MISSING-14

1234 Kata
Aku baru saja bangun ketika mendengar pintu kamarku dibuka. Aku membuka mataku dan melihat Betty sudah berdiri di sana dengan wajah ditekuk. "Ada apa?" tanyaku. "Kamu pergi lagi tanpa ijinku," jawabnya. Aku bangkit, duduk di kasurku. "Apa maksudmu?" tanyaku, berpura-pura tidak mengerti. "Ada sebuah pisau menancap di mobil," jawab Betty membuatku seketika menggaruk keningku, aku lupa soal itu. "Ah, itu hanya pisau yang aku tancapkan karena iseng," kataku mencoba memberi alasan. "Sungguh?" Betty sedikit tidak percaya. Aku mengangguk meyakinkan. "Kalau begitu, bagaimana dengan kapak penuh darah itu?" tanyanya, dengan pandangan lekat menusuk yang mampu membuatku seketika menahan napas. "Kamu…." Ia menggantungkan kalimatnya, "Tidak melakukannya bukan?" lanjutnya penuh misteri membuatku tidak mampu menduga apa yang tengah ia maksud dengan pertanyaan semacam itu. "Itu hanya darah palsu," jawabku. "Kamu bermain teater lagi?" tanyanya dengan penuh keraguan. Aku mengangguk, mencoba menatap kedua matanya untuk meyakinkan bahwa apa yang baru saja kukatakan adalah benar. Betty menghela napas pelan dan mulai berjalan, menuju ke arahku lalu duduk di tepian kasurku hingga kini kami saling berhadapan. Dia menggenggam kedua tanganku dan menatapku lekat dengan sorot mata penuh harap. "Kamu tahukan, mengapa aku di sini?" tanyanya penuh kesungguhan dan penekanan. Aku diam, menatap manik matanya yang teduh. "Kamu lemah dan butuh perlindungan. Karena itu aku di sini." ia berucap lagi. "Jangan keluar malam-malam lagi, berjanjilah padaku!" Betty memohon. Aku menghela napas panjang membuatnya mempererat genggaman tangannya. "Berjanjilah padaku!" desaknya. Aku mengangguk pelan. "Baiklah," jawabku mengiyakan permohonannya. Betty tersenyum. "Bagus," katanya lalu melepas genggaman tangannya. "Mandilah, aku akan menunggumu di ruang makan," suruhnya. Aku sekali lagi hanya mengangguk dan memperhatikannya pergi. Setelah itu, aku bangun dari kasurku. Aku membuka pintu lalu pergi menuju ruang makan. Di sana sudah terlihat Lupna dan Fina yang sedang sarapan. Mereka tidak begitu mengubrisku, sepertinya enggan menanggapi aku yang hanya duduk di meja. "Hari ini aku akan pergi sampai besok," kata Lupna memulai pembicaraan. Aku menautkan alisku, mencoba mencari tahu pada siapa dia bicara. "Aku juga, aku akan menginap di rumah teman," ujar Fina menimpali. Aku masih diam. "Apa Betty di sini?" tanya Lupna dan Fina yang menoleh ke arahku bersamaan. Aku tercenung beberapa detik, melihat ke kiri dan kanan lalu mengangguk perlahan. "Ya, tadi dia dari kamarku. Memintaku untuk tetap di rumah dan tidak keluar malam-malam lagi," jawabku. "Apa kamu mendengarkannya?" tanya Lupna. "Tentu saja, dia temanku!" jawabku dengan yakin. Lupna memandang Fina lalu keduanya mengangguk bersamaan. "Baiklah, aku rasa aku akan pulang," kata Fina lalu berdiri dari duduknya. "Aku juga," kata Lupna lalu ikut berdiri. "Kalian sudah mau berangkat?" tanyaku. Keduanya mengangguk bersamaan, "Iya." "Kamu juga, matahari sudah tinggi. Bukankah kamu ada test hari ini?" tanya Fina. Aku menautkan alisku. "Betty yang memberitahuku, jangan sampai terlambat," pesannya lalu berlalu pergi dengan Lupna di belakangnya, mengikutinya dari belakang. Aku hanya merebahkan kepalaku di meja. "Ada yang aneh," gumamku. Aku menghela napas panjang lalu masuk lagi ke kamarku. Aku akan ke kampus, mencoba menghilangkan stress yang kualami akhir-akhir ini. Sekitar lima belas menit waktu yang kubutuhkan untuk bersiap-siap sebelum akhirnya aku sudah berada di mobil. Aku menggunakan mobil bututku, mobil yang biasa aku pakai untuk ke kampus. Ini seperti mobil kamuflase untuk membuatku menjadi mahasiswi miskin yang akan jauh dari incaran para kaum matrealistis. Mobil ini juga terasa damai, karena sekalipun aku belum pernah membunuh orang di mobil ini. *** Aku keluar kelas dengan langkah gontai. Kepalaku sakit dan beberapa kali pun aku tekan kepalaku, sakitnya tidak berkurang, justru semakin berdenyut dan membuatku pening. Test hari ini aku rasa akan gagal. Betty hari ini tidak hadir, entah kemana dia. Aku kesepian. Tidak ada lawan bicara hari ini, hanya bisa berdebat dengan Selvi yang terus-menerus memintaku mundur sebagai calon ketua HIMA. Aku rasa dia sudah gila karena calon HIMA itu Betty bukan aku, atau dia memintaku secara tidak langsung untuk membujuk Betty agar mundur, aku tidak tahu. Aku tidak terlalu menanggapinya, kepalaku sakit dan aku susah konsentrasi karena itu. Usai kelas, aku memutuskan pergi ke kantin, secangkir kopi hangat kupercaya akan membantu meredakan sakit kepalaku. Tanganku gemetar sejak tadi, bukan karena sakit, tapi meminta untuk digunakan. Sejak tadi malam, aku sudah merasakannya. Hasrat untuk membunuh dan mencincang daging segar. Tapi aku sudah berjanji pada Betty untuk tidak keluar malam. Sekarang aku harus mencari cara bagaimana berburu di siang hari. Aku butuh kepala manusia untuk dia-- agar tidak terus menggangguku. "Bi, kopi satu," pesanku pada bibi kantin. Kantin itu memandangku lalu tersenyum. "Kopi hitam pahit atau manis?" tanyanya ramah. "Pahit," jawabku lalu menunjuk ke sebuah meja kosong. "Antar kesana ya, Bi!" lanjutku. Bibi itu menoleh pada kursi kosong yang kutunjuk lalu mengangguk pelan. "Baik." Aku melangkah menuju ke kursi itu. Sembari menunggu kopi buatanku jadi, aku mengeluarkan ponselku. Bermain game adalah kegiatan yang paling ampuh menghilangkan rasa bosan saat menunggu untukku. Walau mungkin ada sebagian orang tidak setuju dengan itu, aku tinggal membunuh mereka saja. Dengan begitu, tidak ada yang bisa menolak pendapatku. Aku merasa baru saja bermain ketika bibi kantin datang dan meletakkan kopi di sampingku. Ia tidak banyak bertanya, hanya mengambil uang yang kutaruh di meja. Aku pun tidak terlalu ingin menyapanya atau walau sekedar mengucapkan terimakasih, aku terlalu sibuk bermain. Aku mengerutkan dahi, menghentikan permainanku ketika sebuah kursi di depanku ditarik mundur. Seorang wanita duduk dan memandangku dengan seringai yang tidak asing. Aku meletakkan handphoneku dan melipat tanganku di depan d**a. "Ada apa?" tanyaku. Ia hanya terkekeh pelan lalu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. "Ini," katanya menunjukkan sebuah foto dan meletakkannya di meja. "Aku ingin kamu membunuhnya," katanya berucap dengan penuh percaya diri dan tanpa keraguan. Seolah mengatakan itu perintah, bukan permintaan. Aku memandang foto yang ada di depanku. Di foto itu terlihat dua orang manusia, lelaki dan wanita, tampak mesra dan bisa dibilang itu foto pasangan yang sedang dimabuk asmara. "Siapa?" tanyaku lagi. Aku belum pernah melihatnya. Ia mengangkat sedikit sudut bibirnya, menyunggingkan sebuah senyuman yang canggung. "Bunuh dia," suruhnya lagi. "Kiri atau kanan?" tanyaku. "Kiri," jawabnya. "Keuntungannya?" tanyaku lagi. Ia tersenyum sedikit, menunggu reaksiku. "Melepas stress," jawabnya lalu menatapku tajam. "Oke," sahutku. Dia mengerutkan dahinya. "Kamu tidak bertanya mengapa aku menyuruhmu membunuhnya?" tanyanya heran. Aku menggeleng pelan. "Aku sedang senggang," jawabku yang seketika membuat tawanya pecah. "Wow," pujinya. "Aku suka gayamu," imbuhnya. "Daripada itu, aku ingin sesuatu yang lain," kataku memulai negosiasi selanjutnya. Ia berhenti tersenyum, mulai serius. "Apa?" tanyanya penasaran. Aku mengambil handphoneku lalu membuka galeryku. Tak lama kemudian kutunjukkan sebuah foto seorang lelaki padanya. "Aku ingin kamu menyekapnya," suruhku. Dia menaikkan satu alisnya. "Sekap? Bukan bunuh?" tanyanya memastikan perintahku. Aku mengangguk. "Iya, sekap," jawabku menegaskan permintaanku. Dia memainkan sedikit bibirnya, berpikir, aku rasa dia akan sangat penasaran mengapa aku tidak membunuh lelaki itu dan hanya ingin dia menyekapnya. "Mangsa?" tanyanya, di luar dugaan. Aku hanya tersenyum kecil sembari meletakkan telunjukku di ujung bibirku. "Ah," gumamnya. "Rahasia?" lanjutnya. Aku mengangguk pelan. "Kalau begitu, ada perubahan," katanya sembari memandangku penuh misteri. "Apa itu?" tanyaku. "Bunuh mereka," jawabnya sambil menunjuk pada foto yang berada di depanku. "Ada sisa?" tanyaku. Ia menggeleng pelan. "Bisakah kamu lenyapkan? Daging yang kiri sungguh alot, kau tidak akan menyukainya," katanya. "Aku vegetarian," tegasku. Dia tergelak lalu berhenti tanpa diminta. "Koin huh?" ia menyunggingkan senyuman licik yang membuat bulu kudukku mendesir, belum pernah aku temui seseorang yang mampu membuatku begini. "Jika sudah selesai, beritahu aku," katanya sembari berdiri. "Kamu bisa mendapatkan kontakku dari Veronica," ia menambahkan. "Belum juga kau bunuh?" tanyaku. Dia tersenyum tipis. "Bukankah domba akan dibuat gemuk dulu sebelum disantap?" sindirnya lalu menyibak rambutnya ke belakang. "Aku pergi," pamitnya lalu seketika lenyap dalam pandangan mata. Dia bukan hantu, hanya manusia. Dia hanya cepat berbaur di kerumunan dan ia pandai menyembunyikan kehadirannya. Oleh karena itu aku merasa dia memang hebat, walau tidak akan sehebat diriku. Aku memandangi foto yang masih berada di depanku. Aku tidak kenal keduanya, hanya saja saat melihat simbol tato di lengan si wanita, bisa dipastikan dia seorang p*****r dari tempat Lupna bekerja. "Aku rasa, Lupna bisa dimanfaatkan. Haruskah aku berpura-pura berteman dengannya?" gumamku lalu melihat lagi sebuah pesan yang mendarat di handphoneku Mangsa Aku masih mencintaimu, bisakah kita bertemu?             Cinta? Tidak, Sayang. Yang akan kamu temui bukan aku, melainkan kematian yang menyakitkan. Lihat saja nanti. Dia akan segera mendatangimu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN