MISSING-15

1417 Kata
Aku menatap lurus ke Lupna yang sudah memakai baju 'dinas'nya. Dia yang merasa ditatap olehku, lama-kelamaan merasa gerah dan segera berjalan ke dekatku dengan wajah kesal. "Ada apa?" tanyanya dengan jengkel. "Kamu mau pergi bekerja bukan?" tanyaku balik. "Iya, kenapa memangnya?" tanyanya masih dengan nada jengkel. "Boleh aku ikut denganmu?" mohonku. Lupna menautkan alisnya, heran dan juga kaget dengan pernyataanku barusan. "Apa maumu?" tanyanya penuh selidik. "Tidak ada," jawabku. Lupna terkekeh mendengar jawabanku. "Ayolah, tidak mungkin tidak ada. Kamu mau melakukan apa dengan ikut bersamaku?" tanyanya lagi dengan penuh curiga. Tidak ada," jawabku sekali lagi. "Kamu tidak melakukan apapun? Apa kamu sudah kehilangan jati diri?" katanya dengan nada mengejek “Yah, begitulah," sahutku sambil mendesah pelan. Walau aku juga tidak tahu arti dari perkataannya barusan. Untuk saat ini, aku tidak mau bertengkar dengannya. Bagaimanapun. Aku membutuhkan bantuannya untuk memuluskan rencana yang sudah aku susun di otakku. "Jadi, boleh aku ikut?" tanyaku sekali lagi. Lupna tampak berpikir untuk beberapa saat sebelum mengangguk mengiyakan. "Baiklah, tapi dengan satu syarat," katanya pada akhirnya. "Apa itu?" tanyaku. "Jangan membuat masalah," jawab Lupna. "Oke, lagipula masalah apa yang bisa aku perbuat di tempatmu?" jawabku setengah menggodanya. "Membunuh pelangganku misalnya," jawabnya dengan seringai yang menyebalkan. "Membunuh? Siapa? Aku? Apa kamu serius menuduhku mampu melakukan itu?" tanyaku dengan nada sinis. Lupna terkekeh. "Aku bercanda, jangan terlalu serius!" ucapnya cepat saat melihat Fina datang. "Jika kamu mau denganku, ikut saja. Bersiaplah, kita akan berangkat sekarang," ajaknya. "Benarkah?" tanyaku antusias. Lupna mengangguk mengiyakan. "Ya, tapi ganti dulu pakaianmu! Pakaianmu sekarang, tidak cocok untuk tempatku," katanya sedikit memberi saran. "Pakaian yang bagaimana yang harus aku kenakan?" tanyaku meminta pendapatnya. Lupna memegang dahinya pelan sambari mengembuskan napas kasar. "Baiklah, daripada aku harus masuk ke kamarmu yang gelap, aku akan pinjamkan baju milikku padamu dengan satu syarat!" Lupna memberikan persyaratan lagi. "Apa itu?" tanyaku. "Jangan mengotori baju milikku dengan noda apapun, kamu mengerti?" katanya dengan penuh penekanan. Aku mengangguk. "Baiklah," kataku menyanggupi. "Tunggu di sini! Aku akan mengambil bajunya," suruhnya lalu mulai berjalan menuju kamarnya. "Apa yang kamu lakukan?" cegat Fina saat Fina dan Lupna berpapasan. "Tenanglah," sahut Lupna. "Kamu tahu apa yang kamu perbuat ini?" bisik Fina dengan tatapan mata yang di arahkan kepadaku. "Iya, aku tahu," jawab Lupna santai. "Dan kamu masih melakukannya, Lup?" delik Fina sebal. “Kamu tahu, dia bisa melakukan hal yang berbahaya dan….” "Fin!" Lupna memegang lengan Fina dengan cukup kuat. "Percayalah padaku," mohonnya. Fina menyerah. Gadis itu menepis genggaman tangan Lupna di lengannya lalu melanjutkan langkahnya menuju kamar miliknya. Saat dia berpapasan denganku, sengaja disenggolnya bahuku dengan kasar. Aku hanya diam saja dengan perlakuannya itu. Belum saatnya kubunuh, begitu hatiku berkata. Lagipula, Betty bilang aku dilarang membunuh temannya. Brak. Fina membanting kasar pintu kamarnya. Sepertinya dia tidak suka aku ikut dengan Lupna. Tapi, aku harus melakukan ini. Bagaimanapun kesepakatan tetaplah kesepakatan. Sudah tidak ada jalan untuk berhenti, lagipula aku juga tidak ingin berhenti di tengah jalan. Semua yang sudah kumulai, juga aku yang harus mengakhirinya. Lupna kembali, memberikanku sebuah dress hitam yang jika aku kenakan pasti akan berada di atas lututku. Terlebih dress ini tanpa lengan, hanya dua utas tali sebagai pengait di bahu yang sekali dirobek akan mengekspos daerah dadaku walau tanpa begitu sudah sangat terbuka karena bagian d**a dan belakangnya rendah. Dress ini juga dilengkapi dengan manik-manik bling-bling di bagian atas, memberikan kesan seolah aku adalah sesuatu yang sedang dipamerkan untuk dijual. "Kenapa? Kamu berubah pikiran?" tanya Lupna saat melihatku diam menatap dress yang ditawarkannya. "Tidak," jawabku. Aku mengambil dress yang Lupna berikan lalu menuju kamarku untuk berganti pakaian. Walau sedikit tidak nyaman, aku menggunakan dress itu. Aku juga menggunakan hot pant pendek yang sedikit di atas dress sehingga tidak kelihatan. Well, tentu saja di dress setipis ini aku tidak bisa menyelipkan senjata apapun. Lagipula, aku memang hanya mencari informasi, belum saatnya untuk membunuh. Aku menuju meja rias, memoleskan beberapa make up, tak lupa menggulung rambutku ke atas agar bagian atas tubuhku yang sudah terbuka, bisa terekspos dengan baik. Setelah dirasa siap, aku keluar dari kamar. "Wah, kamu cantik sekali," puji Lupna begitu melihatku. Aku hanya tersenyum miring. "Lebih cantik darimu huh?" ejekku. Senyuman Lupna menghilang, dia jengkel. "Tutup mulutmu! Kita segera berangkat!" katanya lalu berjalan keluar. Marah. Aku pun mengikutinya dengan tersenyum senang. Kekalahan memang selalu menyakitkan. Aku berpikir, kami akan pergi dengan kendaraan pribadi ternyata aku salah. Ada sebuah mobil dengan kaca gelap yang menjemput aku dan Lupna. Di dalam mobil itu terdapat lelaki berpakaian wanita yang menyebut dirinya madam serta dua orang lelaki yang menjadi supir dan satu lagi bodyguard. Di dalam mobil itu juga terdapat beberapa gadis lain yang juga mengenakan pakaian yang tidak kalah minim. Saat melihatku, madam itu menanyakan siapa aku pada Lupna. Lupna bilang, aku hanya seorang kenalannya yang ingin tahu dunia Prostitusi. Madam menawariku kesepakatan dan juga betapa menguntungkannya jika bergabung dengannya tetapi aku menolak. Aku katakan padanya kalau aku tidak tertarik. "Kamu akan segera tertarik setelah malam pertamamu, Sayang," jawabnya dengan penuh percaya diri. Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Seandainya dia tahu bahwa melihat kematian seseorang jauh lebih membuatku b*******h dibandingkan mencicipi surga dunia dengan cara menjajakan diri tentu dia tidak akan berkata begitu. Namun, dia tak akan pernah tahu itu. Kalaupun tahu, aku pasti akan menghabisinya agar rahasiaku tetap aman. Namun, aku sudah berjanji. Jadi, semoga saja dia tidak tahu. Kami berhenti di sebuah bangunan di pinggir kota. Suasana di luar sangat sepi, terlalu sepi. Di sekitarnya hanya ada pematang sawah, rerumputan liar yang panjang dan kegelapan. Suatu tempat yang pas untuk melakukan sesuatu yang tidak ingin diketahui. Kami semua turun lalu berjalan masuk ke sebuah ruangan yang jika tampak dari luar, kumuh dan terbengkalai. Walau kemudian aku terkejut ketika pintu dibuka, musik keras dengan berbagai macam manusia di dalamnya menjadi pemandangan menakjubkan di mataku. Semuanya, tengah berpesta. Kamu tahulah, apa yang aku maksud. Lupna mendekatiku. "Hei," panggilnya dengan berbicara tepat di telingaku mengingat suara musik disko yang diputar cukup keras. "Ya?" sahutku. "Kamu lihat? Semua lelaki di sini adalah pelanggan kami. Kodenya, I need money. Kalau lelaki itu tertarik padamu, dia akan berkata begitu. Kamu bisa mengiyakan atau menolak ajakannya. Jika iya, kamu bisa menyebutkan beberapa tarifmu," jelas Lupna. "Berapa tarifmu?" tanyaku pada Lupna. Lupna terkekeh lalu mengangkat kelima jarinya. "Lima juta?" tanyaku. Lupna mengangguk. "Untuk satu jam," katanya sambil menyeringai penuh kesombongan. "Oke," kataku. Lupna pun berjalan menjauh. Baru saja dia berpose, sudah ada enam lelaki yang mendekatinya. Anehnya, dia menggandeng dua dari enam lelaki itu. Sepertinya, dia akan 'bermain' dengan mereka berdua. Well, itu bukan urusanku. Aku harus mencari dua orang yang menjadi sasaranku. Aku berjalan pelan sambil memperhatikan satu-satu wanita atau pria yang aku temui. Beberapa lelaki mengajakku tetapi aku berkata tidak. Lagipula, aku memang tidak ingin melakukannya. Aku hanya butuh informasi bukan uang. Aku tertegun menatap seorang gadis yang tengah berciuman bibir dengan seorang lelaki di pojok ruangan. Tangan lelaki itu bahkan sudah masuk ke dalam rok mini yang gadis itu kenakan. Walau begitu, gadis itu tampaknya tidak keberatan. Aku berjalan mendekati mereka. Gadis yang tengah berada di awan itu menoleh kaget ke arahku saat tahu aku tengah mengawasi mereka. "Kenapa?" tanyanya dengan desahan napas yang memburu. "Kamu sedang apa?" tanyaku. Gadis itu terkekeh pelan. Saat lelaki yang tengah menikmati tubuhnya itu hendak berbalik untuk melihat ke arahku, gadis itu mencegahnya. Dia benamkan kepala lelaki itu ke dalam dadanya yang aku yakin ukurannya 36B. Super sekali. "Jangan pedulikan, lanjutkan! Ya, begitu!" katanya ketika lelaki itu mulai melumat... Oke, aku tidak perlu menerangkannya. "Ini namanya pemanasan," jawab gadis itu. "Di tempat terbuka?" tanyaku lagi. "Kamu anak baru?" jawabnya yang hanya aku balas dengan anggukan kepala. "Pantas saja, kamu pasti malu-malu!" katanya menyimpulkan. "Hm?" "See?" suruhnya sambil menunjuk ke arah lain. Aku mengikuti petunjuknya dan melihat seorang wanita dan pria tengah berkumul di lantai. Tentu saja, keduanya sudah melucuti pakaian di bagian bawah. Sedangkan di atas, hanya seutas kain yang sama sekali tidak berguna untuk menutupi badan. "Kami melakukannya di sini, di kamar atau bahkan di luar, sesuka hati," katanya memberikan penjelasan. "Begitu?" komentarku. Gadis itu mengangguk. "Aku Tania," katanya memperkenalkan diri. "Hm," kataku. "Kamu? Siapa namamu?" tanyanya. "Betty," jawabku. "Nama yang menarik," katanya memuji. "Jadi, kenapa kamu tidak berkeliling dan mencari pelanggan daripada harus melihatku melakukan pekerjaanku?" tanyanya dengan nada sedikit menyindir. "Oke, tentu saja," kataku lalu pergi menjauh dari Tania. Aku berjalan hati-hati melewati banyak manusia yang haus akan birahi. Mencari lelaki, entahlah. Apa ada yang bisa aku bunuh di sini? Ya, anggap saja hidangan pembuka sebelum menu utama dihidangkan. "Wah, siapa yang aku lihat di sini!" Decakan penuh ejekan yang tidak begitu aku suka itu membuatku terpaku. Seorang lelaki yang dulu, dulu sekali, pernah menyisakan kenangan yang menyebalkan telah berdiri di hadapanku. "Jadi akhirnya kamu berakhir menjadi wanita yang seperti ini?" tanyanya dengan seringai yang dari dulu tidak pernah berubah, selalu merendahkan orang lain. Aku tersenyum lalu berjalan mendekatinya. "I need money," ucapku dan dia mengangkat 10 jarinya. Well, aku harap itu bukan 10 Ribu. But who's care? I interest to something else that can't pay by money. That is L.I.F.E.   ~ bersambung ~   A/n Don't forget to vote and comment.   P.S : mengandung konten dewasa, kebijaksanaan pembaca diharapkan. ( udah kayak subtitle drakor )   Salam Gore,   Inag2711
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN