Mengandung konten dewasa dan adegan tsadis.
Kebijaksanaan pembaca disarankan.
Missing Update!
~ happy reading ~
Saat aku bangun, hari tampaknya sudah siang. Terdengar banyak kebisingan di luar, walau jendelaku tertutup rapat dan kamar keadaan gelap, aku tahu bahwa hari sudah beranjak siang. Sepertinya sudah terlambat bagiku untuk masuk ke kelas hari ini. Aku juga tidak berniat masuk. Badanku terasa lelah, aku butuh asupan gizi.
Tidak mudah menjadi vegetarian sepertiku, tetapi aku tidak punya pilihan lain. Bagaimanapun menghargai nyawa yang memang pantas aku ambil itu adalah sesuatu yang harus dilakukan. Itu menjaga diriku tetap ada, tetap terkontrol dan waspada. Menjadi sepertiku, bukan sesuatu yang bisa dilakukan hanya dalam suatu teori tanpa praktek. Maksudku, membunuh juga butuh hasrat dan insting.
Bagiku membunuh adalah seperti suatu kegiatan berburu. Dimana kemudian membuat adrenalin di tubuhku diproduksi. Otak dipaksa berpikir dan tentu saja, strategi dan berbagai macam hal harus dipikirkan. Misalkan : tentukan dulu targetnya. Amati lingkungannya, orang-orang di sekitarnya dan bagaimana kesehariannya. Setelahnya, mulai rencanakan bagaimana menarik perhatiannya. Jangan berteman, itu cara klise untuk membunuh seseorang.
Hal yang tidak kalah penting dipikirkan adalah bagaimana membentuk alibi, menghilangkan jejak dan melakukannya tanpa saksi. Karena itulah, berburu menjadi sangat menyenangkan. Karena harus dilakukan dengan pelan tetapi mematikan. Sungguh cara bersenang-senang yang menggugah gairah.
Aku keluar dari kamar dan mendapati kekosongan. Sepertinya Fina dan Lupna sudah berangkat ke kampus. Aku memang tidak berharap mereka mengerti atau memaklumi diriku. Aku tidak butuh mereka. Betty, sudah cukup dia saja yang menjadi temanku. Aku tidak perlu yang lain.
Betty sedang tidur. Aku rasa dia kelelahan karena semalam kami mengobrol. Dia sempat merajuk karena aku keluar malam, terkaget pula dia karena aku ikut ke tempat Lupna bekerja. Dia cemas tetapi kukatakan padanya bahwa aku bisa menjaga diriku. Lagipula, aku ke sana hanya untuk survei lapangan untuk kasus yang aku pelajari, begitu alasanku. Jika menilai raut wajahnya, Betty sedikit tidak percaya dengan alasan yang aku ajukan tetapi dia tidak mengatakan apapun.
Aku sebenarnya ingin tahu, apakah Betty benar-benar tidak tahu bahwa aku adalah seorang pembunuh atau hanya berpura-pura tidak tahu. Namun, aku mengurungkan niatku untuk menanyakannya. Aku tidak mau membunuh Fina dan Lupna sekarang. Masih ada hal yang harus aku lakukan.
Aku sebenarnya tidak peduli, Betty tahu atau tidak mengenai apa yang aku lakukan selama ini. Namun bersamanya ada keuntungan tersendiri bagiku, untuk saat ini dia adalah kamuflase yang sesuai. Terutama jika harus mengenalkan diriku pada orang lain.
Aku mungkin akan membunuh Betty jika dia tahu. Itu pasti, walau mungkin tidak akan aku bunuh begitu saja. Bagaiamanapun kami berteman dan membunuhnya secara cepat, bukanlah cara berterimakasih yang pantas. Sedangkan untuk Fina dan Lupna, aku akan melakukan sesuatu yang menyenangkan dengan kedua gadis itu jika aku terpaksa harus membunuh mereka berdua. Walau tanganku sudah sangat gatal untuk mengayunkan kapakku pada kepala mereka, seperti kataku, aku belum bisa membunuh mereka sekarang. Aku masih membutuhkan bantuan dari mereka berdua.
Aku menuju ruang makan dan mendapati sebuah apel di kursi tempat dudukku. Di bawahnya terdapat secarik kertas. Aku mendekat, duduk di kursi itu lalu mengambil apel dan juga secarik kertas itu.
Maaf, aku tidak membangunkanmu.
Aku lihat kamu lelah sekali.
Tidurlah!
Hari ini jangan kemana-mana.
Betty.
Aku tersenyum simpul lalu mulai memakan apel yang diberikan oleh Betty. Dia memang perempuan yang aneh. Jika dirinya tertidur, untuk apa dia membuat catatan seperti ini? Sungguh perbuatan yang tidak bisa dimengerti.
Aku melangkah menuju kamar mandi. Ada hal yang harus aku lakukan sekarang. Aku tahu, hal ini akan memicu pertengkaran antara aku dan Betty jika dia bangun dan aku sudah keluar rumah. Tapi, apa boleh buat, aku sudah tidak bisa menahan hasrat.
Aku ingin membunuh lagi. Aku perlu melakukannya, jika tidak, aku akan mati.
Selesai mandi dan bersiap, aku melihat sebentar Betty yang tertidur lelap.
"Maafkan aku, Bet. Ada yang harus aku lakukan hari ini. Kamu saja yang tidur!" gumamku lalu keluar.
Aku menuju mobilku lalu melaju menuju kampus. Aku yakin, dia pasti akan datang menemuiku hari ini. Jadi, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menggali informasi agar bisa segera melakukan eksekusi untuk dua targetku.
Aku tidak mau dia kecewa. Dia sudah mempercayai hal ini kepadaku, terlebih, dia sepertinya sudah mulai bertindak. Sejak kemarin, mangsaku belum menghubungiku. Itu artinya, dia sibuk dengan wanita lain. Jika memang benar begitu, dia sudah mulai berburu. Aku tidak mau dikalahkan olehnya dalam melenyapkan sampah.
Aku jauh lebih baik dari siapapun dalam urusan itu. Aku tidak boleh kalah!
Aku memarkirkan mobilku lalu turun dengan tergesa. Aku bahkan setengah berlari menuju ke kelasku. Walau makul sudah berakhir, karena memang aku tidak berniat mengikuti kelas, aku harus kesana. Jika dia kesana dan aku tidak ada, pasti dia akan kebingungan. Lagipula, ini satu-satunya kesempatan bagiku. Lupna pasti akan berupaya menjauhkan aku darinya cepat atau lambat. Sebelum itu terjadi, aku harus menanyai informasi apapun yang berguna untukku.
"Aldi," panggilku saat aku benar-benar melihatnya.
"Lho? Betty?" katanya tercengang.
"Aku kira kamu ada di dalam dan…."
"Ikut aku!" kataku lalu menggandeng tangannya agar menjauh dari depan kelasku yang sebentar lagi akan selesai. Nice timing.
"Mau kemana?" tanyanya heran.
"Kamu bawa mobil?" tanyaku balik.
Dia mengangguk.
"Bagus, ayo kencan!" ajakku.
"Hah?"
Dia melongo, tetapi aku tidak peduli, hanya merangkul lengannya manja.
"Jadi, di mana mobilmu terparkir?" tanyaku.
"Sebelah sini!" jawabnya lalu mengajakku menuju mobilnya.
Dia yang resesif mendadak dominan. Aku juga tidak berniat untuk menjadi dominan. Untuk sekarang ini, berpura-pura menjadi perempuan lemah akan lebih baik. Lagipula, aku belum tahu, bagaimana sikap Aldi ini. Aku juga dilarang membunuhnya, Lupna adalah adik tirinya. Artinya, jika aku membunuhnya, aku juga harus menyingkirkan Lupna dan Fina. Jika itu terjadi, Betty pun juga harus dibunuh. Complicated bukan? Ya, begitulah hidupku.
Kami sudah masuk ke dalam mobil. Sambil memasang seatbelt, dia menoleh ke arahku.
"Mau ke mana?" tanyanya.
"Makan?" tanyaku mengajukan usul.
"Boleh," jawabnya. "Di mana?"
"Hotel?" godaku.
Pipinya memerah, lucu sekali.
"Haha, hei, jangan begitu! Aku hanya bercanda! Terserah padamu!" kataku kemudian.
"O-oke," katanya gugup lalu mulai melajukan mobilnya meninggalkan parkiran kampus.
Setelah keluar kampus, aku merasa di dalam mobil terlalu hening, jadi aku menyalakan musik di mobilnya. Namun dengan cepat, dia segera mematikannya, membuatku sedikit kaget dengan tindakannya.
"Aku benci kebisingan," katanya memberikan alasan tanpa harus aku tanya.
Well, jika itu benar, mengapa dia di sana malam itu?
"Apa yang lagi kamu tidak suka?" tanyaku sambil menyandarkan punggungku ke sandaran mobil.
"Banyak," jawabnya sambil memegang kemudia mobil dengan erat.
Aku menyeringai lalu menolehkan kepalaku ke luar jendela.
"Boleh aku turunkan kaca mobilnya sedikit? Aku suka tubuhku dibelai angin," kataku meminta izin darinya.
"Silahkan!" jawabnya.
Aku menurunkan setengah kaca mobilnya lalu memejamkan mata, menikmati angin yang menghantam kuat pori-pori kulitku. Aku tidak ingin membunuhnya, begitu yang aku lantunkan dalam hati. Hasratku bangkit dan akan sangat membosankan jika aku membiarkan dia terbunuh hanya karena tidak sengaja membuatku b*******h.
Saat mobil berhenti, aku membuka mataku. Aku menoleh ke arahnya yang membawaku ke sebuah restaurant yang terletak di pinggir jalan.
"Kamu suka steak?" tanyanya.
Aku menggeleng.
"Aku vegetarian," jawabku.
Dia terlihat kaget dan juga panik.
"Heh?"
"Apa ada salad di sana?" tanyaku.
Dia berpikir sebentar, "Aku rasa ada," jawabnya. "Maaf," imbuhnya merasa bersalah.
Aku menggeleng.
"Tidak usah meminta maaf, Aldi!" ucapku lalu melepas seatbeltku.
Aku memajukan tubuhku kepadanya lalu mengecup pipi kanannya.
"Jika tidak ada salad, aku bisa memakanmu," kataku setengah menggodanya.
Dia menelan ludah.
"Masih siang," katanya.
"Eh?"
Mukanya tampak merah lalu dia buru-buru memalingkan muka.
"Ayo turun!" ajaknya.
Aku tergelak pelan. Sepertinya dia salah paham dengan kata 'memakanmu' yang aku katakan barusan. Apapun yang ada di otaknya soal kata itu, bagiku itu bukan kata konotatif tapi denotatif.
Betty pasti akan sangat menyukai dagingnya. Terlebih tubuhnya tampak sehat. Otot dan dagingnya terawat dengan baik.
Saat dia sudah turun, aku juga turun. Aku rangkul lengannya lagi, meninggalkan kesan bahwa kami adalah sepasang kekasih bagi siapapun yang melihat kami. Walau jika diperhatikan lagi, kami bukan pasangan kekasih tetapi pasangan mangsa dan pemangsanya.
Dia membawaku ke sebuah kursi yang kosong. Dia memesan steak daging dan air mineral. Dia bilang tidak suka minuman berwarna. Aku pun hanya memesan salad buah dan juga air mineral.
"Kita sama soal keyakinan bahwa air putih menyehatkan!" katanya dengan senang seolah kesamaan kecil itu adalah sesuatu yang besar untuknya.
"Ya, aku rasa kita berjodoh," kataku melayani ucapannya.
Dia tersenyum bahagia.
"Apa kamu sudah dengar?" tanyanya.
"Soal apa?" tanyaku balik.
"Di tempat kerja Lupna, ditemukan mayat seorang lelaki!" jawabnya.
"Benarkah?" tanyaku bereaksi kaget senatural mungkin.
"Huum, kasihan! Dugaan sementara dia meninggal karena tingginya kadar gula di tubuhnya!"
"Ah, kasihan sekali," ucapku berusaha berempati.
"Jadi, apa kamu tahu ketidaksukaanku yang lain?"
Aku menatapnya lekat lalu menggeleng dengan senyuman.
"Pembunuh," katanya.
Aku menggenggam erat tangannya.
"Tenanglah! Betty bukan pembunuh!"
Dia membalas genggaman tanganku.
"Bagaimana denganmu?" tanyanya dengan menekan tanganku lebih keras.
"Aku Betty," ucapku.
Kami bertatapan dan kilat mata itu lagi-lagi membuatku b*******h.
Haruskah aku membunuhnya sekarang? Aku bahkan belum menikmati tubuhnya. Tapi, siapa yang peduli?