Dengan langkah lesu, Meylin menarik sebuah kursi dan duduk sendirian di meja makan. Roti panggang yang tadinya dibuat untuk dua orang kini terasa hambar di hadapannya. Namun ia tahu, tidak ada pilihan lain selain tetap makan. Ia tidak boleh tampak lemah, apalagi sampai sakit.
“Tidak lucu kalau baru pindah rumah saja aku sudah sakit-sakitan,” batinnya getir. “Nanti aku malah dicap manja oleh mas Byan.”
Kemarin saja, tubuhnya sempat jatuh sakit, masuk angin hingga muntah-muntah. Itu sudah cukup membuat dia merasa malu dan tidak enak. Dia memang menolak pertolongan yang diberikan Byantara, tetapi semalaman, Byantara sepertinya tidak pernah naik ke atas untuk melihat keadaannya. itu saja sudah cukup menunjukkan kalau Byantara terlalu acuh padanya.
Terbayang lagi percakapan mereka beberapa waktu lalu, saat Byantara sempat bertanya apakah ia tidak keberatan tinggal di pinggiran kota.
“Tidak, mas,” jawabnya saat itu, berusaha terdengar meyakinkan. “Aku juga suka tempat seperti itu. Suasananya tenang, tidak bising. Lagipula, aku sudah menikah dengan mas Byan. Tentu aku harus menyesuaikan diri dan mengikuti, ke mana pun mas tinggal.”
Jawaban itu keluar tanpa ragu. Meylin sungguh ingin menampilkan dirinya sebagai istri yang tegar, mandiri, dan penuh pengertian. Namun nyatanya, tubuhnya bereaksi lebih dulu pada perubahan suasana. Baru hari pertama tiba di rumah ini, ia sudah harus bergulat dengan sakit.
“Jangan sampai mas Byan melihatku lemah,” gumamnya sambil mengunyah pelan. “Aku tidak ingin jadi sumber masalah... apalagi beban.”
Telur dan roti yang ia makan tidak lagi menimbulkan rasa. Tetapi ia memaksa diri menelan semuanya, sebagai bukti bahwa ia masih mampu bertahan. Sebagai perempuan yang tidak merengek, tidak menuntut, dan siap berdiri meski hatinya luka.
Meylin menatap jendela yang membingkai langit biru lembut di luar sana. Di balik keheningan itu, ia ingin percaya bahwa hari akan berubah. Bahwa suatu saat, seseorang yang duduk di kursi ujung meja itu akan menatapnya... bukan hanya sebagai istri yang hadir, tetapi sebagai seseorang yang ia butuhkan.
Namun, sampai saat ini, semua masih tentang Meylin yang berjuang sendiri dalam cinta yang tak pernah disuapi balik.
*******
Setelah membersihkan dapur dan merapikan meja makan, Meylin berjalan pelan menuju ruang tamu. Dari sana, sebuah jendela besar memungkinkannya melihat halaman luas di depan rumah. Ia hampir saja berbalik hendak naik ke lantai dua, namun sesuatu membuat langkahnya terhenti, sesosok bayangan berdiri di bawah sinar matahari pagi.
Meylin terpaku. Itu Byantara.
Ia tampak sedang berbicara dengan seorang tukang, menunjuk-nunjuk ke suatu sudut halaman seolah memberi arahan. Tangan kirinya menyelip di saku celana, sesuatu yang biasa ia lakukan ketika sedang serius atau memikirkan sesuatu. Meylin menoleh sekali lagi, memastikan itu bukan bayangan atau harapannya sendiri. Tidak, itu memang suaminya. Masih di rumah. Masih ada di dekatnya.
Dadanya yang tadi sunyi kini dipenuhi detak yang berbeda, hangat, bersemangat. Rasa senang menyelinap begitu saja di hati Meylin. Mungkin ia terlalu cepat berprasangka buruk. Mungkin, Byantara bukan sengaja menghindarinya. Mungkin ada alasan ia belum berpamitan.
“Pantas dia tidak pamit,” bisik Meylin pelan, hampir malu sendiri karena sempat berpikir buruk.
Dengan perasaan yang kembali hidup, Meylin bergegas menuju dapur. Tangannya dengan terampil membuat beberapa roti panggang baru, lebih hangat, lebih renyah. Kali ini ia menambahkan sedikit madu, sesuatu yang ia tahu disukai Byantara saat suasana hati sedang baik.
Tidak hanya itu, ia juga menyeduh kopi hitam kesukaan suaminya. Aroma pekatnya memenuhi ruangan. Kopi itu ia tuangkan ke dalam termos kecil, agar tetap hangat, agar bisa diminum kapan pun, saat Byantara berhenti sejenak dari pekerjaannya.
“Aku akan antarkan ke depan,” gumamnya penuh semangat.
Ada secercah keyakinan muncul kembali dalam dirinya. Ia ingin menunjukkan bahwa ia selalu ada untuk suaminya, bukan hanya dalam diam, tapi lewat perhatian kecil yang tidak perlu diminta. Dalam benaknya, ia berharap, apa pun yang membuat jarak itu terbentang, perlahan bisa dipersempit.
Bagaimanapun juga, ia masih istri yang ingin dicintai. Dan hari itu, Meylin membiarkan harapan kecil itu tumbuh lagi, dengan secangkir kopi hangat, beberapa potong roti, dan sebuah langkah kecil menuju halaman rumah... menuju hati suaminya.
Bukankah kadang-kadang cinta bisa saja berawal dari perut?
Karena itulah ibunya berkali-kali berpesan padanya, setinggi apapun dia mengejar pendidikan, jangan pernah lupa untuk belajar memasak.
"Saat kamu berkeluarga, kamu membutuhkan keahlian seperti itu. Terkadang masakan yang kita buat akan terasa lebih berarti untuk orang yang kita sayangi, seperti keluarga kita sendiri," nasehat sang ibunya yang selalu dia ingat itu. Namun lama kelamaan dia mencintai kegiatan itu, setiap ada waktu senggang, dia selalu mencoba membuat menu baru, Dulu Andi selalu memuji keahliannya itu, bahkan Andi berkata kalau istri seperti dia sulit dicari, serba bisa.
Tetapi pada akhirnya Andi mengkhianatinya hanya karena Rose lebih ahli di atas ranjang.
******
Sebelum pernikahan, Meylin mulai memikirkan hal-hal yang tidak pernah ia sentuh sebelumnya. Walau sering merasa malu, bahkan risih, ia tetap membuka situs-situs yang membahas hal-hal intim dalam rumah tangga. Semua itu ia lakukan demi satu tujuan: memahami apa yang disukai suaminya, agar bisa menjadi istri yang sempurna di mata Byantara.
Dia tidak ingin mengulang kesalahan yang sama.
Gagal sekali dalam cinta, itu sudah lebih dari cukup. Kali ini dia adalah seorang istri, bukan lagi sekadar kekasih yang bisa ditinggalkan kapan saja. Dengan cincin di jari dan janji suci yang mengikat mereka, ia merasa harus lebih berjuang. Dia ingin dicintai, diinginkan, bahkan dipertahankan. Meylin tidak ingin lagi merasakan ketakutan akan kehilangan, apalagi setelah tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh orang yang dulu begitu ia percayai.
Bahkan jika harus mulai dari hal yang paling pribadi sekalipun, ia siap. Ia rela belajar dari nol, selama itu bisa membuat suaminya tersenyum bangga, atau menyentuh pipinya dengan penuh kelembutan.
Tetapi… apakah perjuangannya itu cukup? Apakah hanya dengan menjadi sempurna di dapur dan ranjang, ia bisa menyentuh hati Byantara?
********
Dengan hati-hati, Meylin melangkah keluar rumah, membawa nampan kecil berisi roti panggang hangat dan termos kopi. Angin pagi menyapa lembut wajahnya, semerbak aroma kopi hitam memenuhi inderanya. Semakin dekat ia berjalan, semakin jelas suara-suara dari tukang bangunan yang sedang bekerja di halaman depan rumah baru milik mereka.
Byantara berdiri dengan posisi tegas, tangan bersilang di d**a, memberi arahan pada seorang mandor. Gesturnya tenang, suaranya tegas, sosok yang nyaris sempurna bila dilihat dari luar. Meylin berusaha menenangkan degup jantungnya, berharap kehadirannya akan dicatat, meskipun kecil harapannya.
Saat jaraknya tinggal beberapa langkah lagi, salah satu tukang yang melihatnya langsung menyenggol rekannya dan berbisik cukup keras hingga terdengar:
"Wah, cantik sekali ya istrinya Tuan Byan. Gaya pun masih modis, padahal tinggalnya jauh dari kota..."
"Iya, beruntung sekali Tuan Byan,” timpal yang lain dengan senyum setengah kagum, setengah bercanda. “Pasti istrinya juga perhatian banget. Jarang-jarang, istri mau anter makanan sendiri ke tempat kerja suaminya.”
Mendengar itu, Meylin hanya bisa tersenyum tipis, meski hatinya terasa hangat sekaligus getir. Salah satu dari mereka sempat melirik ke arah Byantara dan berkata pelan namun penuh maksud, “Tuan, hebat betul bisa dapat istri seperti ini.”
Byantara sekilas melirik ke arahnya, tetapi ekspresinya tetap datar. Tidak ada senyum, tidak ada sapaan hangat. Hanya sebuah anggukan singkat yang bahkan terasa seperti formalitas semata.
“Mas Byan,” ucap Meylin lirih namun berusaha tegar saat mendekat. “Ini sarapan dan kopi kesukaan mas… tadi aku lihat mas belum makan.”
Byantara menatapnya sebentar, sebelum beralih kembali ke arah mandor.
“Taruh saja di sana,” katanya singkat, menunjuk meja kecil di dekat tumpukan bata.
Meylin tersentak kecil, tapi buru-buru mengangguk. “Baik, mas…” suaranya pelan, seperti hampir tertelan oleh keramaian di halaman.
Namun saat ia kembali menata makanan di meja, suara-suara tukang yang kagum tidak bisa ia abaikan.
"Sungguh perhatian istrinya, ya…"
“Cantik, anggun pula... sangat cocok dengan Tuan Byan yang mengayomi.”
"Jarang gadis kota yang mau tinggal di sini lho, terlalu sepi dan jauh dari kota."
Meylin menunduk sebentar. Puji-pujian itu memang manis, tetapi rasanya sia-sia jika suaminya sendiri yang paling jarang menyadari.
Ketika ia menoleh terakhir kalinya, ia melihat Byantara masih berdiri tegak, sama sekali tak menatapnya. Suasana itu menusuk halus di dadanya. Tapi ia tidak menangis, ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk kuat. Setidaknya di hadapan dunia luar.
“Semoga ini cukup membuat dia mengerti, kalau aku selalu ada untuknya...” batinnya lirih.
Bersambung........