7. Hangat di Balik Prasangka

1404 Kata
"Ayo, kita ke lantai atas untuk melihat kamar. Kamu bisa pilih yang mana pun yang kamu suka. Nanti aku minta tukang angkat kopermu ke atas. Kalau kamu masih mau menunjukkan keahlian memasakmu, mungkin setelah ini saja,” ucap Byantara sambil mengarahkan langkah. Nada suaranya terdengar datar, tapi cukup jelas menyimpan jeda tidak nyaman yang membuat Meylin menangkap sesuatu yang ganjil. Meski tampak ragu, ia tetap mengikuti suaminya menaiki tangga kayu lebar menuju lantai dua. Lantai atas rumah itu memiliki desain terbuka, dengan bagian tengah yang tidak dibangun sehingga menghasilkan balkon dalam yang menghadap langsung ke ruang bawah. Setiap pintu kamar menghadap ke koridor yang bisa langsung melihat ke lantai satu. Suasana terasa lapang, namun bagi Meylin... sedikit sunyi. Ia memilih salah satu kamar yang menghadap ke gerbang utama. Dari jendela besar di sana, tampak taman rindang dengan pepohonan besar dan taman bunga yang terawat. “Kita di kamar ini saja ya, Mas Byan?” ujar Meylin sambil menoleh. “Aku suka pemandangannya. Terasa hidup.” Namun tidak ada jawaban. Meylin menoleh lagi, dan mendapati dahi Byantara berkerut. Wajahnya seperti tengah menimbang sesuatu yang tidak nyaman untuk diucapkan. Sebenarnya, dalam hati, Byantara ingin menyampaikan bahwa mereka tidak akan tidur di kamar yang sama. Namun, ada rasa canggung, juga khawatir melukai perasaan Meylin. “Kalau kamu suka... ya, tidak apa-apa,” jawabnya akhirnya. “Tapi sebenarnya aku jarang tidur di kamar. Perjalananku dari rumah ke perusahaan cukup jauh, aku lebih nyaman tidur di ruang kerjaku. Sudah kebiasaan sejak dulu.” Suara itu terdengar setengah bohong. Ia hanya mencari cara untuk menjaga jarak, melindungi komitmennya kepada Dewi. Meylin tampak terkejut mendengar itu, tapi hanya beberapa detik. Lalu, seperti biasa... ia kembali menenangkan dirinya. Wajahnya terlihat normal kembali. “Aku mengerti, Mas Byan pasti sibuk. Tapi seharusnya Mas bisa membedakan mana waktu kerja dan mana waktu istirahat,” ucapnya pelan namun tegas. “Tapi aku tidak akan melarang. Kalau Mas Byan merasa lebih nyaman begitu, aku akan menghormati keinginan mas Byan.” Lalu ia menambahkan, suaranya sedikit lebih dalam dan tegas: "Tapi, sebaiknya barang-barang Mas Byan tetap disimpan di kamar yang sama denganku. Supaya kalau Ibu datang atau pekerja di sini melihat, mereka tidak merasa aneh.” Kata-katanya sederhana, tapi mengandung pemahaman yang matang. Meylin tidak memaksa, namun ia tetap menjaga tata krama, nama baik, dan kehormatan pernikahan mereka di depan orang lain. Byantara terdiam. Ia memandang wajah cantik istrinya itu. Senyum Meylin yang tadi masih tersungging kini sudah hilang. Raut wajahnya tenang, tapi jelas... ada luka yang ia tahan sendiri. Dia tidak merajuk. Tidak marah. Bahkan tetap menjaga diriku dan hubungan kami dengan bijak, pikir Byantara. Untuk sejenak, ia merasa malu pada dirinya sendiri. Rasanya baru kali ini dia merasa begitu kekanakan, sementara Meylin menanggapinya dengan pengertian. Namun ia pun teringat: Aku sudah berjanji kepada Dewi. Dan aku harus menepatinya... apa pun caranya. Namun saat itu juga ia menyadari satu hal, Meylin bukan perempuan biasa. Ia bukan tipe yang langsung meledak saat tersinggung, bukan pula yang mengemis perhatian ketika tidak dianggap. Ia justru mampu menyerap setiap kecewa, menahannya dalam-dalam, lalu menyusunnya ulang menjadi pemahaman. Bukan untuk membenarkan perlakuan orang lain, tetapi untuk memahami, lalu melanjutkan hidup tanpa riuh. Hal itu justru membuat Byantara semakin bingung. Seandainya Meylin manja, gampang marah, atau suka menuntut, mungkin justru lebih mudah baginya untuk menghadapinya. Emosi bisa dilawan dengan emosi, caci bisa dibalas dengan kata, tetapi keheningan dan ketenangan seperti itu… membuatnya kewalahan. Kini, semakin sukar baginya menebak siapa sebenarnya perempuan yang kini ia sebut, istrinya. Terbuat dari apakah hatinya? Ia sungguh tidak mengerti. Karena semakin ia mencoba menjauh, semakin pula Meylin menanggapi dengan cara yang tak pernah ia perkirakan. Dan lambat laun, kebingungan itu mulai bergeser menjadi rasa penasaran yang ia sendiri tidak ingin akui. ****** Setelah pembicaraan terakhir mereka, Byantara hanya memberi instruksi pada tukang untuk mengantarkan koper berisi pakaian Meylin ke kamar. Namun setelah itu, ia tak lagi muncul ke lantai atas. Meylin memandang koper yang kini tergeletak di sudut kamar dengan helaan napas panjang. “Ayo, Mey... jangan berpikiran buruk,” gumamnya pelan, berusaha menyemangati diri sendiri. “Mungkin Mas Byan memang tidak terbiasa berada di dekat perempuan.” Sejak awal, Meylin mencoba realistis tentang kehidupan barunya. Ia membayangkan setelah menikah, setidaknya ia punya teman bicara, seseorang untuk berbagi cerita. Apalagi ia tahu Byantara seorang insinyur yang biasa membangun rumah dan merancang taman kota, tentu orang yang banyak tahu dan asyik diajak bertukar pikiran. Namun nyatanya, harapan itu masih jauh dari kenyataan. “Tapi aku sudah memilih jalan ini,” lanjut Meylin dalam hati. “Aku harus menjalaninya baik-baik. Tidak boleh menyesal, apalagi dia pernah menyelamatkan nyawaku. Aku harus sabar…” Dengan tekad itu, ia membuka koper dan mulai menyusun pakaiannya rapi di dalam lemari. Namun setelah semua selesai, suasana rumah tetap sepi, Byantara belum juga terlihat. Akhirnya, untuk mengusir sunyi, Meylin menuju dapur dan memutuskan untuk memasak. Saat membuka kulkas, hatinya sedikit terasa hangat. Ada lauk, sayuran, semuanya tertata rapi, seolah Byantara memang sudah mempersiapkan keberadaannya di rumah ini. Ia tersenyum tipis, merasa sedikit dihargai. Ternyata memasak benar-benar bisa mengalihkan pikirannya. Beberapa jam berlalu, dan tiga hidangan sederhana kini sudah tertata cantik di atas meja makan. Namun hati Meylin mulai gelisah lagi. Rasanya tidak pantas makan sendiri. Lagipula, makanan akan kurang nikmat jika tidak lagi hangat. Dengan ragu, Meylin keluar rumah, menelusuri halaman luas yang belum sepenuhnya diterangi lampu malam. Suasana gelap dan remang membuat langkahnya pelan dan penuh waspada. Tiba-tiba—sesuatu menggelitik punggungnya. Refleks, Meylin menjerit kecil, wajahnya pucat seketika. Suaranya terdengar jelas sampai ke area belakang rumah, dimana Byantara sedang memeriksa sebagian pagar yang perlu direnovasi. "Ada apa?" tanya Byantara cepat, menghampiri dengan ekspresi kaget. Ia langsung melihat kegelisahan di wajah istrinya yang pucat pasi. “A… ada sesuatu di punggungku. Aku takut,” jawab Meylin terbata, gemetar kecil. Tanpa berpikir panjang lagi, Byantara mendekat dan berdiri tepat di belakangnya. “Maaf, aku lihat dulu. Jangan bergerak.” Tangan Byantara dengan hati-hati menyelip masuk lewat kerah belakang baju Meylin. Sentuhan kulit halus istrinya tanpa sengaja menyentuh telapak tangan dinginnya, cukup untuk membuatnya menahan napas sejenak. Ada sesuatu yang ia rasakan, tapi buru-buru ia tepis agar tidak larut dalam sensasi itu. Akhirnya, ia berhasil menarik keluar penyusup kecil itu, seekor belalang hijau yang entah sejak kapan bersarang di balik punggung baju Meylin. “Ini cuma belalang,” ujar Byantara sambil memegangnya di depan mata Meylin yang masih tegang. Meylin memejam sebentar, lalu menarik napas lega meski wajahnya belum sepenuhnya pulih dari kejutan. Dan di dalam hening itulah, untuk pertama kalinya sejak menikah… jarak di antara mereka seolah mulai mencair. “Di luar kurang terang, ada apa kamu sampai keluar?” tanya Byantara, sorot matanya sedikit cemas namun tetap dijaga agar terdengar datar. “Aku sudah selesai memasak dan ingin mengajak Mas makan. Tidak enak makan sendirian,” jawab Meylin pelan. Suaranya bergetar halus, bayangan kaki belalang yang sempat merayap di punggungnya tadi masih membuatnya merinding. Mendengar nada ketakutan dalam suara Meylin, Byantara hampir saja terkekeh. Ternyata perempuan yang selama ini terlihat tegar itu juga bisa takut… pada seekor serangga kecil. Namun saat melihat wajah Meylin yang benar-benar pucat, tawanya menguap. Rasa iba tiba-tiba muncul, disusul kesadaran: perempuan itu keluar mencarinya, bukan untuk mengeluh, tapi untuk mengajaknya makan bersama. “Sudah, ayo masuk,” ujar Byantara akhirnya, tanpa sadar mengulurkan tangan dan menggandeng Meylin masuk ke dalam rumah. Itu adalah sentuhan pertama mereka sejak pernikahan berlangsung. Jemari Byantara hangat, hangat yang mengingatkan Meylin pada masa lalu, saat lelaki itu menolongnya di sungai beberapa tahun yang lalu. Ada sesuatu yang bergetar halus di dalam dadanya. Namun ia menahannya rapat-rapat. Begitu melihat hidangan yang tertata rapi di meja makan, Byantara sempat terdiam. Tiga menu, sederhana namun tampak lezat. Ia duduk dan mulai menyuapinya dengan perlahan, dan matanya melebar sedikit. Rasanya sungguh enak. Tidak kalah dengan masakan koki restoran bintang lima yang pernah ia cicipi saat berada di kota. Namun suasana hangat itu mendadak buyar. Belum lama makan, Meylin tiba-tiba beranjak cepat dari kursinya dan berlari menuju wastafel dapur. Suaranya terdengar seperti menahan sesuatu, dan saat Byantara mengejarnya, ia mendapati Meylin membungkuk, muntah-muntah. Sontak, sorot mata Byantara berubah. Kejengkelan dan curiga yang selama ini ia tekan kembali muncul ke permukaan. Jangan-jangan dia sudah hamil… pikirnya tajam. Pantas saja dia mau buru-buru menikah. Mungkin dia hanya sedang mencari ayah untuk calon anaknya. Rasa dingin menjalar lagi di hatinya. Hangatnya masakan, ketulusan Meylin yang keluar mencarinya, semuanya mendadak terasa kabur. Yang tertinggal hanya prasangka dan jarak yang kembali melebar. Bersambung.........
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN