MISSING-19

1212 Kata
Mengandung konten dewasa dan adegan tsadis. Kebijaksanaan pembaca disarankan. Missing Update! ~ happy reading ~   Saat terbangun, aku sudah berada di kamarku. Sepertinya Betty benar-benar datang untuk membantuku. Dia memang teman yang bisa diandalkan. Aku bangkit, mengamati kamarku yang masih gelap. Cahaya matahari tampak samar dari balik jendelaku. Entah, apakah sekarang pagi atau siang. Aku tidak tahu. Aku memilih untuk bangun dan menuju ke cermin besar di kamarku. Walau gelap, mataku yang sudah terbiasa dengan pencahayaan yang minim ini berhasil melihat potret diriku di sana. Aku sudah berganti baju. Siapa yang melakukannya? Bettykah? Mungkin. Cuma dia satu-satunya yang bisa. Helaan napas panjang berembus saat aku tiba-tiba teringat tentang Aldi. Hal terakhir yang aku ingat adalah bagaimana aku menendang lelaki itu hingga terjungkal dan jatuh. Pasti, dia terluka. Minimal, pasti shock. Aku hanya bisa berdoa semoga dia tidak membenciku karena itu. Aku menuju pintu kamar, hendak keluar. Belum juga aku menyentuh knop pintu kamarku, pintu kamarku sudah terbuka lebih dulu. Aku melihat Lupna berdiri di depanku dengan wajah murka. Napasnya bahkan memburu membuat rongga dadanya naik-turun. Ah, pasti menyenangkan jika bisa mengangkat tulang rusuknya saat ini. Tidak. Aku tidak boleh melakukan itu. Betty pasti akan marah besar dan menghapusku dari hidupnya. Aku tidak mau itu terjadi. Tidak mau. Lupna tiba-tiba maju lalu hendak melayangkan tamparan saat aku belum siap, setengah linglung. Beruntung, Fina datang tepat waktu. Wanita itu dengan sigap menangkap tangan Lupna lalu menyeretnya pergi. Aku bahkan tidak perlu melakukan apapun, sudah ada yang menggantikan aku melakukannya. Thanks Fina. "Apa-apaan kamu?!" sungut Lupna sembari meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari cengkraman Fina. "Tenanglah, maka akan aku lepaskan," katanya memberikan syarat. Lupna menatap tajam ke arah Fina, tidak terima dengan itu. Namun, wanita itu menurut. Dia tidak lagi berontak membuat Fina menghela napas panjang lalu melepaskan cengkeramannya dari Lupna. Fina yang kini berdiri di depan Lupna maju lalh memegang kedua pundak adik dari Aldi itu. "Apa yang kamu lakukan? Sudah aku bilang padamu, tahan amarahmu!" kata Fina penuh penekanan. Tidak ada emosi di sana, hanya rasa khawatir dan cemas yang berlebihan. Sungguh drama receh menyebalkan. Aku hanya mengamati keduanya yang sedang berbincang tidak jauh dari kamarku. Tak ada niat sama sekali untuk bergabung dengan drama mereka. "Dia membuat kakakku harus dilarikan ke rumah sakit, Fin," ujar Lupna kesal. Aku mengerutkan dahi. Mulai merasa tertarik. Terlebih, saat Lupna menyebut kata "kakakku", tentu yang dia maksud adalah Aldi, kekasihku. "Aku tahu amarahmu, tapi kendalikan dirimu, Na! Dia berbahaya," kata Fina dengan suara pelan di ujung ucapannya seolah tak ingin aku mendengar. Aku yang berdiri di depan kamarku hanya menimbang-nimbang apa kira-kira yang menimpa Aldi sampai dia dilarikan ke rumah sakit. Tiba-tiba, otakku menyimpulkan satu kemungkinan yang mustahil. Apa Betty yang melakukannya? Itu tidak mungkin. Betty adalah wanita yang baik. Tak ingin penasaran lebih lama, aku akhirnya berjalan mendekati Lupna dan Fina membuat keduanya berhenti bicara dan menatapku lekat. Sorot mata mereka menunjukkan ketegangan, rasa takut dan amarah yang bercampur menjadi satu. "Hei, Lupna," panggilku. Lupna yang dipanggil tidak menyahut, hanya menatap dengan tidak suka ke arahku. "Apa maksudmu dengan mengatakan kalau kakakmu di rumah sakit? Apa Aldi terluka?" tanyaku. Lupna mendecih. "Kamu serius bertanya begitu? Ini semua salahmu," katanya dengan geram. "Apa maksudmu? Aku bahkan belum melakukan apapun," kilahku. "Jangan buat aku tertawa," sahut Lupna dengan decak mengejek. "Dasar b*****h!" "Apa kamu bilang?" Emosiku naik secara drastis mendengar kalian darinya. "b*****h, kamu dengar?" tantang Lupna. Wanita itu maju, demikian pula aku. Kami nyaris saling menonjol seandainya Fina tidak buru-buru mendorong mundur Lupna agar menjauh dariku. "Sudah, hentikan Lupna," cegahnya. Fina menatapku setelahnya lalu berucap, "Aku minta maaf atas nama Lupna." Aku bergeming, tertegun dengan ucapan darinya yang dulu juga pernah menantangku. Dia jadi tampak lucu karena berubah menjadi pecundang sekarang. "Baiklah," sahutku. Fina menghela napas lega. "Masuklah ke kamarmu. Kami akan pergi sekarang," pamit Fina. "Aldi di rumah sakit mana?" tanyaku. Fina tidak menjawab, hanya mengajak Lupna pergi. "Hei, jawab, dong! Aldi pacarku, aku harus tahu!" teriakku Fina dan Lupna tidak peduli. Mereka tetap berjalan menjauh tanpa menjawab pertanyaanku. Dasar menyebalkan. Aku masuk ke kamarku, berniat berganti baju dan mengikuti kemana Fina dan Lupna pergi. Namun, batal dilaksanakan saat telponku berdering. Aldi meneleponku. "Halo?" Lelaki dengan bekas luka itu langsung bicara begitu telpon tersambung. Aku tersenyum, lega. Suaranya juga masih terdengar merdu dan seksi. Dia masih bernyawa atau setidaknya belum amnesia. "Aldi, kamu baik-baik saja?" tanyaku cemas. "Ya, jangan khawatir," jawabnya. "Aku minta maaf." Dahiku mengernyit. "Untuk apa?" "Karena menyentuhmu tanpa izin," jawabnya. Aku terdiam, berusaha mengingat peristiwa terakhir yang terjadi di antara kami. "Kamu pasti sangat terkejut, benar bukan? Aku kira, kamu pernah tidur dengan seorang lelaki sebelumnya, ternyata..." "Wait." Aku memotong pembicaraan Aldi. "Ya?" sahut Aldi. "Apa maksudmu berkata begitu?" tanyaku. "Heh?" "Kita hanya berciuman, mengapa kamu.." Aku tidak menggenapi ucapanku. Pusing. Otakku mendadak terasa sakit. "Ah, iya, maafkan aku. Sepertinya aku mulai kehilangan fokus. Maaf untuk itu," kata Aldi lalu tertawa canggung. "Apa kamu bertemu dia?" tanyaku yang membuat tawa Aldi menguap seketika. "Dia yang mana?" tanyanya.  Aku memutar bola mataku ke atas, mencoba mencari tahu bagaimana menjelaskan padanya bahwa ada dua Betty ; Betty yang asli dan aku yang memakai nama Betty untuk identitas samaranku. "Bet, kamu masih di sana?" tanya Aldi karena aku terlalu lama diam. "Te-tentu saja," jawabku gugup. "Jadi, apa lukamu parah?" "Tidak, hanya tulang kakiku retak dan harus digip selama dua minggu," jelasnya. "Kamu tidak bisa berjalan lagi?" tanyaku dengan penuh sesal. Ini pertama kalinya aku merasa bersalah. "Hei, ayolah, jangan sedih. Aku tidak mati, bukankah seharusnya kita mensyukuri itu?" katanya. Aku hanya menganggukkan kepalaku pelan. "Iya." "Jika kamu merasa sedih dan menyesal, kenapa kamu tidak datang ke sini dan menjengukku saja?" usul Aldi. "Apa aku boleh ke sana?" tanyaku. "Tentu, apa ada yang melarangmu untuk itu?" "Lupna," sahutku. "Ah, tenang saja. Dia sudah datang ke sini tadi, jadi mungkin dia akan ke sini besok pagi. Dia harus bekerja. Kamu boleh ke sini. Lagipula, aku merindukanmu," katanya panjang-lebar. Aku tersipu malu untuk ucapan terakhirnya. "Kenapa diam saja? Kamu nggak merindukanku?" sindirnya. "Aku rindu," kataku malu-malu. "Ah, aku ingin sekali melihat ekpsresimu saat ini, Bet," sesalnya. "Kamu akan segera melihatku, Aldi. Kirim alamat rumah sakit di mana kamu dirawat, juga nomer ruanganmu," suruhku. "Oke. Aku tunggu." Telpon berakhir. Tak lama kemudian, sebuah notifikasi pesan datang. Aldi mengirimkan lokasi keberadaannya. Aku mengambil tas selempang kecil, memasukkan ponsel, charger dan dompetku ke dalamnya lalu bergegas keluar dari kamar. Di ruang tamu aku melihat Fina yang sedang makan. Wanita itu tak mengatakan apapun hanya menatapku dengan tatapan yang menusuk. Aku tidak menjumpai Lupna di sampingnya. Mungkin wanita itu sudah berangkat bekerja. Tiba-tiba aku teringat seseorang yang penting. Aku belum melihatnya sama sekali hari ini. Aku mengarahkan pandanganku ke seluruh ruangan membuat wanita itu menautkan alis. "Ada apa?" tanyanya. "Betty, apa kamu melihatnya?" tanyaku. Dia terdiam, hanya menatapku dengan tatapan mata yang tidak bisa diterjemahkan. "Apa kamu tahu? Apa dia ke kampus?" tanyaku. Fina mendengus. "Di hari Minggu?" sahutnya setengah mengejekku. Rasanya, aku ingin mengambil garpu yang sedang dipegangnya lalu menusukkannya ke kedua bola mata Fina. Namun, aku tidak bisa melakukan itu. Betty, dia adalah alasan terbesar mengapa Lupna dan Fina masih bernyawa sampai hari ini. Aku mengibaskan tanganku, enggan berdebat. "Mau kemana?" tanyanya yang membuat langkahku terhenti. "Sejak kapan kamu mencampuri urusanku?" tanyaku setengah menyindirnya. Fina berdiri dari duduknya lalu mendekat ke arahku. "Kamu tidak bisa begini selamanya," katanya dengan pandangan iba. "Kamu akan terluka saat mengetahui segalanya." "Hah? Apa maksudmu?" tanyaku kebingungan. "Kamu tidak akan bisa melakukan semua keinginanmu lagi," tegasnya. "Kamu akan menghentikanku?" tanyaku. Fina menggeleng. "Bukan aku," sanggahnya. "Lalu?" Fina menatapku dengan tersenyum miring lalu menunjuk ke diriku sendiri. "Apa maksudmu?" tanyaku. Fina mengangkat kedua tangannya. "Entahlah," katanya lalu berbalik, melanjutkan makannya. Aku mendengus lalu pergi. Daripada mengurusi Fina yang tidak jelas, lebih baik aku menemui Aldi saja. Walau, karena ucapan Fina, aku menjadi sedikit gelisah. Dasar sialan.   A.N JANGAN LUPA TEKAN LOVE, FOLLOW, KOMEN AND SHARE YA. THANKS.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN