MISSING-18

1435 Kata
Mengandung konten dewasa dan adegan tsadis. Kebijaksanaan pembaca disarankan. Missing Update! ~ happy reading ~ "Aku Betty," ucapku. Kami bertatapan, cukup lama dengan pemikiran masing-masing. Kilat matanya saat ini membuatku b*******h. Tanpa perlu membedah otaknya, aku sudah tahu bahwa dia menyadari sesuatu tentangku. Walau aku belum tahu sejauh apa dia menyadarinya. "Aku tahu," sahutnya sembari melepas genggaman tangannya. Aku melonggarkan genggamanku padanya. Aku tarik lagi tanganku ke posisi semula. "Makanlah!" suruhnya sambil mengedikkan dagunya kepada salad buah yang berada di depanku. Aku tersenyum lalu mengambil garpu dan memakan salad buahku saat dia juga mulai menyantap steak daging miliknya. Aku terus-menerus menatapnya, sekecil apapun pergerakan yang dia lakukan, aku tidak mau melewatkannya. Dia berbeda, instingnya kuat. Jika aku tidak berhati-hati, aku bisa ketahuan dengan cepat. Jika itu terjadi, maka rencanaku akan berantakan. Aku sangat membenci kegagalan dan siapapun yang berpotensi membuatku mengalami itu harus disingkirkan. Siapapun, tanpa terkecuali termasuk lelaki yang ada di depanku ini. "Berhenti menatapku! Matamu akan meloncat keluar jika kamu terus melakukan itu!" tegurnya. Aku segera mengalihkan pandanganku setelah berdehem sebentar. "Saladnya enak," ucapku berupaya mengalihkan pembicaraan. Dia tergelak pelan. "Apa enaknya kumpulan sayur dan buah mentah? Kamu bahkan tidak menambahkan mayones atau krim di atasnya," sanggahnya. "Krim dan mayones akan membuatku gemuk!" kilahku. Dia tergelak lagi. "Kamu memang luar biasa," pujinya. "Untuk pujian itu, aku sangat berterima kasih," sahutku. "Kamu bisa berterimakasih dengan cara lain," guraunya. Aku menatapnya, sedangkan dia hanya memanyunkan bibirnya sedikit. Tingkahnya membuatku tertawa. Dia sedikit lucu. Rasanya, aku hanya terlalu waspada hingga terlalu cepat memutuskan untuk membunuhnya. Dia tidak seberbahaya seperti dugaanku. "Setelah makan, apa rencanamu?" tanyanya sambil memasukkan potongan daging ke mulutnya. "Entah, bagaimana menurutmu?" tanyaku balik. "Aku tidak suka keramaian," sahutnya. "Apa kamu mau ke rumahku?" tanyanya. Aku terdiam, menatap dirinya yang melontarkan pertanyaan itu dengan santai. "Apa di rumahmu tidak ada orang?" Dia terkekeh. "Jangan khawatir, aku tidak akan melakukan tindakan yang tidak kamu setujui," katanya meyakinkan aku. "Aku hanya akan menyentuhmu jika kamu memberikan izin," katanya menambahkan. Aku mengangguk setuju. Aku membenci penjelasannya barusan. Dia terlalu meremehkan aku. Tidak akan menyentuh tanpa izinku? Jangan bercanda, aku tidak perlu memberi atau meminta izin siapapun. Aku akan memutuskan dan melakukan apa yang aku mau sendiri. "Kamu tampak kesal," komentarnya yang membuat tanganku yang memegang garpu terhenti. Aku mendongakkan kepala, menatapnya lekat. Dia hanya memberiku senyuman tipis. "Aku minta maaf, apa aku menyinggungmu?" Senyumannya itu, aku benar-benar tidak menyukainya. Aku meletakkan garpuku. "Aku sudah selesai," ucapku lalu meneguk air mineralku. "Hei, jangan marah," bujuknya sambil mencoba meraih tanganku. Aku menarik tanganku menjauh. Dia menghela napas panjang. "Aku mencintaimu," ujarnya. "Benarkah?" tanyaku dengan sinis. "Ya, tentu saja itu benar! Jika tidak, untuk apa aku menemuimu?" jawabnya. "Untuk membunuhku mungkin," jawabku berpraduga. "Ayolah, aku tidak akan membunuh wanita cantik sepertimu, Betty! Aku bahkan ingin menciummu sekarang!" Dia berdalih. "Kalau begitu, kita bisa ke rumahmu sekarang? Aku sudah kenyang," sahutku. Dia tersenyum lalu mengangguk setuju. Selesai membayar, kami pergi ke rumahnya. Aku memang sudah menduga lelaki ini kaya, tetapi aku tidak menyangka dia akan sekaya ini. Rumahnya besar, terdiri dari tiga lantai dengan halaman yang luas. Pembantunya banyak, di setiap sudut ada. Dia bahkan sudah menyamai pangeran di drama-drama. "Tenanglah, mereka tidak akan mengganggu kita," katanya. "Apapun yang kita lakukan, mereka akan menutup mata," lanjutnya dengan kedipan mata menggodaku. Aku hanya menarik sedikit ujung bibirku. Aku tidak suka padanya. Benar-benar tidak suka. Dia meraih tanganku lalu menggandengnya dengan enteng. Kami menuju sebuah kamar. Di pintu kamar itu, ada dua sampai empat penjaga. Aku rasa, membunuhnya di sini tidak akan bisa dilakukan. Kami sudah di kamar. Ranjangnya sangat besar. Bahkan untuk kami berdua, ranjang itu masih sangat luas. Spreinya tebal dan lembut, begitu dugaanku. Aku bahkan tidak perlu mencobanya untuk tahu soal itu. Dia memang sekaya ini, untuk apa dia di tempat pelacuran? "Kemarilah," katanya yang sudah merebahkan diri di kasurnya. Dia merentangkan kedua tangannya seolah menyambutku untuk tidur di dalam dekapannya. Aku bergeming, ragu. Semakin dipikirkan, dia semakin mencurigakan. Ada banyak misteri di setiap jengkal tubuhnya. Dia susah ditebak. Untuk sesaat dia menggairahkan lalu membosankan. Untuk sesaat dia tampak lugu, detik selanjutnya berbahaya. Manusia semacam ini, sangat tidak aku sukai. Tipe pengekang yang terlihat samar. Dia mirip seperti Betty. "Hei," panggilnya membuat semua lamunanku buyar dalam sekejap. "Apa yang kamu pikirkan? Tenanglah, aku hanya ingin kamu merebahkan dirimu di lenganku," jelasnya. Aku menghela napas ringan lalu mulai melangkah. Aku naik ke atas kasur dan tidur di lengannya. Dia menepati ucapannya, tidak ada yang terjadi. Dia hanya memintaku untuk tidur di lengannya. Itu saja. "Jadi, bagaimana bisa kamu bisa berakhir di prostitusi?" tanyanya. Aku mengembuskan napas pelan. "Aku tidak akan bertanya berapa banyak laki-laki yang sudah kamu tiduri," katanya menambahkan. Aku memutar bola mataku malas, jengah dengan sikap sok bijaksananya. Kalaupun dia bertanya soal itu, aku akan menjawabnya. Lagipula, aku tidak pernah berhubungan intim dengan seorang lelaki. Kalaupun tidur dengan mayat lelaki, aku sudah sering melakukannya. Aku terlalu lelah memotong tubuh lelaki itu hingga ketiduran. "Kalau kamu?" tanyaku balik. Dia terkekeh. "Hei, aku yang bertanya lebih dulu," kilahnya. "Kamu tidak perlu menjawabnya jika tidak mau," sahutku. Dia mendesah kasar. "Ayolah, aku mencintaimu. Segala yang kamu tanyakan, akan aku jawab," katanya kemudian. "Jadi?" "Aku sedang mengawasi Lupna," jawabnya. "Untuk apa?" "Kamu tahu, kami adalah kakak-adik walau tanpa hubungan darah. Tetapi kehidupan kami sangat berbeda. Ayahku sangat membenci anak perempuan, jadi saat ibu tiriku melahirkan bayi perempuan, dia membuang Lupna. Karena itu, hidupnya jadi seperti sekarang!" ceritanya. "Aku ingin membantunya keluar, tetapi dia selalu menolak. Jadi aku kesana setiap hari!" lanjutnya. "Apa kamu pernah tidur dengannya?" tanyaku. Dia menggeleng. "Tidak, dia adikku dan aku belum sebinatang itu untuk menyetubuhi adikku sendiri!" "Berapa usiamu?" tanyaku. "Dua puluh sembilan tahun, kenapa? Apa kamu menyesal telah membuat lelaki bujang ini mencintaimu?" tanyanya. Aku menggeleng. "Tidak," sanggahku."Aku sangat suka dirimu." Dia merapatkan pelukannya membuat tubuhku terdekap erat olehnya. Dalam jarak sedekat ini, aroma tubuhnya tercium jelas. Aku menengadah dan bibirnya yang ranum terlihat jelas. Aku nyaris melumat bibir itu seandainya dia tidak meletakkan jarinya di bibirku. "Wow, hentikan, Nona! Jika kamu melakukannya, aku benar-benar akan menikmati setiap inti tubuhmu," katanya memperingatkan. Aku menundukkan lagi kepalaku. Rasanya menikmati tubuh lelaki yang nantinya akan aku bunuh, akan meninggalkan kesan seolah aku ini omnivora yang bisa memakan segalanya, termasuk mangsaku. "Apa kamu kenal siapapun yang bekerja di sana?" tanyaku. Dia mengangguk. "Tentu saja," jawabnya yakin. "Lantas, apa kamu kenal Tania?" tanyaku. "Ah, aku pernah tidur sekali dengannya," sahutnya. "Apa?" Aku nyaris meloncat dan menendang tulang rusuk lelaki ini seandainya dia tidak menangkap kedua tanganku dan memandangku lekat. "Hei, aku juga lelaki! Aku membayar, dia bekerja. Jangan marah!" katanya mencoba menenangkan aku. Aku kembali tidur di lengannya dengan tenang. Tapi, untuk apa aku marah? Aku bahkan tidak dalam situasi yang membuatku memiliki hak untuk itu? Benar bukan? "Dia terlalu cepat naik, kemudian turun! Aku tidak suka perempuan seperti itu!" Aku mendengus. "Kamu tidak perlu menjelaskan performanya di atas ranjang," sindirku. Dia tertawa. "Soal ciuman, dia lumayan!" "Aldi!!" pekikku. Dia tertawa, puas karena berhasil membuatku mengeluarkan emosiku. Dia tiba-tiba bangun, duduk. Aku pun juga bangun. Kami duduk di atas ranjang dalam jarak dekat yang pasti akan menaikkan hasrat seksual. aDia membuka bajunya lalu tampak beberap bekas luka di punggungnya. Tidak! Bukan beberapa, tapi banyak. Ada banyak bekas luka, cambukan, sayatan dan bakar.       Tanganku tergerak, aku elus lembut berkas-berkas luka itu. Kasar. Tidak aku sangka, akan ada maha karya indah di punggung yang terlihat biasa ini. Aku lingkarkan tanganku, memeluknya dari belakang. Aku berikan kecupan di bahu kanannya. "Ayahku sejak aku kecil selalu melakukan ini padaku setiap kali dia marah atau ada sesuatu yang tidak disenanginya," ceritanya. "Lantas? Apa kamu hanya diam saja?" tanyaku. Dia mengangguk. "Ya." "Kenapa?" "Karena dengan cara itu, aku tidak akan dicoret sebagai ahli waris," jawabnya. "Kamu pasti banyak bersenang-senang," ucapku. Dia mengangguk. "Ya, menunggunya mati dengan memberikan racun setiap hari ke makanan dan minumannya sedikit demi sedikit. Kamu tahu butuh kesabaran yang tinggi untuk itu." jelasnya. Aku tersenyum kecil. "Ya, meracuni seseorang juga butuh usaha yang keras! Meracuninya dalma satu pukulan hanya akan menghilangkan estetika dari meracuni. Hanya perlu sedikit kesabaran untuk menunggu tubuhnya hancur sedikit demi sedikit hingga racun akan menyusup dengan baik dan menghancurkan setiap organ di dalam tubuhnya!" komentarku. Dia mengangguk. "Ya, rasanya nikmat saat semua kesabaran itu berbalas dengan hasil yang baik! Tidak ada yang curiga, sehingga aku bisa melenggang di atas dosaku dengan penuh kebanggaan!" Aku mempererat pelukanku padanya. "Jadi, apa kamu tahu jenis racun yang aku gunakan?" tanyanya "Tentu," sahutku. "Gramoxone ( herbisida yang sangat berbahaya bagi manusia ). Sejenis racun yang akan membuat para dokter menyangka dia terkena penyakit paru-paru idiopatik padahal tidak, benar bukan?" Dia terkekeh. "Pantas saja aku mencintaimu, kamu memang sangat luar biasa," pujinya sembari menggenggam tanganku yang melingkar di perutnya. Dia melepas tanganku lalu berbalik hingga kini kami saling berhadapan. “Kamu cantik," pujinya. Aku tersenyum. "Jadi, maukah kamu memberiku hadiah untuk itu?" tanyaku. Dia mengangguk. "Apa kamu melihatnya malam itu?" Dia menggeleng. "Tidak," jawabnya. Aku mengalungkan tanganku ke lehernya dan mulai mendekat. "Aku sudah memperingatkanmu," katanya. "Aku tahu," sahutku lalu mulai memakannya. Menarik. Untuk saat ini, aku akan menikmatinya. Memiliki lelaki ini di sampingku pasti akan menyenangkan. Brak. Aku menghempaskan tubuh Aldi hingga dia terjungkal ke belakang.  Aku hampir kehilangan akal, bahkan nyaris lupa cara bernapas. Dia sedang melihatku. Napasku mulai terengah-engah dan meski Aldi memanggilku, aku tidak bisa menahannya. Betty, tolong aku!   A/N JANGAN LUPA FOLLOW. TEKAN LOVE AND SHARE. THANKS.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN