Ketika Byantara baru selesai mengoleskan salep dan hendak membalut kaki Meylin dengan perban tipis, tiba-tiba terdengar suara batuk kecil dari arah pintu dapur.
“Maaf, Pak Byan... kami tadi nunggu air minum,” ujar sang mandor tukang sambil menggaruk kepala canggung. Suaranya langsung terhenti saat pandangannya jatuh pada pemandangan yang ada di hadapannya: bos mereka, pria yang mereka kenal sebagai sosok tegas dan cenderung dingin, kini tengah jongkok, dengan penuh kesabaran dan ketelitian merawat kaki istrinya yang tampak cantik, tapi kini meringis menahan nyeri.
Melihat pemandangan itu, tentu muncul keinginan untuk menggoda. Terlebih lagi, semua orang tahu kalau Byantara dan Meylin masih pengantin baru. Dua tukang lain yang ikut berdiri di belakang sang mandor saling senggol sambil terkekeh pelan, tidak mampu menyembunyikan rasa geli dan heran mereka.
“Istri Pak Byan cantik sekali, pantesan Pak Byan perhatian banget,” celetuk salah satu tukang dengan senyum nakal.
“Tadi kan Pak Byan bilang mau bawain air buat kami, tapi habis ketemu istrinya langsung lupa. Fokus ke istri sampai kami ditinggal,” sahut yang lain sambil tertawa rendah.
“Wah iya, jarang ada bos yang sayang istri sampai ngurusin sendiri gitu,” timpal tukang ketiga, lebih berani. “Nyonya beruntung banget punya suami begitu.”
Wajah Meylin memanas seketika. Ia menunduk dalam, malu tapi tidak bisa menyembunyikan senyuman tipis yang pelan-pelan merekah. Ada rasa hangat, bangga dan… untuk pertama kalinya, hatinya benar-benar tersentuh. Diakui sebagai istri Byantara, suami yang ternyata tidak sepenuhnya dingin, apalagi saat situasi seperti ini.
Byantara sendiri hanya terdiam sejenak. Rahangnya mengeras, bukan karena kesal pada tukang-tukangnya, tapi lebih karena canggung dan entah, ada rasa asing yang menggelitik di dadanya. Ia, yang selama ini selalu nampak menjaga jarak, kini terlihat seperti suami penyayang di mata orang lain. Dan ia tidak tahu bagaimana harus menanggapi. Yang ada malah muncul rasa bersalah.
“Sudah selesai,” ucap Byantara singkat sambil berdiri. Ia merapikan posisi duduk Meylin dengan gerakan lembut, seolah itu sudah menjadi kebiasaan, lalu menatap para tukang dengan ekspresi datar.
“Airnya ambil sendiri di dapur. Tadi belum sempat kuisi, Pak Ahmad,” katanya.
“Baik, Pak Byan,” jawab sang mandor cepat-cepat. Melihat ekspresi serius Byantara, mereka memilih menahan keinginan menggoda lebih jauh dan langsung menuju dapur seperti yang diperintahkan.
Begitu suara langkah mereka menjauh, Meylin menatap perbannya yang rapi. Ada rasa berdesir yang lembut, memenuhi dadanya.
Dipanggil “punya suami”... rasanya baru hari ini aku sungguh merasa memilikinya, batinnya lirih, sambil menatap punggung Byantara yang kini berdiri agak jauh, terlihat tenang di luar, namun… tidak sepenuhnya tenang.
Di sisi lain, Byantara berdiri dengan satu tangan bertolak pinggang, napasnya sedikit tidak beraturan. Mendengar Meylin dipanggil sebagai “istri yang beruntung”, dadanya terasa sesak, seperti ada sesuatu yang menghimpit. Rasa bersalah tiba-tiba tumbuh, mengingat apa yang ia rencanakan bersama Dewi.
Andai saja tidak ada rahasia di antara mereka… andai hatinya tidak pernah diisi oleh orang lain.
Ia menghela napas pelan. Seperti biasa, ia memilih mengabaikan perasaan itu sebelum sempat membesar. Karena bila ia biarkan tumbuh, ia takut tidak akan mampu lagi menetapkan batas.
******
Setelah para tukang pergi, ruangan itu perlahan kembali tenggelam dalam kesunyian. Hanya suara napas dan detik jam dinding yang terdengar samar. Meylin masih duduk di sofa, kedua tangannya bertaut di pangkuannya, berusaha menenangkan debaran di dadanya yang belum sepenuhnya reda. Ia ingin berterima kasih, namun kata-kata itu terasa seperti mengganjal di tenggorokan, terlalu besar untuk diucapkan begitu saja.
Di seberang, Byantara sudah duduk di kursi, posturnya tegak, matanya tertuju pada arah yang tak pasti. Namun berbeda dari biasanya, ia tidak langsung meninggalkan ruangan. Tidak ada desahan lelah, tidak ada alasan untuk buru-buru pergi ke ruang kerjanya. Justru… tampak ada keraguan yang singgah lama di matanya. Seperti ada sesuatu yang ia pikirkan, tapi belum siap ia buka.
Mungkin karena kejadian tadi, saat ia harus jongkok, menyentuh luka di kaki Meylin, merawatnya… atau mungkin karena godaan dari para tukang yang menyebut Meylin sebagai istri beruntung. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa kata-kata itu menyentuh dirinya lebih dalam dari yang ia harapkan.
“Kamu tadi bikin cookies, ya?”
Suara Byantara memecah hening itu, mencoba membuka percakapan. Tatapannya beralih pada toples kecil di atas meja, isi cookies yang berhasil selamat dari kecelakaan loyang terjatuh.
Meylin mengangguk pelan. “Iya mas… cuma resep sederhana.” Suaranya terdengar malu-malu, tapi ada kilau kecil di matanya.
“Bentuknya rapi,” ucap Byantara, kini menatap langsung ke arahnya. “Seperti buatan toko.”
Kata-kata itu sederhana, tapi membawa kehangatan yang tidak biasa. Meylin tertegun. Ini pertama kalinya ia mendengar pujian tulus dari suaminya. Ia mengangkat wajahnya sedikit, nyaris tidak percaya.
“Aku… belajar sedikit demi sedikit. Dulu waktu masih kuliah, aku coba-coba bikin roti, pastry, cookies juga. Bukan cuma masakan rumah.”
“Kuliah di luar negeri, masak juga?” tanya Byantara, alisnya sedikit terangkat, ekspresi yang jarang muncul darinya. Ada ketertarikan di situ, murni rasa ingin tahu, tanpa penilaian.
“Iya,” jawab Meylin, tersenyum samar. “Aku ambil jurusan manajemen seni. Tapi dunia kuliner itu… jadi tempat pelarian. Ada banyak hal yang bikin aku terjebak di kamar. Waktu itu…”
Suara Meylin melemah, tidak berlanjut. Ada kenangan yang datang, seperti bayangan yang berkelebat dan menyisakan luka. Tapi ia memilih menahannya. Ia tidak ingin kehangatan yang baru tumbuh di antara mereka padam oleh cerita yang belum siap ia bagi.
“Kalau aku sedang suntuk, atau tidak punya teman keluar, aku masak. Dan ternyata… masak itu bisa bikin aku merasa berguna. Setidaknya, aku bisa membuat sesuatu yang memberi senyum untuk orang lain.”
Byantara tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatapnya, lama, dengan tatapan yang berbeda dari biasanya. Bukan tatapan dingin… melainkan tatapan yang perlahan mengurai benang-benang lebih dalam, seolah untuk pertama kalinya ia melihat Meylin lebih dari sekadar sosok yang terjebak bersama dengannya di dalam pernikahan ini.
Di balik keheningan itu, ada pemahaman baru yang lahir. Ada dinding yang mulai retak, dan pintu kecil yang terbuka sedikit.
Bagi Meylin, momen ini adalah sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan. Untuk pertama kalinya, ia merasa menjadi dirinya sendiri, bukan bayangan istri sempurna. Untuk pertama kali pula… ia melihat Byantara tidak sedang menjauh, tetapi diam-diam mendekat.
Dan bagi Byantara, ia sendiri tidak benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi dalam hatinya. Tapi satu hal yang jelas, apa pun yang ia lihat barusan, itu bukan sesuatu yang bisa ia abaikan begitu saja.
Suasana hening itu kembali turun seperti selimut tipis yang menyelimuti ruangan. Entah siapa yang memulai, tapi tanpa sadar, pandangan Byantara dan Meylin bertaut, bukan sekadar saling melihat, namun menembus lebih dalam, seolah sedang mencoba memahami sesuatu yang selama ini terkunci di dalam diri masing-masing.
Tidak ada kata. Tidak ada gerakan.
Hanya sepasang mata yang saling terjemahkan dalam sunyi… membentuk sesuatu yang nyaris magis. Sesuatu yang mungkin, untuk sesaat, membuat mereka sama-sama lupa bahwa ada jurang yang masih terbentang di antara mereka.
Lalu tiba-tiba...
TRRTT… TRRTT
Bunyi getar ponsel itu terdengar nyaring, menusuk keheningan dan memecahkan momen yang nyaris sempurna. Byantara tersentak kecil, seolah kembali dari lamunan yang tidak pernah ia sadari keberadaannya.
Ponsel itu tergeletak di atas meja rendah, layarnya menyala terang. Meylin menunduk perlahan, sementara mata Byantara langsung tertuju pada satu nama yang terpampang jelas di layar…
Dewi.
Bersambung.......