Bab 8. Malam Hangat

1125 Kata
Davian bergegas menuju tempat dimana suara itu berasal. Semua orang panik sekali tatkala melihat Ammar yang tadi sempat berbicara justru terlihat terbatuk dan muntah darah. "Kita bawa ke rumah sakit sekarang," kata Davian tanpa menunggu waktu lama lagi, pria itu bergegas membantu Ayah mertuanya untuk dibawa pergi. "Tidak usah." Ammar menolak. "Ayah baik-baik saja, hal seperti ini sudah biasa bagi Ayah," ucapnya dengan hembusan napas berat. "Ayah tidak baik-baik saja, ayo kita ke rumah sakit," ucap Senja tak henti menangis melihat kondisi Ayahnya yang kian memburuk. "Benar, Om harus dibawa ke rumah sakit," imbuh Davian tak tega juga melihat wajah Ammar yang pucat pasi. Ammar justru tersenyum tipis. "Panggil Ayah, Nak Davian. Kamu sudah Ayah anggap seperti anak Ayah sendiri," kata Ammar. Davian mengatupkan bibirnya, rasanya sangat aneh memanggil orang yang baru ia kenal dengan sebutan Ayah, tapi ia tidak mengatakan apapun. "Ayah, ayo ke rumah sakit. Ayah harus diperiksa dokter," ujar Senja meraih tangan Ammar. "Ayah benar-benar tidak apa-apa, kamu ajaklah suamimu beristirahat. Kalian menginap disini 'kan?" Ammar menatap putri dan menantunya bergantian. Senja terdiam sesaat, ia melirik Davian yang hanya diam saja. "Senja akan menginap ta-" "Ya kami menginap, Om. Maksudku Ayah," tukas Davian sedikit memberikan lirikan tajam kepada Senja agar wanita itu tidak bersikap ceroboh. "Dia mau menginap disini?" batin Senja begitu terkejut dengan perkataan Davian. "Baiklah, melihat kalian bersama seperti ini sudah lebih cukup bagi Ayah," kata Ammar sedikit tersenyum dibalik wajahnya yang renta. "Senja, bersihkanlah kamarmu. Buat suamimu nyaman disini, rumah ini juga rumahnya sekarang," titah Ammar kepada putrinya. "Iya, Ayah." Senja menurut saja tanpa memporotes, meksipun masih khawatir dengan kondisi Ayahnya yang tiba-tiba muntah darah, tapi wanita itu tidak bisa memaksa Ayahnya karena hal itu tetap akan percuma saja. Sepeninggal Senja, Davian hendak ikut menyusul tapi Ammar ternyata memanggilnya dan memintanya untuk duduk bersama di dalam kamar. "Bagaimana kabarmu?" tanya Ammar jelas basa-basi. "Baik," sahut Davian singkat, terlalu bingung harus bersikap bagaimana. "Senja itu anaknya memang sangat ceroboh dan kurang berhati-hati. Jangan ragu untuk menegurnya jika punya kesalahan, tapi, Nak. Bolehkah Ayah meminta sesuatu padamu?" ucap Ammar perlahan-lahan. "Meminta apa, Ayah?" "Tolong jaga, Senja. Sayangi dia seperti Ayah menyayanginya. Jika suatu saat nanti perasaanmu sudah berubah, tolong jangan sakiti dia, katakan saja pada Ayah. Ayah akan menjemputnya pulang," kata Ammar dengan air mata yang menggenang di sudut matanya. Davian cukup terkejut dengan perkataan itu, hatinya entah kenapa seperti dihantam perasaan yang sangat menyesakkan. Senja begitu disayangi Ayahnya, tapi justru ia memperlakukan Senja layaknya barang yang tidak punya perasaan. "Kamu bisa berjanji pada Ayah kan, Nak?" Ammar tiba-tiba saja menyentuh tangan Davian perlahan. "Ya," sahut Davian singkat saja, tidak berani berjanji karena ia yakin tak akan bisa mencintai wanita yang telah menghancurkan masa depan serta hubungannya hanya karena obsesi semata. "Sudah jangan terus mengajak mengobrol menantumu, biarkan dia beristirahat," tukas Ibu Senja yang sejak tadi diam menyimak perkataan suaminya dari balik pintu kamar. "Nak Davian, istirahatlah. Ibu sudah membuatkan teh hangat untukmu," sambungnya lagi. Davian mengangguk singkat dan langsung berdiri. Ia terlalu kaku dan bingung harus bersikap bagaimana sehingga ia pun langsung pergi begitu saja. Ia sempat mendengar ibu Senja mengomeli Ammar karena pria itu tidak mau dibawa ke rumah sakit, setelah itu Davian tidak mendengar apapun lagi. Pandangan Davian lalu beralih ke pintu kamar depan yang berada didekat ruang tamu. Bisa dipastikan itu adalah kamar Senja sehingga ia langsung saja pergi kesana. Ia juga langsung masuk ke dalam tanpa mengetuk pintunya terlebih dulu. "Davian?" Senja cukup terkejut dengan kedatangan suaminya yang sangat tiba-tiba itu, untung saja ia sudah mengganti bajunya dengan pakaian biasa. "Ini kamarmu?" Davian bertanya seraya menelisik keseluruhan isi kamar Senja yang tertata sangat rapi meksi hanya sederhana. "Ya, maaf disini sangat kecil. Nanti kamu bisa tidur di ranjang, aku sudah membersihkannya," ujar Senja. "Ranjang?" Davian mengangkat alisnya, ranjang yang dimaksud Senja hanyalah ranjang kecil sekali, Davian tak yakin bisa tidur disana. "Maaf, tapi kamu bisa tidur disini untuk sementara, Davian. Atau mungkin kamu ingin pulang saja tidak apa-apa, aku akan menjelaskannya pada Ayah nanti," kata Senja sedikit meringis melihat ekspresi wajah Davian yang kurang nyaman. Davian mendengus kecil, pria itu segera membuka jas serta kemejanya karena disana cukup panas sekali. "Kamar apa ini? Panas, sempit," cemooh Davian. "Maaf Davian." "Kenapa kamu selalu meminta maaf seperti itu?" tukas Davian melirik Senja sinis. Senja mengerjapkan matanya, tidak berani menatap mata suaminya yang entah kenapa selalu membuatnya takut. "Maaf," kata Senja. "Ck, sekali lagi kamu mengatakan maaf, aku akan benar-benar menghukummu," sergah Davian panas lama-lama telinganya mendengar kata maaf yang sering Senja katakan. "Maaf." Senja yang bingung justru reflek mengatakan maaf kembali. "Oh, aku tahu. Kamu sengaja melakukan ini 'kan?" kata Davian menyeringai licik. "Bukan bukan, maksudku aku- Davian!" Senja belum sempat menyelesaikan ucapannya tapi Davian justru menarik tangannya tiba-tiba hingga ia terduduk dipangkuan pria itu. "Davian?" Jantung Senja berdetak sangat kencang, posisinya saat ini benar-benar dekat sekali dengan Davian, ia bisa melihat jelas wajah sempurna sang suami yang selalu menggetarkan hatinya itu. "Kenapa kamu tidak bilang saja?" bisik Davian masih dengan seringai liciknya. "Bi-lang apa?" tanya Senja tak mengerti. Davian tersenyum tipis, pria itu mendekatkan wajahnya hingga bibirnya menyentuh pelipis Senja. "Bilang kalau kamu juga menginginkannya, Senja." Davian berbisik lirih. "Aku tidak mengerti maksudmu, lepaskan aku, Davian. Aku harus melihat Ayah." Alarm panik seketika langsung berbunyi diotak Senja. "Benarkah?" Bukannya melepaskan istrinya, Davian justru sengaja bermain-main dengan memijat lembut punggung Senja. "Ya, ini sudah malam, kita juga sudah melakukannya tadi," kata Senja polos saja membuat Davian tak kuasa menahan senyumnya. Benar-benar gemas melihat ekspresi Senja ini, tampak takut tapi sangat polos dan begitu menggoda. "Bukannya kamu senang jika aku melakukannya?" bisik Davian kian menggoda Senja. Pria itu tentu paham betul bagaimana respon tubuh Senja setiap mereka berhubungan. "Ha? Tidak tidak, aku tidak menyukainya," bantah Senja merasa malu. "Dasar Davian, kenapa harus membahas hal itu secara terang-terangan seperti itu?" "Jika kamu memang tidak menyukainya, kamu akan menolak saat aku menyentuhmu. Tapi nyatanya tidak, tubuhmu merespon meski bibirmu mengatakan tidak. Terkadang tubuhmu memang lebih jujur dari bibirmu, Senja." Davian mencium lembut pipi Senja lalu beralih ke telinga wanita itu, menjilatinya dengan gerakan menggoda yang mengasikan. Senja mengigit bibirnya, wanita itu memberanikan diri melihat wajah Davian hingga kedua mata mereka bersatu. Entah siapa yang memulai, beberapa saat kemudian bibir mereka sudah menyatu dengan tangan yang saling berpelukan. Ciuman lembut penuh perasaan yang mengantarkan kedua insan kepada peleburan cinta yang mendebarkan. Tanpa untaian kata cinta, namun terasa sangat luar biasa, benar-benar malam yang hangat dan berbeda dari biasanya. "Aku mencintaimu, Davian." Sesaat sebelum mencapai puncak kenikmatan, Davian seperti Senja mengatakan sesuatu, tapi pria itu tidak menghiraukannya karena larut dalam peleburan cinta yang membara. Satu hal yang Davian ingat, ia selalu suka dan puas setiap selesai melakukannya dengan Senja. "Ini aneh, aku tidak mempunyai perasaan apapun padanya. Tapi kenapa aku merasa nyaman?" Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN