Aku baru saja keluar dari kantor polisi untuk memberikan keterangan atas insiden tadi malam. Setelah dilakukan penyelidikan, kasus Ratna dipastikan sebagai kasus pembunuhan. Seperti dugaanku, pelakunya adalah Tiara. Namun, anehnya Tiara di temukan tewas semalam. Aku pikir pelakunya adalah Denis, karena dia yang menjatuhkan Tiara tadi malam namun dugaanku meleset.
Berdasarkan keterangan kami bertiga, Tiara merasa bersalah karena membunuh Ratna makanya ia yang tidak bisa berenang memutuskan bunuh diri. Ferdi dan Denis mengatakan hal yang sama jadi aku sengaja tidak menceritakan kebenarannya. Meski aku bingung mengapa Denis melindungi Ferdi, aku tetap tutup mulut. Aku yakin yang merencanakan semua ini adalah Ferdi. Aku belum punya bukti untuk menyeretnya ke penjara, tapi aku yakin suatu saat nanti aku bisa memasukkan cowok horor itu ke penjara.
Aku melihat seorang cowok sudah menungguku di luar kantor polisi. Ya, si cowok k*****t yang baru saja ditikam itu memaksa keluar rumah sakit setelah lukanya dijahit. Padahal orang normal akan memilih dirawat inap bukannya malah keluyuran seperti yang dia lakukan.
"Udah?" tanyanya sambil senyum
"Udah. Gimana lukamu?" tanyaku balik sedikit khawatir dengan keadaannya.
"Tenang, ini luka biasa. Kamu nggak menceritakan soal insiden penusukan ini'kan?" tanyanya memastikan aku tutup mulut soal kejadian pertengkarannya dengan Ferdi.
"Tenang, aman!" jawabku mencoba tidak membuatnya khawatir.
"Terimakasih, Pacar!" katanya sambil mengelus lembut rambutku.
"He'em," Sahutku sambil merangkul lengannya.
Sejak tadi malam, aku dan Denis resmi berpacaran. Denis bilang dia sudah menyukaiku sejak pertemuan pertama kami. Meski aku merasa tidak enak dengan Mia, karena Denis mantan gebetannya. Tapi aku rasa dia juga akan setuju jika aku dengan Denis. Bagaimana pun Mia dulu menyukainya pasti karena menganggap Denis sebagai cowok yang baik.
"Soal Ferdi, apa kau yakin akan membiarkannya? Jika aku tidak sadar semalam, kau pasti sudah terbunuh." Tanyaku mencoba membujuk Denis.
"Nggak, bagaimanapun kami dulu berteman. Udahlah kita lupain aja!" jawab Denis sambil memberikan senyuman.
Aku mengangguk.
"Habis ini kita mau kemana?" tanya Denis penasaran, soalnya kami hanya berjalan tanpa tujuan yang jelas.
"Entahlah, aku belum pernah berkencan," jawabku juga merasa bingung.
"Aku juga."
Kami saling memandang lalu tertawa sedetik kemudian. Pipiku memerah, tersipu. Aku lirik Denis dan wajahnya pun merona. Ah..Dia sungguh tampan.
"Mau ke rumahku?" tanya Denis tiba-tiba yang seketika membuat bulu kudukku berdiri.
"Hah? Rumahmu?"
Aku tanpa sadar berteriak membuat Denis menatapku keheranan.
"Nah, lo. Hayo mikir apa?" Denis menggodaku membuatku jadi salah tingkah.
"Ng-nggak mikir apa-apa, kok!" elakku sambil mempercepat langkahku.
"Nisa." Denis memanggilku.
Aku menoleh.
"Rumahku lewat sini." katanya lalu ketawa ngakak.
Aku pun buru-buru pergi kearah yang dia tunjuk.
Malu banget, Sumpah.
Setelah jalan kaki sekitar 15 menit, kami pun tiba. Aku melihat rumah Denis, sungguh besar seperti istana. Bahkan lebih mewah dari rumah Tiara, aku tidak menduga kalau keluarga Denis kaya raya.
"Kenapa kok bengong? Ayo masuk!" kata Denis sambil menggandeng tanganku masuk ke rumahnya yang super mewah itu.
Aku mengamati rumah Denis, halamannya luas dan terdapat banyak bunga di sisi kanan-kirinya. Ada kolam renang di sebelah kiri sedangkan di sebelah kanan terdapat garasi mobil yang jika aku hitung ada sekitar 4-5 mobil. Dilihat dari betapa bagus dan mewahnya mobil itu, aku rasa harganya milliyaran.
Kami tiba di pintu masuk, dua orang pelayan menyambut kami. Pintu dibuka dan kami masuk. Aku semakin tertegun melihat isi rumahnya. Sungguh mewah dan luas.
"Kamu sekaya ini?" tanpa sadar pertanyaan itu meluncur dari mulutku.
"Kenapa? Apa sekarang kamu berubah pikiran?" tanyanya menggodaku.
"Berubah pikiran soal apa?" tanyaku bingung, tidak mengerti dengan arah pertanyaannya.
"Berubah pikiran untuk tidak jadi pacarku, tapi jadi istriku," jawabnya lalu terkekeh.
"Kita masih SMA. Ngawur, deh!!" sanggahku membuat Denis makin terkekeh.
"Kamu mau duduk dimana? Ruang tamu atau di kamarku?" tanyanya menatapku.
"Di sini aja!" jawabku sambil menunjuk sofa yang ada di ruang tamu.
"Yaudah, duduk dulu. Aku mau ke kamar, ganti baju!" kata Denis lalu berlalu pergi.
Aku duduk di sofa. Aku tertegun, kaget. Sofa itu sungguh lembut dan empuk membuat pantatku seakan baru saja menginjak surga. Aku memandang rumah itu, belum puas rasanya. Aku melangkahkan kaki ke sebuah foto keluarga. Disana ada sepasang suami istri dan Denis.
Ah..Rupanya dia anak tunggal. Tentu saja, dia sudah pernah mengatakannya. Bagaimana bisa aku melupakan itu?
"Nisa."
Panggilan itu membuatku menoleh, Denis sudah selesai berganti baju. Ia berjalan mendekat lalu duduk di sebelahku. Dia tersenyum lalu memegang tanganku.
***
Aku melihat seorang cowok yang aku kenal tengah mengarahkan pisau ke leherku. Dia menyeringai dengan senyuman yang seolah menunjukkan ia sedang bersenang-senang. Aku mencoba untuk menahan mata pisau yang sedikit lagi akan menembus kerongkonganku, mengingat betapa tajamnya pisau itu yang sudah sedikit melukaiku.
Cowok itu memperkuat tekanannya pada pisau itu dan membuatku sedikit kesulitan karena ia menindih tubuhku. Ia kembali menyeringai dan aku bahkan meneteskan airmata karena merasa ini adalah akhir dari hidupku.
BRUUK.
Pukulan itu membuat cowok itu terhempas ke samping, secepat kilat aku bangkit dan menjauh. Aku ambil pisau yang terlepas dari tangan cowok itu. Aku segera menindih tubuhnya dan aku tikamkan kuat-kuat ke jantungnya.
***
"Nisa. Nisa!"
Denis menggoyangkan-goyangkan tubuhku. Aku menoleh ke arahnya dengan airmata bercucuran.
"Nisa, ada apa?" tanya Denis sambil menghapus airmataku.
Aku hanya terdiam, membisu.
Haruskah aku katakan padanya, tiga hari dari sekarang aku akan membunuhnya?
Aku keluar dari rumah Denis dengan perasaan yang tercampuk aduk. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan jika penglihatanku benar. Walaupun di penglihatan itu Denis yang berniat membunuhku malah terbunuh, tetap saja pilihannya hanya dua. Menjadi pembunuh atau menjadi korban yang terbunuh. Aku tidak mau dua-duanya. Bagaimanapun aku harus mencari cara agar bisa terlepas dari semua ini.
Aku melihat Ferdi, cowok itu sudah menungguku yang baru saja turun dari halte bis. Cowok itu menatapku dengan wajah serius seolah dia mengisyaratkan kalau ada suatu hal penting yang harus dibicarakan.
Aku mengikuti Ferdi yang berjalan lebih dulu. Kami berhenti di sebuah bangku taman. Cowok itu duduk dan aku pun duduk di sampingnya. Ferdi menatapku seolah dia sedang merangkai kata-kata sebelum akhirnya mengungkapkan niatnya.
"Kamu mau bilang Denis akan membunuhku? Aku tahu itu!” Ucapku yang seketika membuat Ferdi terkejut.
"Jadi kamu sudah tahu kalau dia seorang pembunuh?"
"Hah?"
Sekarang giliran aku yang kaget mendengar ucapan Ferdi. Cowok itu menatapku bingung. Ia kira aku sudah tahu kalau Denis pembunuh, tapi tenggapanku ketika mendengar pernyataannya membuatnya yakin aku belum tahu apapun soal Denis.
"Bisa kamu jelaskan semua yang kamu tahu?" pintaku.
Ferdi menghela napas, tampak suatu keraguan di wajahnya.
"Jika kamu mengungkapkan semuanya, aku akan memberitahumu tentang rahasiaku."
Pernyataanku membuat Ferdi mempertimbangkan kembali keputusannya.
"Baiklah. Tapi aku harap kau mempercayai apapun yang aku katakan." Ferdi mengajukan syarat.
Aku mengangguk setuju.
"Aku mengenal Denis sejak kelas 8. Kami satu sekolah dan aku bahkan belum pernah mendengarnya bicara selama setahun meski kami di kelas yang sama. Lalu suatu hari aku melihatnya membunuh kakakku yang juga sudah membunuh orang tua kami. Kurangnya bukti membuat kakakku bebas, membuatku sangat membencinya. Lalu ketika aku melihat Denis membunuhnya, aku sangat berterimakasih. Aku pun mulai mencoba mengenalnya, lalu ia mengenalkanku pada 'Radit'."
"Radit?" tanyaku penasaran.
"Awalnya aku kira Radit itu kepribadian Denis yang lain, tetapi pada akhirnya aku tahu. Denis tidak mengidap DID, dia sengaja menghadirkan Radit sebagai kambing hitam atas sisi gelapnya."
Ferdi menghela napas berat, sepertinya ia sangat kecewa.
"Lalu aku mulai melihatnya membunuh orang dan bodohnya aku membantunya untuk menutupi setiap pembunuhan yang dilakukannya. Kemudian saat SMA, dia tiba-tiba pindah. Menghilang dari kehidupanku bagaikan air yang menguap di udara, tak meninggalkan jejak sama sekali hingga akhirnya aku menemukannya dan dia berhenti membunuh karenamu."
Ferdi menghentikan ucapannya dan melirikku.
"Dia berhenti membunuh karena aku?" tanyaku penasaran, tidak percaya sama sekali.
"Awalnya aku kira begitu, kenyataannya dia hanya tidak sempat membunuh korbannya karena orang lain telah membunuh mangsanya lebih dulu." Jawab Ferdi membuat ulu hatiku sakit, entah kenapa aku semakin kecewa.
"Jadi... Apakah Mia juga dibunuh olehnya?" tanyaku dengan sedikit takut. Bukan takut pada Denis, tetapi rasa takut tidak bisa menerima kebenaran.
Ferdi membisu, tidak ada jawaban yang terlontar. Kediamannya sudah menjadi jawaban bagiku. Pacar yang aku cintai, tidak lebih dari monster yang sedang menunggu waktu untuk memakanku.
"Ferdi, Denis akan membunuhku dalam tiga hari ini. Jika meleset, maka dia akan datang dua hari lagi. Tapi..."
Aku menghentikan ucapanku membuat Ferdi menatapku dengan rasa bimbang.
"Aku ingin melawannya besok, Fer!"
Ferdi kaget mendengar keputusanku yang bisa dibilang terburu-buru.
"Jangan gegabah, dia bukan lawan yang mudah!" Ferdi mencoba menghalangiku.
"Karena itulah aku butuh bantuanmu."
Ferdi menatapku tajam.
"Kamu yakin dengan semua ini? Jika kita salah perhitungan, kita berdua akan mati."
Aku mengangguk pasti. Aku takut, sangat takut namun jika aku terus lari aku tidak akan bisa hidup. Hidup dalam ketakutan sama halnya dengan kematian.
"Lalu apa rencanamu?"
Aku memandang Ferdi dan mulai mengatakan rencana besarku padanya.
Ferdi mengangguk sebagai tanda bahwa ia mengerti.
Hari ini tekad itu telah tumbuh menjadi suatu pohon dengan akar yang kuat dan besar.
Denis, maafkan aku. Aku akan membunuhmu lebih dulu sebelum kamu membunuhku