MISSING-10

1311 Kata
Aku sudah selesai bersiap-siap untuk berangkat menuju ke villa musuh. Daripada bosan, aku memutuskan untuk ke bawah, menemui Fina yang mungkin saat ini tengah asyik memasak. Dengan santai aku menyusuri anak tangga dan menjadi waspada saat aku tidak mendengar sebuah keramaian apapun. Aku percepat langkahku menuju dapur dan tidak kutemui Fina disana. Yang kujumpai hanya rendang di panci yang baru saja matang dan setengah porsi rendang yang belum habis tergeletak di meja makan. Aku pun segera mencari Fina, menoleh ke kiri-kanan memastikan bahwa dia tidak sedang bersembunyi di salah satu sudut dapurku. "s**t!" umpatku saat kulihat lampu ruang tengah sudah menyala. Aku segera menuju ruang tamu, kulihat majalah resepku yang berantakan. Itu pasti perbuatan Fina. Aku pun beranjak menuju barisan kamar di dekat ruang tamu, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa salah satu atau bahkan semua kamar itu pernah dibuka. Aku semakin gugup saat kulihat pintu menuju ruanganku terbuka. Aku ambil pisau yang berada dibalik jaketku. Kusembunyikan diantara jariku, bersiap menikamkannya jika saja Fina menemukan ruangan rahasiaku. Tidak ada yang boleh tahu soal rahasiaku. Tidak ada!! Jika terpaksa harus membunuh Fina, aku harus mengatur rencana baru. Aku harus memiliki alibi yang kuat agar hidupku masih akan terus berjalan normal meskipun Fina sudah dilenyapkan. Aku harus mencari cara secepatnya. Aku tidak boleh ketahuan sekarang. Misiku belum selesai. "Hei," suara teguran itu menyadarkan aku dari lamunanku saat melihat Fina keluar dari ruangan yang berada tepat di sebelah ruangan yang di dalamnya terdapat pintu yang akan membawanya ke ruanganku. "Aku mencari kamar yang pas, aku rasa aku akan tidur disini!" ucap Fina menjelaskan bahkan sebelum aku bertanya. "Ah, begitu," ucapku sembari menyembunyikan kembali pisau di balik jemariku di tempatnya. "Ah iya, kapan kita akan menyelamatkan Della? Aku sudah mencari alat sebagai senjata tapi yang kutemukan hanya sedikit," kata Fina sembari berjalan kembali menuju dapur. "Senjata apa saja?" tanyaku sembari mengikutinya dari belakang. Fina menuju dapur, mengambil senjata yang dia maksud dan meletakkannya di meja makan. "Ada pisau, kapak dan kayu dengan ujungnya yang sudah kupasangi paku!" jawab Fina. "Ah, begitu. Itu sudah cukup," ujarku menyakinkan. Lagipula, sekuat dan sebanyak apapun senjata, jika penggunanya tidak bisa menggunakannya dengan baik, dia juga akan tewas. Membuat Fina tetap hidup, bukan prioritasku sekarang. Aku hanya ingin bersenang-senang sekaligus menghindari kecurigaan Betty, itu saja. Jika dia menganggapku peduli pada teman-temannya, dia akan memberikan kebebasan yang lebih untukku. Fina menggelengkan kepalanya. Dia memang keras kepala dan suka bertindak di luar prediksiku. Mengejutkan, sekaligus merepotkan. "Ini kurang," sanggahnya. "Kenapa begitu?" tanyaku heran. "Bagaimana jika lawan punya senjata api? Bukankah kita akan mati bahkan sebelum melakukan perlawanan?" jawab Fina mengungkapkan kekhawatirannya. Dia memang cukup cerdas, meskipun tidak cukup kuat. "Jangan cemas tentang itu," ucapku santai. "Kenapa begitu?" tanya Fina heran. "Karena sebelum dia menarik pelatuk senjatanya, aku sudah lebih dulu menancapkan pisau lipat di keningnya!" jawabku yang langsung membuat Fina bergidik ngeri. "Kamu bisa begitu?" tanyanya kaget dengan ekspresi yang menunjukkan sedikit ketakutan. “Bukankah itu hanya terjadi di drama atau film action?” Aku hanya menyeringai tipis. "Dulu aku atlet panahan," jawabku. "Ah, pantaslah kalau begitu," kata Fina menarik napas lega. "Sekarang istirahatlah, dua jam lagi kita akan berangkat," suruhku. "Dua jam? Cepet banget!" protes Fina. Tidur!" suruhku tegas lalu berlalu meninggalkan Fina yang cemberut. Aku memasuki ruangan di sebelah kamar Fina. Kukunci pintunya untuk pertama kali setelah itu aku menuju ke lemariku. Kubuka lemariku dan disana sudah menunggu sebuah pintu  yang menuju ruangan sakralku. Aku membuka pintu ruanganku lalu kuinjakkan kakiku di ruangan yang penuh dengan aroma darah itu. Bau menyengat yang menggunggah selera itu membuatku memejamkan mata, menikmati aura hitam pekat yang menenangkan. Aku pun segera beranjak menuju tempat perkakasku di simpan. Disana-sudah ada puluhan senjata yang menunggu untuk digunakan oleh tuannya Aku diam sebentar, memilih senjata apa yang akan kugunakan untuk melenyapkan lawan yang mungkin akan sedikit mengganggu perburuanku. Sebenarnya aku sudah ingin segera menikmati kepala Fufu tetapi penyekapan Della membuatku menunda rencanaku. Setelah berpikir cukup lama akhirnya sudah kupilih beberapa senjata. Aku pun bersiul, melantunkan lagu kesukaanku sembari bernyanyi-nyanyi riang. Aku akan berburu dan sebuah rencana kecil sudah kusiapkan. Aku sungguh terhibur dengan perang kecil yang tidak terduga ini. "Fina, mari berpesta bersama," gumamku sembari tersenyum simpul.   *** Fina dan aku sudah berada di belakang Villa musuh. Lingkungan di sekitar villa cukup sepi sehingga aku dan Fina bisa masuk menyelinap secara diam-diam. Fina juga cukup lincah dan penurut sehingga aku tidak kesulitan mengaturnya. "Bagaimana ini? Pintunya dikunci," ujar Fina bingung saat mengetahui pintu belakang villa dikunci. "Tenang," kataku mencoba menenangkan Fina. Aku mengeluarkan jarum kecil yang selalu kuletakkan di belakang telingaku, terselip indah di antara rambut dan kulit telinga. Kuotak-atik sebentar pintu itu dan berhasil kubuka dalam sepuluh detik. "Wow, keren!" Fina melihatku penuh kekaguman. "Jangan berisik!" kataku mengingatkan. Fina segera membungkam mulutnya. Wanita itu hanya mengikutiku yang mulai masuk ke dalam villa. Kami mengedap-edap agar tidak membuat suara apapun. "Fin, tunggu di sini!" bisikku pada Fina saat kami sudah berhasil masuk. "Kenapa?" tanya Fina dengan ikutan berbisik. "Aku akan melihat keadaan dulu," jawabku, masih dengan berbisik. "Oke," jawab Fina, langsung menganggukkan kepalanya. Setuju. Sepertinya dia tidak cukup berani seperti dugaanku. Aku pun pergi meninggalkan Fina, beranjak masuk lebih jauh dengan langkah penuh kehati-hatian. Aku harus waspada. Deg! Aku berhenti, segera menyembunyikan hawa keberadaanku di balik tembok. Ada suara langkah kaki dan meski samar, suara itu semakin mendekat. Aku mengatubkan bibirku, mencoba menahan napas agar dia tidak bisa mendengar hembusan napasku. Aku hanya bisa berdoa agar siapapun pemilik langkah kaki itu dia tidak pergi ke belakang. Ada Fina disana dan akan sangat susah jika dia ketahuan. Suara langkah itu berhenti dan suara TV mulai terdengar. Aku menarik napas lega lalu melanjutkan langkahku. Aku mendekati sebuah kamar, memutar knop pintunya dengan perlahan lalu mengintip sedikit ke dalam. Kosong! Aku berbalik dan dia sudah dibelakangku. Pisaunya telah berada di leherku dan terasa sedikit perih karena sudah melukai jaringan terluar dari kulitku. "Siapa kamu?" tanyanya geram. Aku hanya diam mematung, menatap lekat manik matanya yang melotot sempurna. "Betty," jawabku pelan. "Ah, kamu rupanya yang menelpon Della sejak kemarin. Apa kamu begitu mencintai kekasihku?" tanyanya dengan ekspresi wajah yang mengerikan. Mata kami beradu dan ia mulai menekankan pisaunya lebih dalam saat melihatku yang tidak gentar meski dia ancam. Dia melirik tubuhku lalu menelan ludahnya. Aku rasa dia akan menikmati tubuhku sebelum membunuhku. "Apa Della masih hidup?" tanyaku. Dia kembali mengarahkan pandangannya yang liar ke mataku. "Masih," jawabnya dengan senyuman miring menyebalkan. "Karena kamu sudah jauh-jauh datang, aku akan mengajakmu bergabung bersama kami," katanya dengan menyeringai lebar. Sejujurnya aku sangat benci saat tangan kotornya memegang tanganku dan menyeret paksa aku. Aku bukan tidak bisa melawan, hanya saja aku pikir dengan tertangkap olehnya dan menyerah, aku akan segera bertemu Della tanpa harus bersusah payah mencarinya. Kami memasuki sebuah ruangan dengan lampu yang menyala redup. Samar-samar kulihat Della yang terpasung dengan tubuh telanjang. Di seluruh tubuhnya sudah terlukis bekas cambukan yang banyak sekali hingga menimbulkan lecet dan bekas yang kentara mengingat kulitnya yang begitu putih. Tubuhnya tampak lengket dan berlendir? Ah entahlah, aku yakin itu campuran antara keringat, cairan v****a dan juga s****a dari lelaki busuk ini. Aku yakin mereka sudah bermain banyak sekali mengingat Della sudah hilang sejak kemarin. "Baiklah sayang, ini waktumu untuk dinikmati," katanya sembari menjilat telinga bagian kiriku. "Haruskah aku membuka bajuku dulu?" tanyaku. Dia menghentikan jilatannya dan terkekeh. "Kamu benar-benar unik, Betty," pujinya. Tangan kanannya meremas d**a kiriku pelan sementara tangan kirinya masih menodongkan pisau di perutku. "Aku suka wanita berani sepertimu," katanya lagi. Dia maju, hendak menciumku lalu secepat kilat kuputar tangan kirinya hingga pisau yang awalnya mengarah padaku kini berbalik mengarah padanya. Dia meringis saat pisaunya menikam kulit perut hingga tembus ke bagian lambungnya. Dia mulai merasakan mati rasa saat organ pencernaan manusia itu mulai terkoyak. Kucengkram tangan kanannya dan mulai memutarnya dalam satu serangan. Dia berteriak, melolong seperti serigala yang terinjak ekornya. Dia terjatuh, terduduk dan terhempas di lantai dengan kesakitan yang dasyat dari perut yang tertikam dan juga tangan yang baru saja tulangnya bergeser 90 derajat. Aku mengambil pisau dari balik baju lalu menancapkan ke bagian kaki, tepatnya di antara tulang pahanya. Dia menjerit dan pingsan dengan pisau yang menancap sempurna. Walaupun dia selamat nantinya, jika selamat, dia tidak akan bisa berjalan lagi. Aku mendengar langkah kaki yang semakin mendekat, rupanya Fina mulai kepo lagi. Rasa keingintahuan wanita itu memang sedikit menyusahkanku. Haruskah aku membunuhnya saja?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN