MISSING-5

1028 Kata
Aku memarkirkan mobilku di area kampus lalu berjalan menuju kelas dengan menjinjing satu kantong plastik hitam berisi makanan yang pasti lezat dan mengenyangkan. Aku memasuki kelasku dan langsung duduk di kursi dekat seorang wanita yang sangat dikenal. Wanita itu menoleh dan melemparkan senyuman manisnya. "Hai, aku pikir kamu bolos," sapanya memulai perbincangan. "Hai juga, Bet! Aku tidak mungkin bolos, aku tidak ingin mengulang mata kuliah pak Abbas," sahutku. Betty tersenyum lebar. "Ya, siapa tahu kamu kangen dengan kepala botaknya dan lebih memilih untuk mengulang mata kuliahnya," gurau Betty. "Itu tidak mungkin," bantahku. "Iya, iya," sahut Betty sembari memutar bola matanya malas. "Ngomong-ngomong, plastic di tanganmu berisi apa?" tanya Betty seraya menunjuk kantong plastik yang aku bawa. "Ah, ini kue kering. Apa kamu mau?" tanyaku sembari menyodorkan kantong plastik hitam itu pada Betty. "Hm," gumam Betty sembari mengecek kue kering yang berada dalam kantong plastik. Betty mengambil satu kue dan menggigitnya. Wanita itu mengunyahnya beberapa kali sebelum akhirnya menelannya. "Enak," katanya lalu mengambil satu kue lagi dan memakannya. "Ini kue apa sih? Enak banget," kata Betty sambil tersenyum lebar. "Seenak itukah?" tanyaku. Betty mengangguk pasti. "Banget, aku rasa kamu adalah calon koki yang hebat," puji Betty sembari mengangkat satu jempolnya. Aku hanya tersenyum kecil. "Tapi sangat disayangkan kamu hanya membawakanku kue kering, padahal aku sudah memintamu membuatkan makanan yang lain. Kue ini enak, tapi aku masih lebih suka pentol baksomu. Kamu tidak bawa itu untukku?" tanya Betty dengan ekpresi sedikit kecewa.. Aku menggeleng. "Tidak, aku belum sempat membuatnya. Maaf," jawabku merasa tidak enak. "Yah, sayang sekali. Memangnya dagingnya tidak busuk jika kamu tidak olah?" tanya Betty heran. "Ah, tenang saja. Aku pasti akan mengolahnya segera," jawabku lagi. “Hm, gitu,” kata Betty sambil manggut-manggut. "Oh iya, boleh kubagi ini dengan yang lain?" tanya Betty meminta izin. Aku mengangguk mempersilakan. Betty pun mengucapkan terima kasih lalu segera membawa kue itu kepada para teman sekelas yang lain dan mereka memakannya bersama-sama. Aku tersenyum puas melihat mereka memakan apa yang aku buat dengan penuh tekad. Tak lama kemudian Betty pun datang kembali dengan menunjukkan kantong plastik yang sudah kosong. "Nih lihat! Ludes," kata Betty sumringah, bahagia karena berhasil membagi-bagikan kue kering buatanku pada yang lain. Aku tergelak melihat tingkah kekanak-kanakan Betty. "Dasar," dengusku seraya tertawa geli. Betty hanya menjulurkan lidahnya lalu ikut tertawa. "Hei," panggilnya. "Ya?" "Sudah hampir setahun lebih kita kenal dan aku bahkan tidak boleh menyebut namamu, kenapa?" tanya Betty heran. “Betty Alfianti, kita sudah sepakat bukan?" jawabku balik tanya. Betty mengerucutkan bibirnya. "Iya, iya, baiklah," kata Betty mengalah. Aku dan Betty memang sudah memiliki kesepakatan untuk tidak menyebut namaku secara langsung. Dia hanya boleh memanggilku dengan “kamu”. Aku bukan tidak percaya padanya, tetapi namaku—bukan sesuatu yang layak dia ucapkan dengan mudah. Kecuali, dia sedang membutuhkan bantuanku. "Oh ya, apa kamu sudah dengar?" tanya Betty mendadak berwajah serius. "Dengar apa?" tanyaku. "Aulia menghilang, sejak kemarin keluarganya mencarinya," jawab Betty memberi info. Aku menautkan alisku. "Aulia siapa?" tanyaku bingung. Betty menepuk jidatnya ringan. "Ya ampun, si pelakor zaman now itu lho, lupa?" Betty menatapku tidak percaya karena sudah melupakan seseorang yang baru kemarin lusa diperkenalkan. Aku hanya tersenyum kecil. "Maaf. Aku lupa," jawabku mengiyakan sambil garuk-garuk kepala. Betty menghela napas panjang. "Ampun dah, jangan jadi anti sosial gitu dong. Sejak dulu sampai sekarang, yang kamu ajak ngobrol hanya aku saja. Memangnya kamu tidak ingin mengobrol dengan teman yang lain? Mereka jadi suka membicarakanmu tahu," omel Betty. Aku mengerutkan keningku. "Mereka membicarakanku? Menggosipkan soal aku?" tanyaku sedikit merasa terkejut dan tidak percaya. Betty mengangguk. "Iya," jawab Betty singkat. "Yang mana?" tanyaku penasaran pada orang yang telah membicarakan aku di belakangku. “Hm, aku tidak akan memberitahumu," sahut Betty bertindak misterius. "Mengapa?" tanyaku heran. "Karena aku tidak mau kamu berantem dengan teman sekelas. Aku tidak suka kamu terluka, kamu kan lemah!" jawab Betty beralasan. Aku hanya tersenyum dan merangkul lengan Betty. "Ciyee, perhatian," godaku sambil cengengesan. Betty hanya memanyunkan mulutnya. "Dih, dasar wanita lemah diam saja. Aku akan melindungimu,” janji Betty. Aku hanya tersenyum senang. "Terima kasih," ucapku tulus. Betty mengangguk. "Oi, Betty!" Tiba-tiba suara cukup keras dan emosi itu terdengar. Aku dan Betty hanya terdiam, melihat seorang wanita dengan tangan terlipat dan d**a membusung sombong telah berdiri di hadapan kami. "Kamu jangan sok cantik ya, yang akan jadi ketua Hima ( himpunan mahasiswa ) itu aku. Jangan mimpi," omelnya. Betty hanya menghela napas pelan. "Sel, pemilihannya masih seminggu lagi. Aku hanya mendaftar, jika pun aku kalah itu tidak masalah." ucap Betty dengan tenang. "Mahasiswa biasa sepertimu memang tidak tahu diri. Harusnya kamu ingat posisimu di mana. Dengan begitu, kamu tidak akan melakukan hal nekat begitu," sanggahnya. "Aku hanya mendaftar dan mencoba, apa salahnya? Jika kamu seterkenal itu bukankah seharusnya kamu tidak perlu takut?" sergah Betty. Wanita itu menggigit bibir bawahnya. Dia hendak melayangkan sebuah tamparan di wajah Betty tetapi aku segera menendang kaki kursi di sampingku hingga mengenainya. "Aduh!!" rintihnya. "Kenapa Sel?" tanya Betty khawatir. "Kenapa katamu? Senang? Kamu sengaja kan?" bentak wanita bernama Selvi itu. Aku yang dari tadi diam akhirnya berdiri. Selvi menatapku dan aku hanya menatapnya sebentar lalu beralih memandang Betty. "Betty," panggilku. "Ya?" sahut Betty bingung karena melihatku menatapnya tajam. "Haruskah aku membunuhnya?" tanyaku dengan penuh penekanan. Selvi bergidik ngeri. Wanita itu mundur beberapa langkah saat melihatku menatapnya dengan tatapan marah yang menusuk. "Ap-apaan kamu? Bicara apa kami ini? Sinting!" gerutunya lalu berlalu pergi. "Hei, jangan begitu!" tegur Betty. Aku pun segera mengubah ekspresiku. "Maaf," ucapku sambil tersenyum. "Kamu ini, siapa yang menyuruhmu membelaku? Jangan gegabah begitu, jika dia melawanmu bagaimana?" Betty lagi-lagi memarahiku. Walau begitu, aku tahu dia melakukan itu karena peduli padaku. Dia tidak mau aku terluka, itu saja. Tak lama kemudian pak Abbas pun datang. Aku dan Betty duduk kembali di bangku kami. Kami bersiap untuk menerima mata kuliah hari ini. *** Dalam gelap, aku melihatmu menatapku dengan wajah sedihmu. Tubuhnya yang dingin dan beku itu mengiris-iris relung hatiku. Ingin kuhangatkan dirimu dengan suhu tubuhku tetapi aku terlalu takut untuk melakukannya. Aku merasa tidak pantas melakukannya setiap kali rasa bersalah atas dosaku padamu muncul. Dingin angin malam ini menusuk tubuhku yang tertidur di atas kasurku tanpa selimut. Gorden kamarku pun tetap setia di tempatnya karena memang tidak pernah disentuh. Aku mendengar suara TV dari balik pintuku yang tipis. Aku juga mendengar suara gembira dari penghuni lainnya. Diam-diam, aku merasa iri dan sungguh aku ingin bergabung bersama mereka. Namun, sekali lagi aku tidak bisa melakukannya. Karena aku hanya ingin bahagia bersamamu. Aku tolehkan kepalaku ke sudut lainnya dan menatap dinding gelap yang terpantul di kornea mataku. Disana-di dalam sana-mungkin kamu sudah menungguku, melihatku dan mengulurkan tangan agar pergi bersamamu. Namun maafkan aku, aku belum bisa ikut denganmu. Ada hal yang harus aku lakukan. Jadi bertahanlah, karena aku akan segera menemuimu setelah tugasku selesai, Cinta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN