Davian bangun dari tidurnya seperti biasa, hal pertama yang ia lihat tentu saja ponsel karena benda itu hal yang sangat penting untuknya. Ia mengecek beberapa pekerjaan baru ia akan turun dari ranjang dan mandi. Davian lalu teringat jika saat ini masih tidak menggunakan apapun karena pegumulan panas semalam.
"Senja!" teriak Davian tiba-tiba, mencari sosok mungil yang belakangan ini telah menghangatkan ranjangnya itu.
Tidak ada sahutan apapun membuat dahi Davian menekuk, pria itu mengambil bajunya lalu memakainya. Ia ingin mencari Senja tapi niatnya diurungkan tatkala melihat selembar kertas yang ditempel di meja rias. Ia mengambilnya.
Halo selamat pagi, jika kamu membaca surat ini artinya kamu sudah bangun.
Sebelumnya aku minta maaf karena tidak membangunkanmu, aku melihatmu masih tidur pulas. Sekali lagi maaf Pak suami karena tidak menunggumu bangun.
Aku hanya ingin mengingatkan, jangan lupa sarapan ya. Aku sudah masak dan membuatkanmu teh, mungkin saat kamu meminumnya sudah dingin. Baju kerjamu sudah aku siapkan untuk beberapa hari ke depan. Baik-baik di rumah.
Form Your Wife
Senja.
"Cih!" Davian berdecih setelah membaca surat itu. Raut wajahnya seketika langsung masam begitu saja.
"Dia memang tidak punya sopan santun. Apa orang tuanya tidak mengatakan kalau harus menunggu izin suami jika ingin pergi? Mengesalkan!" gerutu Davian tak senang tentunya, ia pikir setelah semalam ia mengajak Senja bercinta sampai lelah, wanita itu akan kecapekan dan tidak bangun saat pagi. Namun, nyatanya Senja masih tetap saja pergi.
"Dia pikir aku peduli dengan surat ini? Cih, tidak akan," tukas Davian melempar surat itu dengan asal lalu masuk ke kamar mandi.
Davian dibesarkan menjadi anak tunggal yang semua permintaannya selalu dituruti. Hidupnya suka bergantung kepada orang lain sehingga ketika Senja pergi ia cukup kebingungan mencari benda-benda yang biasa dia pakai.
"Dimana dia meletakkannya? Argh sial, ini sudah siang," gumam Davian kebingungan saat mencari jam tangan yang biasa ia pakai. Davian lalu membuka walk in closet miliknya, disana ada lagi surat yang ditempel disisi lemari dan segera ia ambil.
Jam tanganmu aku simpan dilaci lemari pakaian kerja. Dasinya ada disebelah kiri, jika kamu mencarinya.
Davian mengangkat alisnya, ia segera membuka lemari yang ditunjuk Senja dan ternyata dia menemukan jam tangan serta dasinya disana.
"Kenapa dia bisa tahu?" gumam Davian cukup terkejut karena Senja ternyata paham betul kebiasaannya setiap pagi.
Mengabaikan tentang hal itu, Davian bergegas memakai bajunya lalu segera berangkat ke kantor. Ia berjalan melewati ruang tengah yang terhubung dengan dapur, disana ia melihat makanan yang sudah siap di meja dengan teh yang sudah dingin. Ia menghentikan langkahnya lalu berjalan menuju meja makan, dan lagi-lagi ia menemukan sepucuk surat yang Senja tulis.
Selamat pagi pak suami, menunya sederhana dan mungkin sudah dingin. Jika memang tidak sempat makan, bawalah kotak bekalnya. Selamat bekerja pak suami ...
"Dasar wanita itu." Bibir Davian tanpa sadar tersenyum tatkala membaca surat yang Senja tulis. Wanita itu memang pergi, tapi ternyata masih mempedulikan apa yang ia butuhkan.
Baiklah, satu lagi dan jangan bosan ya, Pak suami. Kunci mobilmu ada dilaci lemari depan, jangan lupa! Semangat kerjanya.
"Dia ini, kenapa bisa seperti ini?" ucap Davian benar-benar tidak bisa berhenti mengulas senyumnya. Hanya sebuah surat yang tidak bermakna, tapi entah kenapa membuat ia merasakan getaran yang aneh dalam hatinya.
Bahkan saat ini rasanya Davian ingin melihat wajah Senja, teringat senyum manis wanita itu ketika menyambutnya. Wajah tulus yang selalu terukir dan tidak pernah sedikitpun memandangnya penuh kebencian meskipun telah ia sakiti berkali-kali. Apakah ini yang dinamakan rindu?
"Rindu?"
Davian menggelengkan kepalanya, sepertinya ia terlalu memikirkan Senja hingga semua hal yang ada diotaknya hanya tentang Senja.
"Aku hanya terlalu memikirkannya, cih mana mungkin aku merindukannya," gumam Davian menyangkal sendiri apa yang hatinya ucapkan. Ia bergegas pergi ke kantor untuk mengusir bayangan Senja yang hadir di pelupuk mata.
***
Hari kedua Senja di Singapura, Davian sudah mulai uring-uringan. Merasa kesal entah karena apa sehingga semua hal yang dilakukan tidak sesuai keinginannya serba salah. Roy dikantor yang jadi bahan amukan Davian karena rasa marah yang entah kenapa.
"Bodoh! Semua tidak ada yang benar, aku tidak mau tahu, jika sampai selisih angka itu tidak ketemu, aku tidak akan membiarkan kalian semua pulang malam ini," maki Davian seraya membanting berkas yang baru saja ia cek ke meja meeting yang disekelilingnya dipenuhi beberapa karyawan kantornya.
Davian lalu pergi ke ruangannya dan melepaskan dasinya yang mencekik leher. Pria itu merasa gerah dan entah kenapa benar-benar sangat kesal.
"Roy, buatkan aku minum," titah Davian dengan nada kasar.
"Siap, Tuan."
Tidak sampai 10 menit Roy kembali dengan membawakan teh Machalate kesukaan Davian lalu meletakkannya dengan sangat hati-hati.
"Teh macha kesukaan, Tuan Davian," ujar Roy.
Davian mengambilnya lalu meminumnya, tapi begitu rasa teh itu terasa di lidahnya ia langsung menyemburkannya.
"Teh apa ini? Kalian becus membuat teh tidak, ha?" bentak Davian marah.
"Maaf, Tuan. Itu teh seperti yang Anda minum setiap hari," jelas Roy dengan nada takut.
"Jadi maksudmu aku mengada-ada? Teh ini tidak enak, Roy. Buang dan buatkan lagi yang baru, rasanya harus persis seperti yang istriku buat," ujar Davian.
"Teh buatan istri, Anda? Seperti apa rasanya, Tuan?" tanya Roy kebingungan.
"Tentu saja enak, bukan seperti teh rasa air comberan yang kau buat itu," sergah Davian.
Roy menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, benar-benar bingung dengan apa yang Davian inginkan itu.
"Tuan maaf, jika saya boleh saran, lebih baik Anda hubungi saja istri Anda. Tuan mungkin merindukannya," ucap Roy tapi sedetik kemudian ia menyesali apa yang telah ia katakan.
"Apa katamu, rindu? Cih, tidak akan pernah, Roy! Kamu pikir aku gila bisa rindu dengan wanita licik itu?" seru Davian melotot kesal.
"Saya hanya menyarankan, Tuan. Kalau Anda memang tidak rindu ya sudah," ucap Roy.
"Aku bilang tidak rindu, Roy! Kamu lama-lama makin kurang ajar, enyah dari hadapanku!" bentak Davian membantah keras tuduhan itu.
"Tidak jadi meminta teh seperti buatan istri Anda?"
"Tidak usah! Kalian tidak akan bisa membuatkannya seperti buatan istriku," tukas Davian.
"Tuan sepertinya sudah sangat mencintai Nona Senja ya," celetuk Roy.
"Mati saja kau, Roy!" maki Davian mengeram kesal, tanpa peringatan apapun pria itu melempar sebuah bolpoin kepada Roy, untung saja pria itu sempat mengelak.
"Saya hanya bercanda, Tuan. Saya minta maaf, saya akan pergi," ujar Roy segera berlari terbirit-b***t meninggalkan ruangan Davian.
Davian mendengus kesal, rasanya sangat aneh mendengar ucapan Roy barusan. Tapi Davian sadar memang dua hari ini tanpa Senja membuat ia kesal entah karena apa. Semua hal seolah serba salah meski sudah sudah sesuai.
"Apa benar aku merindukannya?" gumam Davian pada dirinya sendiri.
Davian lalu mengambil ponselnya, ia melihat nama Mamanya disana. Ia tentu tdiak mungkin menghubungi Senja, karena ia tidak punya nomor wanita itu. Ia pun akhirnya memutuskan untuk menghubungi Mamanya.
"Halo, Davian? Ada apa?" sahut Renata diseberang sana.
"Halo, Mama!" Davian hampir saja berteriak senang begitu panggilan tersambung.
"Ada apa kamu menelepon?" tanya Renata.
"Ah itu, aku hanya ingin tahu kabar Mama. Bagaimana disana? Apakah menyenangkan? Apa wanita itu menemani Mama dengan benar?" ucap Davian berpura-pura bertanya hal yang cukup masuk akal, padahal sebenarnya bukan itu yang ingin ia tanyakan.
"Wanita itu siapa maksud kamu?"
"Siapa lagi kalau bukan dia? Mama jangan sampai membuang uang percuma dengan mengajaknya berjalan-jalan tapi tidak melakukan apapun, dia harus menjaga Mama," kata Davian asal.
"Senja maksud kamu?"
"Hemm ..." Davian menyahut malas meski sebenarnya bibirnya mengulas senyum tipis.
"Kenapa kamu berkata seperti itu tentang istri kamu? Dia itu wanita baik, Davian. Mama mengajaknya kesini atas keinginan Mama dan Mama merasa dia pantas. Kenapa kamu masih begitu membencinya?" tutur Renata.
"Kenapa aku harus tidak membencinya? Gara-gara dia aku dan Jenny harus putus, dan asal Mama tahu, dia itu tidak-"
"Tidak apa? Tidak hamil anak kamu? Sekarang Mama bertanya, bagaimana kalau Senja benar-benar hamil anak kamu?"
Bersambung.