12. Di ujung Sentuhan Pertama

1208 Kata
Untuk menenangkan pikirannya yang terus mengembara, Meylin memutuskan untuk kembali ke dapur, tempat di mana ia merasa paling bahagia. Ia mulai mempraktikkan ilmu kulinernya, seperti yang sering ia lakukan di rumah dulu. Benar kata Byantara, ibunya, Risma memang gemar memasak. Bahan dan peralatan yang tersedia di sini sangat lengkap, seolah disiapkan oleh seseorang yang mengerti banyak tentang dapur dan mengerti bahan-bahan pokok yang paling dibutuhkan untuk membuat lauk maupun kue. Dengan bahan yang ada, Meylin berhasil membuat cookies sederhana, yang bagian atasnya dihiasi choco chip warna-warni. Ia tersenyum puas melihat hasilnya, aroma manis kue yang baru matang menyelimuti seluruh ruangan, seolah ikut mengurangi kegelisahannya. Tanpa Meylin sadari, sejak beberapa menit lalu Byantara memperhatikannya dari dekat kulkas sambil memegang botol besar untuk tempat air minum. Pandangannya tidak lepas dari sosok Meylin, tangannya yang cekatan, gerakannya yang tenang, dan caranya menata adonan ke dalam loyang. Ada sesuatu yang menghangat di dalam d**a Byantara. Tepat di sana, ia melihat sekelebat bayangan ibunya, Risma, wanita tegar yang membesarkannya tanpa keluhan setelah ayahnya pergi. Ibunya yang selalu pandai menyembunyikan lelah di balik senyuman, dan selalu bisa mengubah dapur menjadi tempat yang penuh kehangatan, hanya dengan masakan sederhana yang dibuat sepenuh hati. Meylin, tanpa sadar, mengingatkannya pada cinta yang paling tulus dalam hidupnya. Dan dalam diam itu, ada rasa yang mulai bergeser, dari dingin, menuju hangat yang tidak terdefinisi. Hanya ada satu perbedaan yang terasa jelas di mata Byantara, perbedaan yang membelah bayangan lembut antara sosok ibunya dan Meylin. Ibunya adalah wanita tangguh yang keras, tegap meski diterpa badai, dan cukup otoriter, sebaliknya Meylin tampak lembut, namun justru kesan itulah yang menyembunyikan ketangguhan yang lebih sunyi. Tangannya yang lentur mencetak adonan cookies dengan penuh kesabaran, gerakannya tenang, seakan tidak ada beban berarti yang tengah ia pikul. Padahal Byantara tahu, tidak ada yang mudah dari hidup Meylin sejak menikah dengannya. Dia yang dengan sengaja mengacuhkan Meylin dan menjaga jarak. Tapi di hadapannya, Meylin seperti menyulap luka, kesediaan, dan keterasingan menjadi kehati-hatian. "Andai... aku tidak pernah berjanji pada Dewi. Andai dia belum punya kekasih," batin Byantara, tiba-tiba larut dalam gumaman batinnya sendiri. "Apakah kami akan menjadi pasangan yang cocok?" Sesaat, pikirannya berkelana, membayangkan seandainya Meylin adalah wanita yang datang tanpa masa lalu, tanpa beban asing dari negeri jauh itu. Tidak sulit untuk jatuh cinta pada perempuan seperti Meylin, pikir Byantara. Cantik jelita, lembut, anggun, dan begitu terampil. Sungguh beruntung pria yang pertama kali mendapatkan cintanya... Tapi hanya sesaat. Hanya sekelebat perasaan yang hadir dan dengan cepat ia usir. Untuk apa semua itu? Jika semua kelebihannya hanya menjadi sampul luar, sebuah kemasan rapi yang menutupi masa lalu penuh pergaulan bebas saat ia masih di luar negeri? Bayangan itu terus menghantui pikirannya, hal yang tidak pernah ia pastikan, namun telanjur menjadi duri yang menghambat kedekatan mereka. "Lembut, cantik, terampil... tapi apa itu cukup?" gumamnya lirih, hatinya kembali mengeras. Seolah setiap pesona yang Meylin tunjukkan hanya dijawab dengan dinding dingin yang dibangun oleh keraguan dan rasa takut yang belum pernah ia ungkapkan. Belum lagi janji pada Dewi, cinta pertamanya. ****** Sedang asyik melakukan hobinya, Meylin benar-benar terlarut dalam kesenangannya. Dapur terasa seperti ruang yang menyembuhkan segala resah, tempat ia merasa hidup kembali, saat aroma mentega, gula, dan adonan manis yang ia olah memenuhi udara. Tangannya baru saja mengeluarkan loyang berisi cookies yang baru matang dari oven, cokelatnya meleleh, warna permukaannya kecokelatan sempurna. Ia tersenyum, sedikit bangga pada dirinya sendiri. Namun senyum itu lenyap seketika. Meylin tiba-tiba merasa ada sorot mata yang memperhatikannya sejak tadi. Perasaan itu begitu nyata hingga membuat jantungnya berdebar pelan. Saat ia menoleh… Ia terkejut. Di belakangnya berdiri sosok tinggi besar, tubuh tegap yang sangat ia kenal, Byantara. “Mas?” ucapnya terkejut, hampir tidak percaya. Karena refleks, tangannya terlepas, dan... BRUK! Loyang panas yang masih berisi cookies itu jatuh dan tanpa ampun mengenai punggung kaki Meylin. “Aduh!” teriaknya lirih seraya ambruk di lantai. Rasa panas menjalari kulitnya, refleks membuatnya mengangkat kaki sambil mengusap bagian yang terjatuh, mencoba meredakan rasa nyeri. Wajahnya meringis, menahan perih sekaligus malu. Kenapa ia harus ceroboh di depan Byantara? Byantara spontan bergerak mendekat, ekspresi dingin yang biasanya terpampang berganti kerut khawatir. “Kamu kenapa? Sakit?” tanyanya cepat, suaranya tiba-tiba terdengar… lebih manusiawi. Meylin mengangguk pelan, masih menunduk, tidak berani menegakkan kepala untuk menatap wajah suaminya. Dia merasa malu, juga takut kecewa, bisa saja Byantara tengah menatap kesal atau dingin padanya, karena sudah bersikap ceroboh. Namun saat tangannya berusaha menggeser loyang yang terjatuh, Byantara sudah lebih dulu menyingkirkannya, lalu berjongkok di sampingnya. Ia tampak ikut menahan raut nyeri, seakan bisa merasakan rasa sakit itu. “Mestinya kamu hati-hati. Kaki kamu luka bakar seperti ini bisa bengkak nanti,” ujar Byantara, nadanya terdengar lebih lembut, seolah ada hal lain yang menyelinap di antara nada suaranya selain sekadar teguran. Meylin merasa matanya panas. Bukan karena luka di kakinya, tapi karena kehangatan sekilas yang kini menjelma dari seseorang yang selama ini terasa begitu jauh. Dia merasa kembali menemukan Byantara yang dulu, Byantara yang menyelamatkannya. Suara Byantara terdengar khawatir padanya. “Maaf mas…, aku tadi terkejut...” jawabnya lirih. Dan untuk pertama kalinya, ada jeda di antara mereka yang terasa bukan sebagai jarak… tapi kesempatan. ****** “Ayo, aku bantu ke sana. Kebetulan aku punya salep untuk luka bakar.” Meylin hanya bisa mengangguk pelan, masih memegangi pergelangan kakinya yang perih. Saat ia akhirnya memberanikan diri menatap Byantara, ada seberkas kehangatan di mata suaminya yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. “Iya, mas, terimakasih,” ucapnya lirih dan sopan. Tanpa banyak kata, Byantara memapah Meylin untuk berdiri. Namun setelah beberapa langkah, ekspresi sabar itu berubah menjadi resah. Gerakan Meylin terlalu lambat, dan ia tampak semakin meringis menahan sakit. Dengan helaan napas pelan, Byantara tiba-tiba membungkuk. Dalam satu gerakan, tangannya terulur, mengangkat Meylin ke dalam gendongan bridal style. “Mas… aku… aku bisa sendiri,” gugup Meylin sambil berusaha menahan debaran di dadanya. Jantungnya langsung berdegup tidak karuan. Ia tidak pernah membayangkan akan disentuh sedekat ini oleh suaminya yang dingin itu. Hangat, kuat, dan nyaman, semuanya terasa membingungkan sekaligus menyenangkan. “Sudah. Di depanku tidak usah sok kuat,” ujar Byantara tegas, suaranya dalam namun tetap terdengar peduli. “Kau baru saja kena panas, Meylin.” Meylin terdiam, kata-kata itu bagaikan tamparan lembut yang membungkam penolakannya. Ia akhirnya memeluk leher Byantara, membiarkan dirinya bersandar pada bahu kokoh suaminya dengan malu-malu. Di sisi lain, Byantara juga berusaha tetap tenang. Tapi jantungnya…? Tidak berbeda jauh dari milik Meylin, berdebar kacau. Apalagi ketika kulit Meylin yang lembut menyentuh tubuhnya, aroma sabun yang halus tercium samar dari lehernya, membuatnya harus menghela napas pelan. Mengusir perasaan lain yang ikut muncul. Fokus, ia mengingatkan diri sendiri. Ia tidak boleh terperangkap perasaan yang tiba-tiba membuncah. Tidak pada perempuan yang menurutnya, masih menyembunyikan sesuatu. Namun tetap saja sensasi itu tidak pergi, justru semakin terasa. Setibanya di sofa, Byantara menurunkan Meylin perlahan. Wajahnya tampak gugup, hal yang jarang terlihat dalam diri seorang pria seperti dia. Meylin duduk pelan, menatap suaminya yang kini berjongkok di depannya, membuka tutup obat salep. “Akan terasa sedikit dingin,” ujarnya sebelum mengoleskan salep pada kulit merah menyala di kaki Meylin. Meylin mengangguk. Tapi rasa dingin itu tidak seberapa dibanding sentuhan lembut yang diberikan Byantara. Dan untuk beberapa detik, dunia terasa berhenti, hanya ada mereka berdua, terjebak dalam keheningan yang tidak lagi terasa jauh. Mungkinkah… ini awalnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN