Aku bersiul girang dengan sesekali menari-nari di ruangan tempatku melakukan 'eksekusi'. Malam ini aku telah berhasil menangkap satu dari dua mangsaku. Yups! Aku telah menangkap pelakor zaman now itu, si Ririn alias Aulia Fitri Yanti atau siapapun namanya. Aku tidak peduli. Dia adalah sampah yang harus dibersihkan. Dan aku, hanya membantu pemerintah untuk mendaur ulang sampah.
Awalnya, aku juga ingin menangkap mangsaku yang satu lagi tetapi aku urungkan. Fufu, si pengkhianat cinta itu ternyata jauh lebih menarik dari yang diperkirakan. Saat aku tiba di tempatnya, dia tengah dipeluk oleh seorang wanita yang tiba-tiba datang. Entah siapa dia.
Dari ekspresi wajahnya yang kaget dan panik, Fufu pasti tidak menyangka akan kedatangan wanita asing itu. Aku tidak ingin memergoki mereka dan marah-marah seperti perempuan kebanyakan. Aku bukan pengemis. Lagipula, aku tidak mencintainya, hanya ingin menjadikannya mangsa samata. Oleh karena itu, aku pun memutuskan untuk menjauh dan membatalkan niatku untuk membunuhnya malam ini. Aku akan membiarkannya untuk hidup, agar aku tahu siapakah wanita beruntung berikutnya yang akan aku ajak bersenang-senang.
Aku melirik Aulia yang masih pingsan. Tadi aku telah menyuntikkan obat bius yang biasa diberikan saat proses anestesi untuk operasi besar. Dulu aku pernah belajar di kedokteran sebelum akhirnya pindah kampus dan jurusan karena sebuah alasan. Sebuah alasan yang membuatku harus kehilangannya. Ya, semua demi dirinya.
Aku berjalan menghampiri tempat pekakasku tersimpan. Dari dalam sana kuambil sebilah kapak yang selalu kuasah ketajamannya agar sekali tebas langsung splash, terpisah dengan sempurna.
Aku mengamati tubuh Aulia di depanku dengan seksama menentukan pembagian tubuhnya baik-baik. Dengan begitu, aku tidak akan melakukan kesalahan dan bisa memutilasinya dengan estetik yang mengangumkan. Bagiku, membunuh juga membutuhkan seni dan keindahan. Tentu saja, juga ilmu dan bakat.
"Sebaiknya, dipotong jadi 9 apa 12 ya?" gumamku bimbang.
Aku telah melucuti pakaian Aulia sehingga yang aku lihat sekarang hanyalah seonggok daging yang sudah siap dibagi dan diolah. Wajahnya berbentuk oval dengan pipi yang sedikit tembem. Wanita sampah ini sangat mengecewakanku saat aku tahu kalau dia sudah tidak perawan lagi. Dia sudah kehilangan kesegarannya sehingga yang tersisa hanyalah kebusukan yang menyebalkan.
Aku mengambil spidol merah besar lalu menandai daging di hadapanku dengan 9 titik. Aku sudah memutuskan untuk membaginya menjadi sembilan potongan. Namun sebelumnya, aku harus mengambil darahnya. Aku beranjak menuju perkakasku sekali lagi, meletakkan kapakku ke tempatnya lalu menyiapkan peralatan untuk mengambil darah dari tubuh Aulia hingga kering. Setelah semua peralatan terpasang, aku pun keluar hendak ke ruang tamu sembari menunggu darah di tubuhnya berpindah dari tubuh keji itu menuju baskom-baskom yang sudah sengaja disiapkan.
Aku merebahkan diriku di sofa ruang tamu, mengambil beberapa buku resep masakan dan mulai membacanya.
Tiba-tiba ponselku berdering, terdapat telpon masuk. Aku memperhatikan siapa yang menelponku dan rupanya Betty, teman satu kontrakanku. Tadi memang sudah menelponku, tetapi mungkin dia masih ingin tahu, apakah aku baik-baik saja atau tidak. Sungguh kekhawatiran yang tidak perlu. Aku bisa menjaga diriku Betty. Sebab, aku hanya lemah di hadapanmu saja. Namun, kamu tidak perlu tahu. Jika tidak, mungkin aku akan membunuhmu saat itu juga.
"Halo?"
"Halo? Oi, kamu nyampek mana? Sudah di Bandung?" tanyanya langsung tanpa basa-basi.
"Udah, Bet. Ya ampun udah mirip emakku aja kamu," protesku.
"Ya gimana tidak khawatir, kamu mendadak pulang padahal besok kita ada quiz," omel Betty.
Aku menautkan alisku.
"Hah? Besok quiz?" tanyaku heran. Lupa.
"Iya, kamu belum amnesia bukan?" jawab Betty balik tanya.
Aku menautkan alisku.
"Ah, makul ( mata kuliah) Pak Abbas ya. Bukannya itu kelas sore?" tanyaku memastikan ingatanku.
"Iya, kelas sore. Jadi, ada apa kamu ke Bandung?" tanya Betty mulai menginterogasi.
"Tidak apa-apa, hanya ingin menenangkan pikiran saja. Besok aku kuliah kok!" jawabku santai.
"Ya ampun, kamu ini kebiasaan, deh. Aku ini khawatir tauk! Sudah kukatakan ada banyak mahasiswi yang hilang akhir-akhir ini, bukannya takut malah nekat ke Bandung malam-malam. Kamu tidak takut diculik?" omel Betty.
"Dih doanya malah gitu," dengusku kesal.
"Ya tidak mendoakan, hanya ingin kamu lebih berhati-hati," sanggah Betty.
"Tenanglah, Betty. Aku tidak akan kenapa-kenapa." kataku mencoba menenangkan Betty.
"Baiklah. Jika ada orang asing mendekati atau mengikutimu, lari saja. Paham? Kamu itu lemah, jadi setidaknya kamu harus melarikan diri jika merasa dalam bahaya." nasehat Betty.
"Oke," sahutku mengiyakan nasehatnya.
"Btw, Bet boleh aku minta tolong?" kataku ragu-ragu.
"Ah, soal kamarmu? Sudah kukunci dan tenang saja, masih gelap, aku tidak membuka gorden kamarmu. Lampunya saja tidak kunyalakan sama sekali." kata Betty seolah sudah bisa menebak arah pembicaraanku.
Aku menghela napas lega mendengar ucapan Betty.
"Thanks, Bet!" kataku tulus.
"Sama-sama, tenang saja. Aku sudah tahu kalau kamu benci kamarmu diusik," ucap Betty lantas terkekeh.
"Haha, asyik kamu memang teman yang bisa diandalkan," pujiku.
"Iya, dong," sahut Betty sedikit menyombongkan dirinya.
"Ah, iya. Aku punya daging, Bet. Aku hendak mengolahnya tetapi aku tidak tahu harus diapakan. Ada saran?" tanyaku meminta saran Betty.
"Hm, daging, daging apa?" tanya Betty.
"Hm, daging yang lezat pastinya," jawabku.
"Maksudku daging dari bagian apa? Paha? d**a? Rusuk?" tanya Betty memperjelas pertanyaannya.
"Hm, rusuk dan d**a," jawabku.
"Wah, itu pasti sangat enak jika dijadikan gulai atau kare," usul Betty.
"Ah, benarkah?" tanyaku.
"Yups! Oh iya, jika ada daging daerah paha, kamu bisa menggilingnya dan menjadikannya campuran pentol. Bakso buatanmu enak," sahut Betty.
"Ah, pentol bakso waktu itu enak?" tanyaku mencoba mengingat-ngingat daging siapakah yang kugiling waktu itu.
"Huum, bakso dua minggu yang lalu, yang kamu bawakan malam-malam," kata Betty mencoba memberikan petunjuk padaku.
Aku menyeringai pelan saat aku berhasil mengingat siapakah pemilik daging itu.
"Ah, tentu saja enak, Betty. Itu memakai daging berkualitas," jawabku.
"Haha, bawain ya, pasti akan aku habiskan," ujar Betty setengah meminta.
"Oke," sahutku menyanggupi.
Telpon pun ditutup. Memikirkan apa yang Betty katakana membuatku tersenyum senang.
"Daging Ana rupanya seenak itu ya. Padahal dia hanyalah p*****r murahan," gumamku pelan.
Aku meletakkan ponselku kembali lalu memperbaiki posisi tidurku. Aku ingin memejamkan sejenak mataku. Walau aku tidak lelah, bagaimanapun manusia itu butuh tidur bukan?
Manusia? Ya, aku ini adalah manusia. Karenanya jika ada yang lebih menakutkan dari hantu di dunia ini maka itu adalah manusia. Sebab hantu hanya memiliki satu wajah sedangkan manusia memiliki banyak wajah. Dan kamu tahu apa yang paling menakutkan dari wajah yang banyak itu? Ya, wajah kemunafikan!
Aku terbangun saat mendengar suara hujan. Entah pukul berapa, aku mulai beranjak dari sofaku. Aku kembali menuju ruangan eksekusi.
Aku melihat Aulia yang sudah mati jika dilihat dari keadaan tubuhnya yang mulai mendingin, beku dan mengeras. Dia mati karena kehilangan banyak darah. Darah kejinya telah berhasil kupindahkan ke baskom-baskom yang sudah kusediakan.
Aku mengambil baskom-baskom itu dan meletakkannya di lemari pendingin. Aku ingin membekukan darah-darah itu. Sebagian untuk kujadikan koleksi, kenang-kenangan dari para sampah itu dan sebagian yang lain akan kujadikan sebagai campuran di kueku.
Kue buatanku, menurut teman-temanku memiliki rasa yang unik, enak dan renyah. Hal itu mungkin saja karena kuenya menggunakan bahan utama darah beku yang dimasukkan ke oven dulu sebelum dicampur dengan tepung, gula, cokelat, s**u, telur dan sedikit tambahan margarin. Bisa dibilang, itu kue dari manusia untuk manusia oleh manusia. Haha.
Aku pun mulai bersiap melakukan 'penjagalan'. Aku sudah mengenakan pakaian jagalku dan juga sudah memegang kapak kesayanganku. Mulailah aku melakukan eksekusi pada seonggok daging di depanku. Aku mulai dari kepalanya, kedua lengannya lalu kedua kakinya. Setelah itu kupotong lagi lengan dan kakinya jadi dua bagian. Yups! Selesai.
Aku ambil kepala Aulia dari mejaku lalu beranjak menuju ke lemari pendingin yang kugunakan untuk menjaga kesegaran koleksi kepalaku. Namun sebelumnya, aku sudah membersihkan dan memberikan sedikit bahan pengawet untuk kepalanya sebagai penghormatan terakhir.
"Yups, kepala ke-13 telah menempati posisinya," kataku dengan senyuman yang mengembang indah.
Aku pun mulai menari-nari karena mendengar senandung lagu gembira di telingaku, seperti merayakan keberhasilanku dalam melakukan misi kali ini. Lalu aku berhenti di depan cermin yang memang selalu kutatap setelah berhasil melakukan tugas.
"Hei, kamu!" sapaku sembari menatap tajam ke dalam manik mataku sendiri
"Aku sudah mengumpulkan 13 dan akan segera kucarikan lagi hingga genap. Tunggulah sampai saat itu tiba dan kita akhirnya bisa bersama lagi."