Selasa (09.49), 20 April 2021
---------------------
“Tadi kakakmu datang ke sini.” Juan tiba-tiba berkata saat Rezka baru saja duduk dibalik meja yang memang disediakan khusus untuknya di depan ruangan Juan.
Tidak seperti dugaan para penduduk dan bahkan Risma sendiri, Rezka tidak dipekerjakan sebagai kuli bangunan. Pekerjaannya adalah membantu tugas Delon sebagai asisten Juan. Tentu saja cukup rumit. Namun Juan sendiri mengagumi kecepatan Rezka beradaptasi. Hanya dalam waktu satu minggu dia sudah bisa dilepas untuk menghandle beberapa pekerjaan sederhana yang sebelumnya dikerjakan sendiri oleh Delon.
“Kak Risma?” Rezka memastikan.
“Memangnya kau punya berapa Kakak?”
Rezka nyengir malu. “Untuk apa Kak Risma ke sini? Kakak tidak memberitahu bahwa aku bekerja di sini, kan?” Raut wajah Rezka berubah cemas.
“Kedatangannya malah untuk mengomeliku karena aku mempekerjakanmu. Menurutnya aku sangat tega dan bla…bla…bla…” Juan membuat gerakan kelima jarinya membuka lalu menutup untuk menggambarkan betapa cerewetnya Risma.
Rezka meringis. “Lalu apa yang Kakak katakan?”
“Tentu saja kenyataannya.”
Kakak pasti akan melarang dirinya bekerja, pikir Rezka. Sekarang pasti Kak Risma sudah mengadukan hal ini pada orang tua mereka untuk mencari dukungan. Padahal dirinya mulai menyukai pekerjaan ini dan Juan juga sangat murah hati untuk urusan gaji.
“Kenapa wajahmu jadi muram begitu?”
“Mereka pasti akan melarangku bekerja, Kak.”
“Sepertinya tidak.” Bayangan Risma dengan air mata menggenang memenuhi benak Juan.
“Bagaimana Kakak bisa yakin? Apa Kakak mengatakan sesuatu untuk meyakinkan Kak Risma?” tatapan Rezka tampak penuh harap.
“Yah, bisa dibilang begitu.” Juan angkat bahu.
Seketika binar di mata Rezka tampak cerah. “Semoga Kak Risma memahami penjelasan Kak Juan.”
Juan tersenyum kecil. “Sepertinya itu cukup sulit. Kakakmu kepala batu.”
“Kak Risma dulu tidak seperti itu.” Kini wajah Rezka tampak sedih. “Dia berubah sejak penipu itu melarikan diri dan membuat Kak Risma yang menanggung dosanya.”
Juan yang sejak tadi memilih berdiri memutuskan duduk di depan meja kerja Rezka. Rasa penasaran menggelitik benaknya. “Apa maksudmu dengan ‘menanggung dosanya’?”
“Yah, Keshawn melarikan diri sementara Kak Risma di sini menjadi tempat pelampiasan amarah para penduduk.”
“Kenapa bisa begitu?” desak Juan, semakin penasaran.
“Karena Kak Risma adalah tunangan Keshawn. Jadi semua orang menyalahkan dirinya. Dia bahkan dipecat dengan diiringi caci-maki dari rumah makan tempatnya bekerja karena si pemilik rumah makan juga kehilangan tanahnya akibat ulah Keshawn. Dan sampai sekarang, tidak ada seorang pun yang bersedia memberi Kak Risma pekerjaan.”
Kini Juan mengerti mengapa Risma terus-menerus menyalahkan dirinya. Wanita itu mencari kambing hitam untuk mengalihkan perhatian para penduduk darinya.
“Jadi itu sebabnya dia terus-menerus menyalahkanku.”
“Kak Risma tidak bermaksud begitu. Tapi saat ini dia tidak mau mendengarkan orang lain selain gunjingan para penduduk.” Rezka mendesah.
“Sudahlah, tidak ada gunanya memikirkan wanita pemarah itu sekarang.” Juan berdiri. “Aku harus—”
“KAKAK!!”
Juan mematung dengan kening berkerut. Suara itu terdengar sangat familiar. Belum sempat otak Juan yang mendadak jadi lambat bisa membayangkan wajah yang cocok dengan suara itu, sesosok wanita dengan tas beroda yang ditarik dengan satu tangan, muncul diikuti Delon dengan raut bersalahnya.
“Kakak, aku mencari-cari dari tadi. Memangnya Kakak tidak dengar teriakanku?” nada Jessie terdengar merajuk.
Juan terbelalak. “Sedang apa kau di sini?!”
“Yah, perjalanannya sangat menyenangkan. Terima kasih sudah bertanya.” Jessie mencium pipi Juan sekilas lalu menoleh ke arah lelaki yang duduk di balik meja. “Wow, aku tidak tahu kalau Kakak punya pegawai yang cute seperti ini. Seharusnya Kakak memberitahuku.”
Kesal, Juan memegang kerah belakang blus yang dikenakan Jessie lalu menariknya ke dalam ruangannya sementara Rezka hanya bisa melongo melihat hal itu.
“Ih, Kakak kasar sekali pada wanita.” Jessie memukul keras tangan Juan yang masih menariknya.
Setelah memastikan pintu tertutup rapat, kali ini Juan menarik daun telinga Jessie lalu mendudukkan wanita itu di sofa.
“Sakit!” seru Jessie sambil menggosok daun telinganya.
Juan berkacak pinggang, membuat tubuhnya tampak sangat jangkung saat dilihat dari posisi Jessie duduk. “Kau belum jawab pertanyaan Kakak, sedang apa di sini?”
“Aku akan menghabiskan masa liburku di sini.”
“Kau bercanda?” Juan melotot.
“Tentu saja tidak. Aku bosan di rumah dan teman-temanku sudah punya acara sendiri dengan keluarganya. Hanya aku yang tidak karena orang tua dan kakakku sibuk bekerja.” Jessie menampilkan raut sedih yang Juan tahu hanya pura-pura.
“Jess, kakak di sini bukan untuk berlibur. Ada sengketa lahan yang terjadi di pulau ini. Para penduduk memusuhi Kakak. Bahkan seminggu lalu, ada kejadian pelemparan batu di rumah tempat Kakak menginap.”
Jessie ternganga lalu perhatiannya tertuju pada plester kecil di kening Juan. “Apa luka di kening Kakak akibat insiden itu?” Jessie menarik lengan Juan hingga lelaki itu duduk di sebelahnya. Wajahnya tampak cemas. Dia tidak tahu bahwa masalah di sini ternyata lebih buruk dari yang dia kira.
“Luka ini kakak dapat saat baru saja turun dari kapal.” Juan meringis mengingat kejadian itu karena benaknya tiba-tiba dipenuhi wajah garang Risma.
“Parah?”
“Hanya dua jahitan.”
“Sampai dijahit?” wajah Jessie berubah marah. “Kakak sudah membalas pelakunya, kan?”
“Dia dipenjara.” Hanya itu yang Juan katakan agar Jessie tidak memperpanjang masalah.
“Baguslah.” Dengan sikap manja, Jessie memeluk pinggang Juan lalu merebahkan kepalanya di lekukan leher kakaknya itu. “Maaf karena Jessie tidak mendengarkan kakak dan tetap datang.”
Juan menghela napas. Kalau adiknya sudah bersikap seperti ini, dia jadi tidak tega memarahinya. “Apa Mama dan Papa tahu kau ke sini?”
“Tidak. Jessie bilang hendak berlibur bersama Hannah.”
“Kau ini. Kalau mereka tahu, mereka pasti cemas. Apalagi jika mendengar insiden yang terjadi di sini.”
“Kalau begitu jangan beritahu.” Jessie nyengir.
“Ya, Kakak tidak akan memberitahu mereka. Tapi besok pagi kau sudah harus meninggalkan pulau ini.”
Jessie melepaskan pelukannya di pinggang Juan lalu menampilkan tatapan memohon. “Aku sudah terlanjur di sini, Kak. Biarkan aku tinggal setidaknya untuk satu minggu.”
Juan melotot. “Kakak pikir kau sudah paham situasi di sini.”
“Ya, tentu saja. Tapi bukan berarti aku akan langsung kabur seperti pengecut.”
“Ini bukan tentang—”
“Kakak, aku akan baik-baik saja. Aku janji.” Jessie menggenggam salah satu tangan Juan erat, meyakinkan sang Kakak bahwa dia akan memegang janjinya.
“Jessie…”
“Please.”
Juan menghembuskan napas kesal. “Kalaupun kau boleh tetap di sini, tidak ada tempat tinggal untukmu. Kamar yang sekarang Kakak tempati hanya berupa gubuk. Bahkan beberapa hari ini Kakak tidur di ruangan ini sejak Delon menambahkan sofa.”
“Para pekerja tidur di mana?”
Juan melotot. “Kau mau tidur di mes para pekerja?”
Jessie meringis. “Memangnya tidak ada tempat menginap di pulau ini?”
“Kau tidak dengar ucapan Kakak?” lagi-lagi Juan menarik telinga Jessie hingga sang adik meringis sakit. “Para penduduk memusuhi Kakak. Atau bisa dibilang memusuhi orang-orang dari Keegan Corp. Memangnya kau mau mereka berbuat buruk padamu demi bisa mengusir kakak dari sini?”
Jessie menggeleng.
“Kalau begitu tidak ada bantahan.”
Kali ini Jessie terdiam dengan wajah tertunduk, menatap kedua tangannya di pangkuan.
“Tidak perlu pura-pura sedih begitu. Kakak kan sudah janji akan membawamu ke sini begitu pembangunan resortnya selesai.”
“Bukankah dua minggu lagi hari ulang tahun Kirana? Kakak tidak merayakannya seperti biasa?”
Kening Juan berkerut mendengar pertanyaan yang tidak terduga itu. “Bagaimana kau tahu? Dan tidak biasanya kau peduli tentang Kirana.”
Tiba-tiba Jessie mendongak menatap Juan dengan mata basah. “Ya, benar. Aku sama sekali tidak peduli padanya. Aku ingat karena hari ulang tahunku tepat satu minggu sebelum hari ulang tahunnya dan saat itu Kakak terlalu sibuk mencari hadiah untuk Kirana hingga lupa sekedar mengucap selamat padaku.” Tanpa menunggu tanggapan Juan, Jessie berdiri lalu berlari keluar. Bahkan dia meninggalkan kopernya begitu saja.
Selama beberapa detik, Juan masih terpaku di tempat. Dia benar-benar tidak menyadari hal itu. Memang selama ini hidupnya hanya dipenuhi bekerja dan Kirana. Atau datang ke pesta-pesta kecil yang diadakan keluarga besarnya. Sial! Dirinya bahkan benar-benar tidak ingat bahwa ulang tahun Jessie sangat dekat dengan ulang tahun Kirana.
“Jess!” Buru-buru Juan berdiri lalu keluar ruangan. Dia mengabaikan Rezka yang menatapnya dengan tatapan bingung.
Melihat Juan melewati dirinya lalu bergegas keluar dari ruangan kecil yang dijadikan kantor mereka, bingung dan cemas semakin melingkupi hati Rezka. Bagaimana tidak? Wanita cantik yang tadi diseret Juan ke dalam ruangannya saat ini sedang bersembunyi di dekat kaki Rezka, terhalang oleh meja besarnya. Bahkan wanita itu menangis tertahan dengan kedua lutut ditekuk dan kepalanya dibenamkan di antara lengannya yang terlipat di atas lutut.
Duh, apa yang harus dirinya lakukan sekarang?
***
Risma berjalan ragu menuju bangunan kecil yang dijadikan kantor di area pembangunan resort milik Keegan Corp. Dia berniat meminta maaf. Dan jika beruntung melakukan genjatan senjata. Sudah saat dirinya bersikap adil pada Juan. Menghentikan tuduhan tak berdasarnya dan mengarahkan kesalahan pada orang yang memang bersalah.
Langkah Risma membeku saat dilihatnya Juan keluar dari bangunan kecil itu dengan terburu-buru dan raut gusar. Hal itu membuat Risma berpikir ulang untuk menyampaikan maksud kedatangannya.
“Eh, hai—”
“Apa kau lihat seorang wanita di sekitar sini?”
“Aku?” refleks Risma bertanya.
Juan berdecak. “Aku tidak tahu bahwa kau wanita.”
Risma merengut.
“Sungguh, aku tidak sedang ingin bercanda. Seorang wanita, dengan rok selutut warna peach, baju tanpa lengan, rambut digerai, berjalan—ah, berlari di sekitar sini.”
Kening Risma berkerut. “Kekasihmu?”
Juan melotot. “Kalaupun iya, memangnya kenapa? Itu bukan urusanmu! Kau hanya perlu menjawab pertanyaanku.”
Risma menghela napas. Sabar. Memang dirinya yang salah. “Tidak, aku tidak melihat siapa-siapa di sekitar sini selain kau.”
“Sial! Ke mana dia pergi?” Juan mengalihkan perhatian ke sekelilingnya. Hanya ada para pekerja dan bahan material sejauh mata memandang.
“Memangnya kenapa dia lari? Apa dia mencuri sesuatu?” tanya Risma penasaran.
“Daripada kau banyak tanya, lebih baik bantu aku mencarinya.”
Refleks Juan menggenggam jemari Risma lalu menarik wanita itu agar mengikutinya. Risma terbelalak, tidak bisa mengelak saat Juan menyeretnya ke sana-kemari, hingga akhirnya mereka lelah lalu berhenti, beberapa meter di luar area pembangunan resort.
“Sebenarnya siapa yang kau cari?” Risma terengah, lalu dengan halus menarik tangannya.
Saat itulah Juan menyadari bahwa sedari tadi dia tengah menggenggam jemari Risma. Buru-buru Juan menjauhkan tangannya. “Dia adikku. Jessica Keegan.”
Itu informasi baru. Selama ini Risma sudah banyak mendengar tentang Juan Keegan dari gosip para penduduk. Tapi baru sekarang dia tahu bahwa Juan memiliki seorang adik perempuan.
“Kenapa dia kabur?”
Juan mendesah. “Dia ingin berlibur di Pulau ini tapi aku memaksanya pulang. Jadi dia berlari keluar ruanganku sambil menangis.”
“Pantas saja. Memang apa salahnya berlibur di sini? Pulau Shelee punya keindahan alam yang tak kalah menarik dari tempat wisata di luar sana.” Ada nada tersinggung yang terselip dalam tiap kalimat Risma.
Juan menoleh menghadap Risma lalu berkacak pinggang. “Apa kau lupa dengan ini?” Juan menunjuk keningnya yang masih dibalut plester. “Dan kejadian di rumahmu juga. Yang kupikirkan hanya keselamatan adikku. Kalau otakmu hanya terus berpikiran negatif tentangku, lebih baik kau jauh-jauh saja dariku.”
Kesal, Juan hendak berbalik meninggalkan Risma tapi buru-buru Risma menarik tangan Juan, membuat lelaki itu kembali menoleh.
“Maaf,” gumam Risma pelan.
Seketika, ingatan Juan melayang kembali ke kejadian seminggu lalu. Saat Risma memaksa minta maaf padanya. “Jangan mulai, Risma. Kau pasti juga tidak suka kejadian seminggu lalu kembali terulang.” Suara Juan berubah serak.
Wajah Risma memerah. Buru-buru dia menarik kedua tangannya yang langsung saling mengait di belakang tubuh. Sungguh, dia juga tidak bisa melupakan kejadian malam itu. Apalagi Juan melakukannya dalam keadaan sadar, tidak seperti sebelumnya.
Melihat Risma yang tampak malu membuat Juan sangat gemas. Nyaris saja dia hilang kendali dan hendak mengulang kesalahan minggu lalu.
“Sebaiknya aku kembali ke kantorku. Mungkin Jessie juga sudah kembali ke sana.”
“Juan.”
Lagi-lagi langkah Juan terhenti saat mendengar suara lembut Risma memanggilnya.
“Aku sudah terlalu lama menyalahkan Keegan Corp. atas masalah yang menimpa para penduduk. Karena itu sangat sulit bagiku untuk tidak berpikiran negatif tentangmu. Tapi—sekarang aku sungguh merasa malu karena kau masih tetap bersikap biasa padaku padahal aku sudah menghinamu entah berapa kali.” Risma menghela napas sejenak. “Boleh aku minta jawaban jujur? Apa kau tidak merasa dendam atas sikapku?”
Perlahan Juan berbalik lalu menatap Risma intens. “Sama sekali tidak dendam. Marah dan tersinggung tentunya saat kau menuduhku macam-macam. Tapi bukan dendam karena setelahnya aku merasa iba. Kau dan para penduduk hanya mencari seseorang untuk melampiaskan amarah kalian karena tidak bisa melakukan hal itu pada orang yang sebenarnya. Dan aku lebih merasa iba lagi padamu setelah tahu bahwa Keshawn ternyata tunanganmu.”
Risma terbelalak. Tidak menyangka bahwa Juan tahu hal itu. Tapi kenapa harus kaget? Masalah ini sudah jadi rahasia umum di Pulau Shelee. “Dalam situasi lain, aku akan marah jika ada seseorang yang iba padaku. Aku tidak suka dikasihani. Tapi saat ini, aku memang menyedihkan. Karena itu aku tidak bisa melakukan apapun selain menerima.”
“Baguslah.” Mendadak Juan mengulurkan tangan. “Apa sekarang kita berteman?”
Risma mematung, menatap bergantian antara tangan Juan yang terulur dan wajah lelaki itu. “Kau masih mau berteman denganku?”
“Kenapa tidak?”
“Yah, setelah—”
Tanpa menunggu Risma menyelesaikan kalimatnya, Juan menyambar jemari wanita itu dan memaksa berjabat tangan. “Nah, sekarang kita berteman. Dan tugas pertamamu sebagai temanku adalah mencari keberadaan adikku.”
Risma merengut. “Kau menganggapku temanmu atau pegawaimu?”
“Dua-duanya.” Kali ini Juan berbalik dan benar-benar melangkah meninggalkan Risma. “Ayo cepat cari sebelum anak bandel itu melakukan perbuatan konyol.”
Selama dua detik, Risma masih diam memperhatikan punggung tegap Juan yang menjauh. Lalu perlahan, senyum di bibirnya timbul.
Ternyata penilaian para penduduk Pulau Shelee tentang seorang Juan Keegan meleset jauh. Juan bukanlah seorang lelaki dingin tak berperasaan yang hanya mementingkan kekayaan pribadi. Dia lelaki hangat yang penuh perhatian. Risma beruntung menjadi orang yang saat ini dianggap Juan sebagai temannya.
“Risma! Sampai kapan kau mau berjemur di situ?”
“Eh, ya. Tunggu sebentar!” Risma buru-buru mengikuti Juan. Dalam hati dia hanya berharap bahwa pilihannya kali ini untuk berteman dengan Juan tidak salah. Tidak seperti saat dia memilih menerima pinangan Keshawn Trumble.
----------------------
♥ Aya Emily ♥