencoba menyelamatkan diri. Ternyata cewek itu tidak bisa berenang. Terbukti dari kepalanya yang terus mencoba keatas.
"Denis, apa-apaan kau ini? Kita sepakat akan membuat dia mengaku. Kita sepakat melakukan ini hanya untuk menakutinya saja'kan?" Nisa protes.
Denis memandang Nisa dengan mata yang asing. Nisa gemetar, dia mengenal tatapan yang memuakkan itu. Tatapan yang begitu dibencinya.
"Predator tidak pernah melepaskan mangsanya, Annisa!"
Nisa merasakan kakinya lemas seketika.
"Kamu--."
Braak.
Nisa jatuh pingsan. Denis baru saja mendaratkan pukulan di tengkuk Nisa membuat cewek itu kehilangan kesadaran seketika. Denis menatap kearah Ferdi. Ferdi berjalan mendekati Denis seolah mengerti apa yang harus dia lakukan selanjutnya.
"Jadi, kita akan mulai menjalankan rencananya, My lord?"
Denis menatap Ferdi dengan dingin.
"Pastikan dia tidak mengingat kejadian ini!" Denis berlalu meninggalkan Ferdi.
"Yes, Radit."
"Jadi maukah kamu mengatakan kebenarannya padaku?" Ferdi menatap tajam kearah Denis.
"Tentang apa?" Denis membalas tatapan Ferdi.
"Who you really are."
Denis tersenyum lalu terkekeh.
"Jadi, kamu mulai menunjukkan ekormu?" tanya Denis dengan nada mengejek.
"Aku tahu, kamu tidak mengidap DID, Denis!" Ferdi sedikit meninggikan ucapannya membuat Denis merasa sedikit terusik.
Denis mengarahkan pandangannya pada Nisa, cewek yang selama ini dia cintai dan juga ingin sekali ia akhiri hidupnya.
"Sejauh apa kau tahu tentang aku? Bukankah selama ini kau menganggapku Radit? Kenapa sekarang kau memanggilku Denis?"
"Radit atau Denis, kalian hanya orang yang sama dengan jiwa yang sama."
Denis terkekeh.
"Ya, aku memang menciptakan 'Radit'untuk menjadikannya kambing hitam atas apa yang Denis lakukan. Bagaimana kamu tahu kalau aku secara sadar memerankan dua karakter?" Denis merasa penasaran.
"Kamu mungkin bisa menipu orang lain tetapi kau tidak bisa menipuku, Denis." Ferdi menatap ke arah kolam. Ia menghela napas berat ketika melihat Tiara telah terapung tak bernyawa.
"Kamu ingat panggilanku untuk Radit? 'My lord', itu sebutan untuk Raja. Denis dalam bahasa Prancis berarti raja. Jadi ketika aku memanggilmu Radit, aku tahu kalau sebenarnya kalian orang dan jiwa yang sama, Denis!" Ferdi memandang Denis yang masih berdiri disamping Nisa yang tengah pingsan.
"Ah.. jadi kamu tak tertipu sama sekali. Lalu kenapa kau membantuku?" Denis merasa penasaran.
"Karena kau membantuku membunuh seseorang yang ingin aku bunuh," kata Ferdi pelan. Sepertinya rasa sesal dan lega hinggap di hatinya pada saat yang bersamaan.
"Siapa maksudmu?" tanya Denis merasa bahwa ia tidak membantu Ferdi sama sekali.
"Kamu ingat lelaki yang kau pukul di tengah hujan dekat danau? Kau membuatnya pingsan, menyeretnya dan menenggelamkannya di danau. Sampai sekarang tak ada yang tahu siapa pembunuhnya karena aku membantumu menghilangkan jejak yang kau tinggalkan." Ferdi menerawang jauh. Cowok itu kembali mengingat apa yang telah ia lakukan di masa lalu.
"Lelaki yang kau bunuh itu, kakakku!" Ferdi menghela napas sekali lagi.
"Dia psikopat gila yang membantai keluarga kami dengan tangannya sendiri. Aku tahu dia pembunuh tetapi aku tak bisa membalasnya mengingat kami adalah saudara. Namun berbeda denganmu, kamu melenyapkannya untukku. Karena psikopat hebat hanya bisa dilawan dengan psikopat yang lebih hebat."
Ferdi memandang Denis yang masih menatapnya tanpa ekspresi. Seolah cowok itu sama sekali tidak peduli dengan apa yang Ferdi utarakan.
"Lalu kenapa kamu berhenti membunuh? Apa karena cewek ini?" tanya Ferdi sambil menunjuk ke arah Nisa.
"Dia cewek yang menarik. Karena dia membuatku bahagia. Padahal sebelumnya aku akan bahagia setelah membunuh seseorang, tapi dengannya aku tak perlu melakukannya sendiri." Jawab Denis dengan wajah berbinar membuat Ferdi tak percaya kalau cowok di hadapannya adalah seorang pembunuh.
"Jadi kamu tetap membunuh selama ini?" Ferdi terkejut, tak menyangka sama sekali.
"Tidak juga, Aku tidak membunuh dengan tanganku sendiri. Aku membuat orang lain melakukannya." ujar Denis tersenyum licik.
"Aku sudah mengawasimu sejak kau pindah sekolah. Aku tak mungkin tak tahu jika kau dalang dibalik semua ini." Ferdi masih tak percaya.
Denis berjongkok di dekat Nisa, dibelainya dengan lembut rambut cewek itu.
"Ana, aku ingin membunuhnya, tapi sebelum itu Anton telah membunuhnya. Padahal aku sudah merencanakan skenario pembunuhan yang sempurna. Kunyuk itu menghancurkan maha karyaku." Denis mendengus kesal.
"Sashi, aku ingin membunuhnya tapi saudaranya bahkan lebih gila dariku. Sekecil apapun rasa iri yang dimiliki, jika kita mengubahkannya sedikit maka sisi terkelam akan muncul dengan sendirinya."
"Mia, dia tahu kalau aku seorang pembunuh. Karena dia sudah mengawasiku sejak masuk SMA. Aku ingin membunuhnya sejak lama, tetai dia diam saja selama ini. Oleh karena itu, aku membiarkannya. Tapi hari itu, dia mengatakan padaku kalau aku tidak boleh membunuh Nisa. Jadi aku tahu kalau dia mengetahui rahasiaku." Denis menghentikan ucapannya, cowok itu menggendong Nisa dan meletakkannya di tempat tidur Tiara.
"Aku mengancamnya dengan membunuh kedua orang tuanya tapi tetap saja dia memilih menyelamatkan Nisa. Bahkan dia membunuh dirinya untuk menyelamatkan Nisa. Sungguh bodoh." Denis mengakhiri kata-katanya dengan helaan napas ringan membuat Ferdi menatapnya dengan tatapan marah.
"Lalu Ratna? Kenapa kamu membunuhnya?" tanya Ferdi.
"Aku melihat kesempatan. Itu suatu kebetulan yang menyenangkan!" jawab Denis sambil tertawa puas.
"Kau gila!" Ferdi mengutuk Denis.
"Kau tahu kenapa kau tidak akan menang melawanku?" Denis memandang tajam kepada Ferdi.
"Kenapa?" Ferdi bertanya dengan nada marah.
"Karena kau masih menyimpan empatimu pada orang lain."
Denis berjalan pelan menuju Ferdi. Ferdi menegakkan posisi tubuhnya yang awalnya bersandar di tembok, cowok itu bersiap menghadapi Denis.
Denis mengeluarkan pisau dari balik jaketnya. Ferdi memasang kuda-kuda. Ia sudah menunggu hari ini. Hari pembalasan. Dia sudah jengah karena rasa bersalah yang terus menghantuinya karena membiarkan Denis membunuh orang yang tak bersalah.
Denis berhenti melangkah. Ia melihat Ferdi lalu menyeringai sambil berucap:
"You will be like me."
Denis memukul pipi kiri Ferdi hingga cowok itu terhempas. Ferdi segera bangkit dan membalas pukulan Denis. Namun Denis menangkap tangannya, ia menggenggamkan erat pisau yang Denis pegang ke tangan Ferdi.
Ferdi mencoba melepaskan tangannya, namun cengkraman Denis terlalu kuat. Denis mengayunkan pisau itu ke perutnya. Darah segar keluar dari perut kanan Denis tapi cowok itu bahkan tidak meringis seolah ia tak merasakan sakit meski sedikit saja.
Ferdi agak panik, konsentrasinya buyar ketika melihat darah. Denis melihat kesempatannya, ia menjatuhkan dirinya kebawah sehingga membuat seolah Ferdi tengah menikamnya.
"De-denis."
Ferdi terkejut melihat Nisa telah sadar dan menatapnya dengan ekspresi marah dari tempat tidur.
Cewek itu bangun dan langsung melayangkan tendangan ke pelipis Ferdi. Ferdi yang tak siap menerima tendangan penuh kemarahan itu langsung jatuh tersungkur. Nisa mengambil pisau yang masih tertancap di perut Denis.
Arrgh.
Denis merintih ketika pisau itu dicabut. Nisa gelap mata, ia mengarahkan pisau itu ke Ferdi yang masih merasa pusing karena baru saja diterjang.
"Jangan, Nisa!" Denis memeluk Nisa dari belakang.
"Jangan. Jangan!" Denis memeluk Nisa lebih erat.
Nisa yang hampir saja membunuh Ferdi perlahan-lahan tersadar. Ia memandang Ferdi yang tak berdaya. Ia menjatuhkan pisau yang dia pegang dengan tangan gemetar.
"Nisa. Tenanglah! Aku tidak apa-apa!"
Nisa meneteskan air mata, sedetik kemudian tangisnya pecah. Ia melihat darah yang terus mengalir dari perut Denis.
"Jangan mati, aku mencintaimu."
Ferdi dan Denis sangat terkejut mendengar pernyataan Nisa.
"Kamu bilang apa?" Denis menanyakan sekali lagi, ia masih tak mempercayai apa yang baru saja didengarnya.
"Aku mencintaimu."
"Kamu bilang apa?" tanya Denis seolah memastikan pendengarannya.
"Aku mencintaimu!" jawabku lalu memeluknya erat.
"Aw!” rintih Denis yang langsung membuatku melepas pelukanku.
Aku melihat luka Denis yang semakin mengkhawatirkan.
"Kita ke rumah sakit!" Kataku lantas membantu Denis berdiri.
Ferdi mencoba menghalangiku, tapi aku hanya memandangnya sinis membuat cowok itu mengalah dan membiarkanku pergi.
Tak aku sangka, dia sejahat itu. Penipu! Teganya dia berniat mencelakai Denis. Menyebalkan