7 – Datangnya Prahara

1800 Kata
Dekorasi halaman rumah hampir 95% selesai. Tenda keseluruhan didominasi warna putih, dipadu dengan daun yang rimbun dan mawar putih kesukaan Kamala. Intinya akan sejuk dipandang mata. Semua ini atas permintaan Kamala, karena ia ingin tamu yang datang turut menikmati pernikahannya, baik dari segi hidangan maupun hiburan yang disediakan. Sekarang Kamala di dalam kamar pengantinnya, dikelilingi para sepupu Daniel. Mereka mengobrol seru. Dari yang ringan, sampai menjurus ke hal-hal vulgar. Kamala sampai merona malu mendengarnya. “El makin ganteng, La,” ujar Susan menggoda, dengan kerlingan genit di mata. “Dia semangat olahraga. Rutin minum minuman penambah stamina dan vitamin yang menyehatkan badan. Tante sampai bingung sama kelakuan dia. Pas ditanya, kata El biar nggak tumbang di malam pertama.” “Serius gitu, Kak?” Kamala bertanya tidak percaya. Sumpah, Daniel malu-maluin. Harusnya jangan ngomong terang-terangan. “Kakak najong banget! Makin deket resepsi, otaknya nggak beres, ih!” “Namanya juga di ujung tanduk. Jadi, wajar kali.” Yang lain langsung ngakak, kecuali Kamala. Ia tidak suka dijadikan bahan candaan, karena ini bukan hal lucu. Kamala ngerti, hampir semua sepupu Daniel tahu bagaimana sepak terjang Daniel dalam hubungan percintaan. Mereka bahkan setuju menganggap Daniel playboy kelas kakap. Makanya saat Daniel memutuskan menetap pada satu perempuan, mereka awalnya ragu. Tapi melihat lamanya Daniel dan Kamala berpacaran, rasa ragu itu perlahan terkikis. “Sebenarnya ini kejutan, tapi gue udah gatel pengen ngasih tau lo, La. Tante kemarin beli satu lusin lingerie, katanya buat menantu. Beliau ngebet pengen punya cucu dari El, jadi acara bercocok-tanam didukung sepenuhnya 100%.” “Mbak Anna, jangan ngomong ini lagi. Aku enggak enak dengernya.” Rona merah menjalar sampai ke kuping-kuping, Kamala meringis kecil sambil memegangi pipi. “Entar aku jadi kebayang-bayang, terus takut. Kan itu ... pertama kali ngelakuinnya akan sakit.” “Percaya sama gue, El itu punya sejuta pengalaman. Harusnya dia tahu gimana perlakuin virgin.” “Heh, lo udah banyak omong, nggak mikir situasi lagi!” “Iya, Anna begoo!” Mereka saling dorong tangan, merasa bersalah pada Kamala. Tapi, sebenarnya Kamala santai-santai saja. Karena ia tahu, semua orang punya masa lalu. Begitu juga calon suaminya. Sekarang karena ia tulus cinta, ia menerima Daniel sepaket dengan kekurangannya. Begitu juga Daniel, menerima Kamala sepaket dengan kekurangannya. Tidak ada yang keberatan, karena mereka saling menerima. “Udah, enggak pa-pa. Aku oke kok, Mbak. Lagipula selama pacaran, kakak hormatin aku banget. Dia perlakuin aku sopan, kadang kalau megang tanganpun dia ngomong dulu. Enggak dipungkiri sih sebagian tindakannya itu atas dasar ancaman abang.” “Serius, abang lo sampai ngancem?” “Iya. Abang pas tahu kakak dekatin aku, dia langsung khawatir. Kayak enggak suka gitu, tapi ‘kan posisinya aku udah percaya karena terus-terusan diyakini sama kakak. Jadi, mau nggak mau abang nerima kakak. Selama menjalin hubungan sama aku, abang cuma minta satu hal sama kakak, enggak boleh melewati batas. Atau kalau enggak, kakak bakal kena masalah.” “Terus nurut El-nya?” Kamala mengangguk. “Kadang pernah sih khilaf tipis-tipis, kayang cium-cium bibir gitu, Mbak. Tapi, kalau lebih, aku keburu sadar. Aku enggak mau khianati abang, jadi aku harus jaga kepercayaan yang dia kasih.” “Ah, anak baik. El nggak salah milih lo, La.” Anna sampai mengusap lengan Kamala, ia juga tersenyum takjub. “Pantas Tante Latifa suka banget sama lo, orang modelan calon menantunya gini. Beruntung banget mereka sekeluarga.” “Terima kasih banyak, Mbak,” ucap Kamala dengan senyum salah tingkahnya. “Nanti semoga enggak bosan sama kelakuannya aku. Sebentar lagi aku ‘kan jadi bagian keluarga Hutama, makanya mulai dari sekarang, aku minta untuk dimaklumi dulu kelakuannya.” Gelak tawa memenuhi kamar. “Dengan senang hati, calon dek ipar,” jawab mereka berbarengan. *** Salah satu tante Kamala ada yang punya salon, jadi saat beliau mengambil alih bagian perawatan tangan dan kuku, Kamala tentu tidak ragu menyetujui. Peralatan pedicure yang Tante Mia–begitu ia memanggil–bawa, sangat lengkap. Pantas saja saat diberitahu Kamala akan menikah, Tante Mia yang paling semangat. Karena ini ternyata. “Tant, Mala sambil main hape, ya,” beritahunya sambil menggoyang benda tipis itu. “Tapi, kalau mau ajak ngomong, silakan. Mala jawab apa aja, asal pertanyaannya enggak yang aneh-ane.” “Heem.” Tante Mia fokus meletakkan barang-barang yang diperlukan, mulai dari sikat khusus kaki, pengikir dan pengilap kuku, gunting kuku, pendorong kutikula, kapas, krim kutikula, handuk, air, baskom, sabun, garam, minyak esensial, terakhir pelembab. “Jangan sampai ketiduran lho, La.” “Okay, Kapten!” Kamala menunjukkan jempol kemudian tertawa kecil. Tante Mia mulai mengisi baskom dengan air hangat, menambahkan beberapa tetes minyak esensial dengan varian aroma yang Kamala suka, lalu memasukkan satu sendok garam. Setelah semuanya larut jadi satu, kaki Kamala direndam selama lima belas menit, diselingi digosokan perlahan dan dibersihkan kuku dengan sikat khusus yang bulunya halus. “Tante, Mala jadi ngerasa agak sungkan. Masa yang lebih tua bersihin kaki Mala. Kayak terbalik gitu nggak, sih?” “Sah-sah aja tuh. Pelanggan salon malah ada yang lebih muda dari kamu, tapi mereka enjoy. Ya memang dibayar buat lakuin ini, kan? Jadi enggak pa-pa, Sayang. Nikmati aja, oke?” “Oke, deh.” Kamala meletakkan ponselnya di atas meja, kali ini memilih fokus melihat kesibukan Tante Mia. Lagipula Daniel di chat tidak membalas, ditelpon juga tidak diangkat. Dari malam tadi bilangnya sibuk ngerjain tugas, tapi masa sampai jam dua siang gini belum selesai-selesai juga? “Nanti satu hari sebelum akad, kita ziarah ke kubur mama ya, La? Minta restu dulu, minta doain juga dari sana semoga dipermudah dan diperlancar semuanya.” Bibir Kamala mengatup rapat, ia melamun sesaat kemudian mengangguk. “Iya, Tante. Nanti beliin bunga kesukaan mama juga. Yang besar, biar pas kita datang, mama senyum lebar lihat apa yang Mala bawa.” Tante Mia tertawa kecil. “Tentu, Nak.” Ponsel Kamala berbunyi, tapi ia abaikan. Kalau itu dari Daniel, maka ia tahap merajuk sekarang. Ia menyandarkan punggung di sandaran kursi, memejamkan mata menikmati pijatan lembut Tante Mia di kakinya. Batu apung itu berhasil membuat Kamala merasa rileks, meskipun fungsinya menghilangkan sel-sel kulit mati. Notif kedua kembali terdengar, kali ini beruntun bersama dering telepon. Kamala sampai memutar bola mata malas, paham betul gimana kelakuan Daniel kalau tahu pesannya tidak dibalas. Apalagi kalau dia sadar Kamala sedang merajuk. “Enggak diperiksa, La? Siapa tahu penting.” “Enggak, paling dari kakak.” “Lho, justru itu penting. Lagipula, apa nggak kangen? Lumayan lama ‘kan nggak ketemuan, harusnya manfaatin komunikasi yang ada aja.” “Dia nyebelin, Tante. Biasanya sesibuk apa pun, dia pasti ngasih kabar. Tapi, tadi malam ngilang gitu aja sampai sekarang. Mala jadi agak dongkol.” “Periksa dulu, gih. Siapa tahu dia minta maaf terus jelasin alasannya kenapa baru kabarin.” “Iya, iya.” Dengkusan pelan keluar dari mulut Kamala. Dengan malas ia mencondongkan badan, mengambil ponsel ogah-ogahan. Setelah layar menyala, Kamala sempat mengerucutkan bibir sebelum memfokuskan pandangan. Rasa kesal langsung memenuhi dadaa. Alih-alih Daniel yang menghubungi, ia justru mendapati nomor baru masuk ke ponselnya. Mana sudah menelpon tiga kali, tapi karena tadi tidak Kamala respon, panggilannya berakhir tidak terjawab. “Apa kata Daniel?” “Bukan dia,” ujar Kamala ketus. Ia menekan pop up, kemudian masuk ke ruang obrolan. Dari pesan pertama yang dibaca, napas Kamala mulai tidak santai. Ia sampai menegakkan punggung, kembali mengulang membaca lagi. Dengan pelan-pelan. +6285888xxxxxx : [Lo Kamala bukan? Pacar Daniel, anak FISIP yang kemarin baru lulus?] +6285888xxxxxx : [Please baca kalau ini benar lo! Sumpah ini penting banget! Gue nggak bohong demi Allah!] +6285888xxxxxx : [Oke kalau lo sibuk. Gue harap setelahnya lo baca pesan ini, please.] +6285888xxxxxx : [Send a picture.] +6285888xxxxxx : [Gue nggak tau mesti jelasin darimana, intinya sekarang cowok lo baru selesai ijab sama temen gue. Dia ke-gep warga berbuat m***m di kost. Gue udah kasih bukti nyata. Di sini jelas banget muka Daniel Hutama. Gue berani mati kalau sampai bohongin lo.] +6285888xxxxxx : [Gue nggak mau lo jadi korban atas kebejatann mereka. Kabarnya lo juga lagi siapin nikahan, kan? Gue harap lo bisa mikir panjang buat ini semua. Please, Daniel lebih berengsek dari yang lo tahu.] +6285888xxxxxx : [Gue bersedia lo temuin semisal lo percaya.] Tatapan Kamala sempat kosong, tangannya mulai gemetar parah. Ponsel di genggaman sampai terlepas, membuat Tante Mia mendongak dengan tatapan tanya. “Kenapa, La?” Tidak sanggup Kamala jawab. Ia berdiri dari duduknya, menatap linglung ke sekeliling kemudian bertumpu pada meja agar tidak limbung. Daniel ... Daniel-nya nyata di sana. Duduk berdampingan dengan seorang perempuan, mereka dilingkupi kerudung khas nikahan. “Mala, kamu baik-baik saja, Nak?” Tante Mia berdiri, memegangi tangan Kamala yang sedingin es. “Tolong jangan buat Tante panik. Mala, kamu dengar Tante, kan?” Wajah Kamala pucat pasi. Saat ia menatap Tante Mia, setetes air bening mengalir di pipi. Binar matanya meredup parah, menandakan syok luar biasa. “Kakak, Tante ... kakak ...” “Daniel? Dia kenapa, Sayang? Ada apa? Jelasin pelan-pelan, Nak.” Merasa Kamala tremor parah, Tante Mia berteriak keras memanggil orang-orang. Beliau sama sekali tidak beranjak, masih memegang erat tangan Kamala, tidak membiarkan Kamala sendirian. Beberapa orang berhambur masuk ke dalam. Mulai dari Farhan, Kamil, Airlangga, sampai keluarga yang lain. Kepanikan sama menghiasi wajah mereka. “Ada apa ini?” Kamala menunjuk-nunjuk ponselnya yang tergeletak di lantai. “Kakak ... dia–” Kemudian ia limbung tak sadarkan diri. Beruntung Tante Mia sigap menangkap, sehingga terhindar dari benturan lantai. Kamil langsung mengangkat Kamala, membawanya ke ranjang. Semua yang ada di sana langsung tegang, mereka bergegas mencari benda apa saja yang kiranya membantu Kamala agar sadar. “Langga, gue minta tolong panggilin dokter keluarga lo ke sini,” mohon Kamil dengan kalut. Ia bahkan tidak melepaskan tangan dingin Kamala. “Gue sama nyokap di sini, mau nanya ke Tante Mia, apa yang buat dia kayak gini.” Airlangga mengangguk sekali, kemudian pergi detik itu juga. Kamil beralih pada papanya. “Semuanya akan baik-baik saja, Pa.” Farhan mengangguk dengan tatapan fokus pada Kamala. Dari pipi sampai rambut, tidak berhenti diusapi. Rasa takut mendominasi, Farhan bahkan sudah berpikir terlalu jauh. Sementara itu Kamil mulai mengambil ponsel yang masih tergeletak. Saat ia mulai memeriksa, yang lain kembali masuk dengan beberapa benda yang dibutuhkan. Tante Mia membantu mengusap minyak kayu putih di pelipis serta penciuman Kamala. Sementara yang lain memijat, bahkan mengusap-usap lengan dan kaki Kamala, agar kembali hangat. Tanpa ekspresi Kamil membaca seluruh pesan, lalu menatap berkilat pada bukti nyata yang membenarkan bahwa itu Daniel. Emosi tidak bisa ditahan lagi, ia melempar ponsel Kamala ke lantai, sampai pecah jadi beberapa bagian. “Berengsekk!” “Mil!” Farhan menoleh, meninggikan suara. “Ada apa ini?!” “Anak itu mempermainkan Mala, Pa! Anak berengsekk itu–” Gigi Kamil saling gemelatuk. Ia menerobos keluar kemudian berteriak keras. “Akan kubunuh Danel! Akan bunuh anak setann itu!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN