MISSING-9

1164 Kata
Aku dan Fina telah berada di mobil. Kami dalam perjalanan menuju villaku di Bandung. Perjalanan ini akan sedikit lama tapi saat melihat betapa kedua mata Fina terus mengawasi gerak-gerikku sejak tadi membuatku merasa sedikit ingin bermain-main dengannya. Mobil melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi hingga menembus kabut malam dengan begitu gagah. Aku yakin Fina si cewek yang memang kaya itu akan menyadari bahwa mobilku saat ini hanya bisa dibeli oleh seseorang yang 'mampu' sedangkan selama ini aku mengaku hanyalah dari keluarga yang sederhana. Bibir Fina tergerak hendak menyerukan namaku tapi tangan kiriku sudah bergerak lebih cepat untuk membungkam mulutnya. Dia agak tersentak dan menepis tangan kiriku dari mulutnya. "Jangan menyebut namaku!" cegahku. Fina tergagap, agak gugup dan panik tapi segera berusaha menyembunyikan dua hal itu. Dia hanya menelan ludah lalu memperbaiki posisi duduknya. "Dinginnya," gumamnya lalu mengarahkan pandangannya ke sisi lain, menatap jendela mobil yang mulai berembun. Aku hanya tersenyum tipis lalu mengarahkan pandanganku ke jalanan yang lengang dan sepi. "Fin," panggilku. "Ya?" sahut Fina sembari menoleh ke arahku dengan waspada. "Dari mana kamu tahu bahwa aku akan pergi menyelamatkan Della?" tanyaku. Fina terkekeh pelan. "Della? Ah, jadi ini aslimu? Kamu hanya berpura-pura memanggilnya 'kak' jika Betty ada bukan?" cercahnya begitu puas karena merasa sudah mengetahui sifat asliku. "Ya, begitulah! Aku merasa dia sama saja seperti kita. Lebih tua bukan berarti aku harus memanggilnya kak bukan?" sahutku mengakui membuat Fina hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku rasa kamu benar," sahutnya membuatku merasa heran mengapa ia tiba-tiba saja setuju dengan pemikiranku. "Jadi? Bagaimana kamu tahu?" tanyaku sekali lagi. Fina tersenyum tipis. "Tentu saja ketahuan, sikap tenang dan diammu itu membuatku menyadari bahwa kamu pasti akan melakukan sesuatu," jawab Fina. Aku sedikit mengangkat sebelah alisku. Masih ragu dengan jawaban darinya karena menurutku hal itu saja tidak cukup untuk menebak bahwa aku akan bertindak. "Kamu sangat membenci kekalahan bukan?" sergah Fina membuatku melirik sedikit ke arahnya. "Kamu begitu menghargai Betty, jadi sudah pasti kamu akan merasa terpukul jika Betty menangis untuk orang lain. Karena jika Betty menangis, kamu pun menangis. Walau aku masih belum mengerti, bagaimana koin terhubung dalam satu waktu." Fina mulai berteka-teki. "Aku jadi semakin yakin kamu akan bertindak karena yang 'melakukan' sesuatu pada Della itu bukan dirimu. Kamu merasa kalah dari lelaki busuk itu bukan? Karena aku dan Lupna menyebutnya 'berbahaya', benar bukan?" kata Fina mencoba menyudutkanku. Aku hanya tersenyum kecil. "Aku bukan siapa-siapa, untuk apa aku merasa kalah?" sanggahku. Fina terkekeh pelan. "Kalau begitu, bisa kamu jelaskan tentang keanehan-keanehan yang selama ini aku tangkap darimu?" tantangnya. “Keanehan apa? Bukankah kalian semua memang menganggap aku aneh?" aku mencoba memutar pertanyaannya tapi rupanya Fina jauh lebih cerdas dari dugaanku. "Aneh dan berbeda itu bukan dua hal yang sama. Aku menilaimu aneh, karena ada sesuatu yang ganjil di semua perbuatan yang kamu lakukan!" Fina kembali menyerang. "Baiklah, tanyakan apa yang ingin kamu tanyakan," ucapku mengalah. Aku rasa bermain-main bersama Fina dengan menggunakan logika akan membuat perjalanan ini lebih menyenangkan. "Soal kamarmu, mengapa kamu tidak pernah membukanya? Bahkan gorden jendelamu pun tidak pernah kamu buka?" tanya Fina memulai penyelidikannya. "Aku benci sinar matahari," jawabku sekenanya. "Kamu bisa membukanya di sore atau malam hari kan?" Fina bersikeras. "Aku benci dinginnya angin malam," jawabku lagi. Fina tergelak. "Kamu benci dinginnya angin malam, tetapi selalu keluar malam, kamu bercanda?" cercah Fina. Aku hanya mendesis pelan. "Aku keluar malam dengan mobilku dan itu tidak masalah. Jika kubuka jendela kamarku di malam hari, anginnya akan masuk dan membuat suhu ruangan kamarku menjadi dingin dan aku benci itu. Kamu paham?" balasku. Fina menghela napas panjang. "Baiklah, tapi bagaimana bisa kamu tidak mengijinkan aku, Lupna atau Della masuk kesana?" tanya Fina lagi. Aku menoleh ke Fina sebentar. "Kamu temanku? Bukan kan? Kamu hanya penyewa di kontrakan yang sama. Kita tidak sedekat itu untuk saling berbagi kamar," jawabku yang seketika membuat Fina berdecak kesal. "Lalu bagaimana dengan saat ini? Bukankah kamu tengah berbagi mobil denganku?" serang Fina. "Aku yang menawarimu, karena jika aku tidak mengajakmu kamu pasti akan mengadukanku dan membuat Betty bangun. Jadi aku terpaksa berbagi mobil denganmu," jawabku sekenanya. "Cih." Fina mendecih, raut wajahnya memerah. Aku rasa dia merasa marah sekaligus malu. Aku hanya tersenyum puas melihat Fina yang memalingkan wajahnya lagi. Aku rasa dia tidak akan mengajukan pertanyaan lain untuk saat ini. Perjalanan kami akhirnya mencapai akhir saat aku menghentikan mobilku di villaku. Kubangunkan Fina yang tertidur di mobilku. Awalnya aku ingin membunuhnya saja tadi tetapi aku butuh bantuannya untuk melakukan sesuatu. Jadi untuk saat ini, aku akan membiarkannya hidup. "Fin, sudah sampai," kataku saat Fina mulai bangun dari tidurnya. Fina tersentak kaget lalu buru-buru menyadarkan dirinya. Aku keluar dari mobilku, disusul dengan Fina yang terkejut saat melihat Villa asing di depannya. "Kita di mana?" tanyanya bingung. "Villa," jawabku sembari mulai berjalan masuk setelah mengunci mobilku. "Iya aku tahu ini villa, tapi villa siapa?" tanya Fina lagi. "Villaku," jawabku sembari mulai membuka pintu. "Villamu?!!! Huh!!!" tanya Fina terkejut. "Iya, villaku. Kenapa?" tanyaku lalu masuk dan merebahkan diriku di sofa terdekat. "Kamu sekaya ini rupanya? Lalu mengapa kamu berbohong? Kamu bilang kalau keluargamu hanya petani miskin. Tidak mungkin petani miskin memiliki villa sebesar dan semewah ini bukan?" tanya Fina dengan ekspresi wajah kagum. Mata wanita itu meninjau semua ruangan yang berada di villa. "Pilihlah kamar manapun yang kamu suka, aku mau mandi dulu!" kataku tanpa menjawab pertanyaan Fina. Aku menoleh ke arah Fina yang tidak menanggapi ucapanku. Wanita itu telah 'silau', dia segera melihat-lihat villaku dengan mata yang penuh dengan rasa kagum dan takjub. Aku rasa dia memang tipe wanita yang mudah dibeli dengan harta. Bukan w************n, hanya w**************n. Aku baru saja selesai mandi saat kulihat Fina sudah tidak ada di ruang tengah. Aku pun mencarinya dan menemukannya tengah berada di ruang makan. Hei, ini kue apa? Enak sekali," katanya sembari menyantap kue kering yang dulu pernah diberikan pada Betty. Ah, itu kue buatanku. Masih enak?" tanyaku sembari duduk di kursi depan Fina. Fina mengangguk. Wanita itu tampak rakus dengan menyantap semuanya. "Ah iya, aku menemukan daging di kulkasmu. Saat ini tengah aku rebus, aku lapar!" katanya. "Daging itu belum kadaluarsa bukan?" tanya Fina. Aku mengangguk mengiyakan. "Belum," jawabku. "Mau kamu apa kan?" tanyaku balik. "Mungkin akan kubuat rendang," jawab Fina. "Oh, silakan," sahutku mengijinkan Fina mengolah daging Aulia yang belum sempat kuolah. "Kamu mau minta jika sudah jadi?" tanya Fina. Aku menggelengkan kepalaku. "Tidak, aku vegetarian," tolakku. Fina tampak mengerutkan dahinya. "Kamu vegetarian, tetapi di kulkasmu ada daging dan sayuran? Aneh," kata Fina mulai curiga. Aku hanya berusaha bersikap tenang. "Di kulkas dalam kamarku ada buah, aku bisa memakannya nanti. Daging dan sayur serta bumbu di dapur ini kugunakan jika ada tamu. Tidak mungkinkan aku memberikan tamuku buah saja?" kataku beralasan. "Memangnya di sini kamu sering mengajak teman atau saudaramu? Bukankah kamu itu hanya punya satu teman yaitu Betty?" Fina kembali bertanya. "Tidak, aku suka memasak makanan untuk temanku. Bukankah aku juga sering membaginya dengan kalian?" sanggahku. Fina hanya manggut-manggut. "Lalu bagaimana dengan Della, bukankah kita akan menyelamatkannya?" Fina kembali fokus pada tujuan kami Aku mengangguk mengiyakan perkataannya. "Sebelum itu, makanlah lebih dulu!" suruhku. Fina mengangguk lalu mulai memasak. "Aku akan ke kamarku dulu," pamitku lalu beranjak dari dudukku. "Baiklah," sahut Fina yang sibuk menyiapkan bumbu untuk makanannya. Aku berjalan menuju tangga, tiga-empat langkah aku kembali menoleh ke belakang, melihat Fina yang tampak bahagia mengolah daging di depannya. Padahal sendainya dia tahu kalau itu daging manusia, dia tidak akan sebahagia itu. "Makanlah yang banyak, Fina. Karena mungkin setelah ini, kamu tidak akan bisa makan lagi," gumamku lalu berjalan pergi dengan senyum yang tersungging di bibirku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN