12 – Prahara Lainnya

1684 Kata
Melihat Airlangga beranjak ke kamar mandi, Kamala bangkit karena tenggorokannya kering. Ia menuju dapur, sambil berkali-kali mengusap air mata di pipi. Wajahnya sangat sembab, tapi masih tidak bisa menghentikan tangis. Seolah masih ada banyak lagi stok air mata, yang siap untuk ditumpahkan Kamala.Saat membuka kulkas, ia mengerjap bingung karena tidak mendapati satupun botol air mineral. Di awal tadi Airlangga sempat menawarkan, tapi karena belum haus, Kamala langsung menolak. Sekarang baru ia ingin. Di kulkas hanya ada tumbler bening berisi air, juga es krim yang tadi mereka beli. Tanpa pikir panjang Kamala mengambil tumbler, membuka tutup, kemudian meneguk airnya tergesa-gesa. Hampir ia tersedak karena merasa aneh dengan apa yang ia minum. Jenis campuran rasa karamel dan vanila, hingga bau asap pekat bercampur tanah. Kamala sampai mengernyit, ia menjauhkan tumbler, memandangi isinya dengan tatapan aneh. Beberapa detik ia mengecap, masih meraba-raba apa yang baru ia telan. Kamala bahkan menyentuh bibir yang masih terdapat jejak basah di sana. Lama-kelamaan ia merasa seperti ada keajaiban. Tubuhnya berubah rileks dan ringan. Ia ... tidak sesesak tadi. Beban Kamala ... seolah hilang bagai ditiup angin.  Sekali lagi ia menatap tumbler, tergerak untuk mencicipi kembali. Kali ini tidak banyak, hanya dua tegukan. Setelah itu Kamala tiba-tiba tersenyum, ia menutup pintu dengan siku, kemudian menyandarkan punggung sepenuhnya pada kulkas. Sensasi euforia mulai dirasakan Kamala, ia bahkan mulai tertawa. Rasanya seperti tidak menginjak lantai, kebahagiaan merebak memenuhi dadaa, Kamala bahkan terpikir untuk menari dan berputar-putar. “La, di mana?” Suara Airlangga memanggil, membuat Kamala senang. Cepat-cepat ia menutup tumbler, kemudian berjalan sesukanya. “Mala? Siap-siap sekarang, kita mau pulang. Mama sudah telep–Mala?” “Abang ... ini apa? Rasanya enak.” Digoyang-goyangkannya botol tersebut, sambil berjalan mendekat menghampiri Airlangga. “Kalau aja Mala tau Abang punya minuman ajaib, dari tadi bakal Mala minum. Soalnya ... Mala merasa ... lebih tenang.” “Sini kasih ke Abang.” Ekspresi Airlangga mulai berubah. Ia mengambil langkah lebar agar cepat sampai di depan Kamala. “Harusnya kalau mau ambil sesuatu, kamu bilang dulu, La. Di kulkas tidak ada air minum. Semuanya ada di dalam lemari.” “Tapi, ini ... enak.” Dalam sekali rebut, tumbler sudah berpindah tangan. Airlangga lekas membuka tutupnya, mengendus aroma yang ada di minuman ini. Betapa ia langsung emosi, karena minuman ini harusnya tidak diminum Kamala. Detik itu juga ia mengumpat, bahkan meremas rambut kasar. Tidak tertinggal nama temannya disebut, karena ulah dia, minuman laknat ini ada di dalam kulkas. “Abang marah?” Wajah Kamala memuram. “Abang nggak mau minuman ini Mala minum? Kok tega? Mala suka. Ini ... ini enak. Karena minuman ini ... Mala jadi oke. Mala jadi ... nggak mikirin apa-apa. Mala ... jadi lega.” “Abang yang salah. Harusnya kamu tidak lihat. Demi Tuhan, ini rum tonic. Alkohol, La. Bukan buat dikonsumsi biasa. Abang dapat ini dari teman Abang, tapi lupa Abang buang.” Airlangga merasa kepanikan. Ia meletakkan tumbler di atas meja pantry, kemudian bergegas menangkap Kamala. “Kita tidak bisa pulang sekarang. Kalau om atau Kamil tahu, Abang celaka, La. Sekarang akan Abang usahakan cari penawarnnya dulu, sekaligus kirim pesan ke mereka kalau kita tidak bisa pulang malam ini. Kamu harus tenang.” Tangan Kamala ditarik oleh Airlangga. Tapi, di sela fokus laki-laki itu, Kamala masih bisa mengambil secara diam-diam tumbler air. Disenyembunyikan di belakang tubuh, kemudian berekspresi seperti biasa. Seolah tidak apa-apa. Mereka tiba di ruang tamu. Airlangga mendudukkan Kamala di sofa yang sebelumnya ia tempati. “Abang tidak berpengalaman mengatasi orang mabuk, tapi akan Abang cari di internet. Kamu jangan ke mana-mana, La.” Anggukan yang Kamala beri, terlihat meyakinkan. Itu sebabnya Airlangga langsung membelakangi, mengambil ponsel di atas meja, juga serius menganati benda tipis di tangannya. Kesempatan itu Kamala gunakan untuk mengeluarkan tumbler. Ia membuka tutup sepelan mungkin, kemudian meminumnya lagi. Setelah mencicipi rasa yang masih sama, Kamala lekas meletakkan di dekat kaki sofa. Ia tersenyum-senyum karena tindakannya, mengusapi wajah dan rambut bergantian, menarik, bahkan terkekeh. Airlangga berbalik kaget. “Ada apa? Ada yang sakit, La?” Ditanya seperti itu, membuat Kamala mendongak. Bibirnya masih melengkung, menatap lekat pada Airlangga. Beberapa detik terlewat, seperti disapu angin, senyumnya lenyap. Berganti dengan ekspresi kesakitan, seiring dengan air mata yang berjatuhan. “Abang ...” panggilnya lirih. Mengepalkan kedua tangan, dengan napas memburu. “Sakit, Abang. Sakit banget.” Laki-laki itu spontan berjongkok. Memegangi dua tangan Kamala, dengan wajah khawatir. “Di mana? Sini Abang periksa. Kalau kamu tidak sanggup, sekarang juga Abang bawa ke rumah sakit.” Kemudian genggaman lain dilepas, Airlangga gunakan untuk memeriksa suhu tubuh Kamala, termasuk mengusapi pipinya yang memerah. “Demi Tuhan, jangan buat Abang khawatir kayak gini.” “Mala sayang banget sama kakak,” jawabnya melantur. Isakan kian terdengar menyesakkan. “Dua tahun bukan waktu yang singkat. Kalau tahu akhirnya begini, nggak akan Mala kasih hati sepenuhnya. Sakit banget, Bang.” Airlangga mendongak, mengembuskan napas berat. Hati-hati dia duduk di samping Kamala, merangkul perempuan itu, mengusapi punggungnya untuk menenangkan. “Abang tahu, La. Tahu sekali.” “Mala benci sama diri Mala sendiri. Mala nggak mau lemah begini. Mala rasanya ... pengen hilang ingatan. Lupain semuanya ... semua rasa sakit yang kakak beri sama Mala.” Melihat Kamala memukul-mukul kepalanya, Airlangga langsung marah. Marah ke Daniel dan ... dirinya sendiri. Kalau saja ia tidak meminta Kamala menunggu di depan rumah, perempuan ini pasti tidak akan mendengar omongan tetangga. Tidak akan bersedih dan terpuruk lagi karena kegagalan pernikahannya. Perlahan Airlangga meraih tangan Kamala, membuka dengan hati-hati agar tidak mengepal. Ia juga meraih sisi kepala Kamala untuk dipeluk. Beberapa kali Airlangga mendaratkan kecupan di puncak kepala, berharap Kamala tenang. “Apa yang bisa Abang bantu, La? Supaya kamu tidak lagi memikirkan pria berengsek itu?” Airlangga menelan ludah, kemudian membuat Kamala mendongak. Hatinya tidak nyaman, melihat sisi rapuh Kamala. “Apa pun itu, asal kamu bisa tenang lagi, Abang mau melakukannya.” Mata coklat berkaca itu balas menatap. Di bibirnya terdengar isakan lirih, menandakan ia masih sedih. Tapi, ia menggeleng sebagai respon. Juga menambahkan kata-kata sebagai jawaban, “Abang cukup biarin Mala ... minum-minuman di tumbler.” “Tidak! Membiarkanmu minum tanpa sepengetahuan Abang saja sudah salah, apa lagi terang-terangan.” “A-Abang ...” Melihat Airlangga bangkit, Kamala ketakutan setengah mati. Ia tidak berpikir panjang, kemudian segera mengambil tumbler untuk menyembunyikan. Airlangga yang melihat itu membelalakan mata. “La, kamu–” “Sekali ini saja. Sekali ini saja, Bang ...” Erat ia mendekap tumbler, juga menggeleng-gelengkan kepala. “Abang bilang, apa pun itu. Asal Mala tenang. Asal Mala ... nggak nangis lagi.” “Kecuali ini.” Airlangga merendahkan tubuhnya lagi, dengan tatapan lurus dan binar mata meredup. Ia memohon dengan lembut. “Kasih ke Abang. Kamu tidak boleh menyentuh minuman haram itu. Tubuhmu terlalu berharga, La.” Kamala menggeleng kuat. “Kamu sudah banyak meminumnya. Efek fatal yang ditimbulkan alkohol menyebabkan kematian. Kamu mau lihat om, Kamil, sama Abang berduka? Mau lihat kami sedih karena kehilanganmu. Begini saja kondisi rumah sudah beda. Kamu kehilangan cahaya, seisi rumah juga gelap, Kamala.” Melihat tidak ada reaksi, Airlangga kembali menambahkan, “Abang yang akan minum. Kita akan minumnya sama-sama. Kamu tidak boleh sakit sendirian. Ada Abang yang bisa kamu andalkan.” Berkat ucapannya itu, Kamala melunak. Meskipun gerakannya ragu, tapi ia tetap menyerahkan tumbler pada Airlangga. Saat sudah berpindah tangan, Kamala lekat menatap. Niat Airlangga yang ingin membuang cairan, terkikis oleh rasa tidak tega. Di mata perempuan itu, ada banyak pengharapan. Menunggunya bertindak. Menghela napas untuk kesekian kali, Airlangga akhirnya menuruti. Dalam sekali tegak, ia menandaskan. Dalam hati ia kembali mengumpati temannya, karena tidak waras menghadiahkan minuman beralkohol dengan dalih oleh-oleh perjalanan bisnis. Pening mendera sesaat, tapi Airlangga masih bisa mengendalikan diri. Ia langsung melempar tumbler sembarang, kemudian menatap Kamala. “Puas, La? Dengan begini, kamu tidak nekat lagi.” Kamala mengkerut di tempat duduk. Kedua tangannya saling bertaut di pangkuan, dengan kepala tertunduk. Lama ia tidak menyahut, hingga kemudian isakkan kembali terdengar. Lebih keras dan histeris dari yang tadi. Kamala sampai memukul-mukul dadaa, membuat Airlangga menyentak keras dan mencengkeram erat lengannya. “Apa yang ada di pikiranmu?! Sakit hati memang membuat bodohh, tapi kalau kelewatan namanya keterlaluan, Kamala!” “Abang nggak ngerasain di posisi aku!” Ia mepis kasar, menatap Airlangga nanar. Bibirnya bergetar. “Nggak mudah lupain. Aku menyedihkan, ditinggal menikah karena dia milih tidurin perempuan lain. Dia mencampakkanku dengan cara yang hinaa. Membuatku malu, sampai keluargaku kehilangan muka. Apa dosa kami, Bang? Apa kesalahan kami sampai Kakak permaluin kami segitunya?” “Sudah Abang bilang, dia bukan laki-laki. Dia tidak punya otak. Dia binata–” “Lalu dengan mengetahui fakta itu, apa semuanya bisa diubah? Mala tetap perempuan penyandang status ... batal menikah. Orang-orang menilai ini karma. Karena Mala terlalu ...” Ia mulai kesulitan bernapas. Bahunya terguncang-guncang, karena tangis yang kian meradang. “Mala rasanya ... mau mati. Biar nggak rasain sakit lagi. Biar ... nggak ingat ini lagi ...” Seumur hidup Airlangga, hanya ada satu hal yang membuat ia menangis. Saat melihat mama atau papanya terbaring sakit. Tapi sekarang, dengan lantang ia tambahkan hal kedua, yaitu Kamala. Perempuan di depannya ini terlihat rapuh. Tangisannya, aduannya, frustasinya, bahkan ... keputusasaannya, menyakiti sebagian hati Airlangga. Ia ingin merengkuh, bukan hanya sekadar merengkuh. Kalau bisa ... ia akan mengambil keseluruhan rasa sakit, agar mengurangi beban yang Kamala tanggung. Perlahan Airlangga menyelipkan kedua tangannya di sisi wajah Kamala. Ia menelan ludah dengan mata berkaca, memandangi perempuan itu lama, kemudian perlahan mendekat. Berbisik, “Bukankah Abang sudah bilang sebelumnya? Kamu dibuat sakit sekarang, biar nanti tinggal menikmati bahagia. Abang sayang kamu, La ...” Kemudian puncak hidung mereka bersentuhan. Airlangga memejamkan mata, Kamala-pun sama. Karena terpengaruh keadaan dan sama-sama di ambang batas kesadaran, hal yang harusnya tidak terjadi, berubah menjadi terjadi. Airlangga memajukan bibir, mendarat tepat di atas bibir Kamala. Sedangkan Kamala yang menerima, sempat kaget dan membuka mata. Tapi, akal sehat seakan hilang, hingga alih-alih melepaskan diri, ia justru mencengkram kemeja yang Airlangga kenakan. Memejamkan mata erat-erat dan membalas dengan lumatan yang lebih liarr. Sekarang semua tidak berjalan sebagaimana mestinya. Mereka tidak akan pernah tahu, apa yang terjadi hari ini, telah mengubah sesuatu di masa depan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN