8. Semua terlambat saat kau tersadar

1426 Kata
“Kau kenapa?” tanya Byantara, nadanya terdengar datar namun matanya tak lepas dari Meylin yang tampak lunglai. pandangan curiga, namun Meylin sama sekali tidak menyadarinya. “Jangan dekat-dekat, Mas… aku habis muntah. Pasti menjijikkan,” jawab Meylin pelan, tenggorokannya masih terasa perih. Dia membuang pandang, menutupi rasa malunya. Perutnya terasa tidak nyaman, mungkin dia hanya kecapekan atau masuk angin. Tidurnya memang tidak pernah benar-benar nyenyak sejak tinggal di mansion keluarga Santara. Namun pikiran Byantara melesat ke arah lain. Kecurigaannya, yang belum benar-benar padam sebelumnya, kini menyala lagi. “Maaf, Mas. Aku ke atas dulu ya. Lebih baik aku istirahat cepat, mungkin besok sudah sehat lagi,” ucap Meylin, suaranya lirih tapi terdengar memaksa tegar. “Biar aku bantu,” ucap Byantara spontan. Ada sisi dirinya, entah sisi yang mana, yang jelas dia merasa tak nyaman melihat Meylin pucat begitu. Kalaupun Meylin menipunya, dia tetap tidak tega melihat keadaan Meylin yang lemah. Namun sebelum ia sempat melangkah, Meylin sudah mengangkat tangan, menolak. “A...aku bisa sendiri. Terima kasih, Mas,” ucapnya cepat, dan tanpa memberi kesempatan lebih, ia berbalik dan langsung menuju tangga. Langkahnya cepat, seakan ingin menjauh dari tatapan suaminya. Dia tidak menyadari kalau kelakuannya semakin menimbulkan rasa curiga dalam diri Byantara, padahal dia hanya merasa malu sesudah muntah, merasa tidak nyaman didekati karena lengan bajunya sempat terkena muntahan. Byantara hanya menatap punggung Meylin hingga menghilang di puncak tangga. Bibirnya bergerak, tapi tidak ada suara yang keluar. Ada satu bagian dari dirinya yang ingin menyusul, tapi sisi lain yang keras menahan keinginannya, rasa curiga akhirnya membuatnya tetap diam di tempat. Kenapa dia tidak mau didekati? Apa yang dia sembunyikan? Apakah dugaanku benar? Kalau benar… apakah dia pikir aku pria bodoh yang semudah itu ditipu? Hanya karena dia cantik, sopan, dan tampak sempurna di luar dia pikir bisa membuat ku terikat padanya? Tidak ada jawaban. Hanya sunyi yang menyelimuti rumah besar itu, sunyi yang seharusnya terasa hangat, kini berubah dingin dan mencekik. Bayangan-bayangan prasangka berkelebat di benak Byantara, perlahan tumbuh di dasar hatinya. Dari sekadar ragu, kini menjelma menjadi kekhawatiran kelam yang makin hari makin sulit dia abaikan. Semakin ia menatap ke arah tangga yang baru saja dilewati Meylin, semakin berat rasa di dadanya. Dalam diam, ketidakpercayaan itu terus hidup, merayap, dan mengambil tempat yang semakin besar. Namun pada akhirnya, Byantara menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam bara yang mulai menyala di dadanya. Seharusnya aku senang... bukan? Jika dia memang melakukan kesalahan, bukankah itu akan mempermudah jalan bagi kami untuk berpisah? Aku tidak perlu menjadi pihak yang menceraikan. Aku hanya perlu menunggu dia gagal mempertahankan semuanya. Pikiran itu terdengar dingin, namun terasa masuk akal dalam benaknya. Yang penting satu hal, aku tidak boleh menyentuhnya. Bila itu sampai terjadi, batas yang ia bangun sendiri akan runtuh. Lagipula dia sudah berjanji pada Dewi, dia tidak boleh mengecewakan Dewi yang menunggunya. Tiba-tiba ponsel di saku Byantara bergetar. Refleks, ia mengeluarkannya dan melihat nama di layar. Dewi. Hatinya langsung mengeras. Masih dengan sisa kekesalan dalam pikirannya tentang Meylin, Byantara menekan tombol hijau, mengangkat panggilan sambil menahan tarikan napas. "Kau sedang apa?" suara Dewi terdengar di ujung sana, tajam, penuh selidik. "Baru selesai makan. Lagi bereskan meja," jawab Byantara singkat, berusaha terdengar tenang. Sebuah dengusan sinis terdengar dari seberang. "Wah, kau benar-benar memanjakan istrimu, ya?" terdengar nada cemburu yang jelas. Byantara menghela napas panjang. Ia tidak menyukai nada tuduhan itu, seakan Meylin adalah musuh yang harus diawasi bersama Dewi, orang yang dulu ikut mendesaknya menerima pernikahan ini. Mengapa kini Dewi terus curiga dan tak percaya? “Kata Patrik, istrimu sangat cantik. Jangan lupa janjimu, Byan.” Nada Dewi penuh tuntutan, seakan perjanjian mereka tertulis di atas kertas bermaterai yang tidak boleh dilanggar. “Dewi, jangan membicarakan masalah ini terus, aku tahu batasanku,” jawab Byantara menahan napas. “Kau tahu Patrik itu seperti apa. Kalau jumpa perempuan, dia selalu hiperbola, jangan-jangan kambing diberi bedak pun dia bilang cantik. Dan kenapa kau masih dekat dengannya? Hindari saja. Jangan ceritakan apa-apa kepadanya. Patrik tidak bisa dipercaya.” Suasana hening sejenak. Hanya napas Dewi yang terdengar. Namun percakapan itu malah menambah keruh isi kepala Byantara. Bukan hanya Meylin yang membuatnya kebingungan, sekarang Dewi juga dan janji yang pernah mereka buat. “Tapi… kau benar-benar tak pernah tidur bareng istrimu itu, kan?” tanya Dewi tanpa malu, nada yang menyingkap batas-batas rasa risih Byantara. Setiap telepon selalu berputar pada topik itu, seolah-olah ia hanyalah pria yang tidak bisa menahan nafsu. Kesabaran Byantara yang tipis akhirnya meledak. “Hentikan, Wi! Kenapa tiap telepon mesti soal itu? Kalau kau tidak percaya padaku, seharusnya dari awal tidak perlu mendesak aku menikahinya.” Di ujung sana, suara Dewi berubah menjadi ratapan. “Aku tidak menyangka istrimu secantik itu, Byan. Patrik bilang dia sekolah di luar negeri. Ibumu begitu sayang dan bangga padanya. Aku takut, aku akan tergeser dari hatimu.” Lemahnya suara itu, air mata yang terdengar akhirnya memecah pertahanan Byantara. Ia punya satu kelemahan yang selalu dimanfaatkan Dewi: begitu melihat perempuan menangis, hatinya meleleh. Dewi, cinta pertamanya, adalah orang yang selalu mampu memicu sisi lunak itu. “Sudahlah, jangan curiga tanpa alasan. Aku tidak pernah menyentuhnya,” ucap Byantara, menenangkan sekaligus menegaskan jarak. “Kami sudah pindah ke rumah ku yang di luar kota. Aku juga tidak perlu lagi sekamar dengannya. Tenanglah, Wi.” “Benar, Mas? Kau janji?” bisik Dewi setelah suara tangisnya reda. “Sumpah, Wi. Aku tidak pernah menyentuhnya,” kata Byantara tegas. Dewi menghela napas panjang, menutup telepon dengan nada lega, sambil menempelkan kecupan lewat sambungan, sebuah sandiwara yang tidak asing. Ketika sambungan terputus, Byantara menatap layar yang mati dengan rasa gamang. Tekanan itu tidak kunjung berhenti, telepon demi telepon, Dewi selalu kembali pada satu topik yang sama. Di sisi lain kota, Dewi tersenyum puas. Matanya masih basah oleh air mata palsu yang baru saja ia perdengarkan. “Awas, Risma,” gumamnya sinis. “Kau pikir setelah mencarikan istri untuk anakmu, Byantara akan langsung melepaskan aku begitu saja? Suatu hari nanti kau akan kaget melihat bagaimana pernikahan yang kau atur ini berujung, aku tidak akan menyerah begitu saja.” Ia menghapus sisa air mata sandiwara nya. Tangisan, rayuan, cemburu, itu semua adalah senjata yang ia asah rapi sejak lama. Dan kali ini senjatanya berhasil menekan Byantara, membuatnya kembali pada janji yang dulu mereka buat bersama. Sementara itu, di rumah baru yang remang, rasa curiga Byantara membeku di dadanya seperti es. Makanan semalam, sentuhan kecil di halaman, Meylin yang tiba-tiba muntah, semua potongan itu berkumpul menjadi teka-teki yang tidak ingin ia akui sebagai kenyataan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi esok, tetapi satu hal jelas, bayangan kecurigaan itu semakin menebal, dan ia merasa terjerat di antara dua perempuan yang sama-sama memilikinya, satu sebagai istri yang pengertian, satu lagi sebagai cinta yang tidak rela dilepaskan. ******* Sejak dulu, Andi sudah jatuh hati pada Meylin. Bahkan, demi dekat dengannya, Andi meminta orang tuanya mengirimnya kuliah ke negara yang sama. Betapa bahagianya Andi ketika akhirnya Meylin mengangguk menerima cintanya. Namun kebahagiaan itu tidak bertahan sesuai janji mereka yang akan menikah setelah pulang Indonesia. Setelah wisuda, Meylin tiba-tiba menghilang tanpa sepatah kata pun, bukan hanya darinya, tapi juga dari Rose, teman sekamarnya. Meylin juga tidak memberitahu Rose kalau dia sudah pulang. Padahal awalnya Meylin masih berjanji pada Andi kalau selesai wisuda, dia akan magang dan menunggu Andi diwisuda juga, setelah itu mereka pulang bersama. Beberapa hari kemudian, Andi baru tahu sebabnya mengapa Meylin tiba-tiba menghilang. Seorang teman Meylin lainnya menyerahkan sepucuk surat. Di dalamnya hanya ada kata-kata singkat, dingin dan penuh luka: Anggap saja kita tak pernah mengucapkan janji itu. Saat kau tiba di Indonesia, jangan pernah mencari aku lagi. Kita sudah tidak ada hubungan apa pun. Aku paling benci pada pengkhianat, bahkan kau tega mengkhianati aku dengan teman sekamarku sendiri. Sejak membaca itu, penyesalan Andi tidak pernah berhenti. Ia menyesal tidak bisa menahan diri. Menyesal terjerumus dalam pergaulan bebas, sekadar ikut-ikutan teman. Padahal, Meylin selalu menjaga diri. Berkali-kali ia berkata ingin malam pertamanya hanya untuk suami. Andi, yang tahu Meylin berprinsip, sempat mencoba menahan diri, tapi Rose selalu menggoda. Hingga akhirnya ia tergoda, dan sekali jatuh… ia tidak bisa berhenti. Mereka bermain aman, sampai suatu saat semua terbongkar. Andi tidak pernah berniat menikahi Rose. Baginya, Rose hanya pelampiasan. Yang ia inginkan untuk menjadi istri adalah perempuan suci seperti Meylin. Kini, setelah kembali ke Indonesia, meski terlambat wisuda karena kelalaiannya sendiri, tekad Andi sudah bulat. "Aku sudah kembali, Mey. Aku akan mendapatkan kamu kembali." Tidak peduli bahwa Meylin sudah lulus lebih dulu. Tidak peduli betapa besar luka yang telah ia tanam. Andi tidak mengerti satu hal, ada beberapa hati yang, sekali hancur, tidak dapat ia pulihkan lagi. Bersambung........
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN