Lima

2189 Kata
Selasa (09.43), 20 April 2021 ---------------------- Acara sarapan berlangsung hening. Juan bungkam dan mengutuki diri sendiri karena kesalahannya tadi. Bagaimana bisa dia mengira Risma adalah Kirana hingga menciumnya? Sepertinya jauh dari Kirana adalah ide buruk. Sementara itu Risma juga memilih tidak bersuara. Kejadian tadi di kamar Rezka belum bisa ia hapus dari ingatan. Bahkan Risma tidak bisa mencegah otaknya untuk membandingkan ciuman Juan dengan ciuman Keshawn. Demi Tuhan, Risma! Lupakan! Yang tadi itu bahkan tidak bisa disebut ciuman. Juan masih dalam kondisi setengah sadar. Dan apa katanya tadi? Dia menyebut—Kirana? Apa yang lebih menyedihkan dari kenyataan lelaki yang menciummu sedang membayangkan tengah mencium wanita lain? Grrrr!! Rasanya Risma ingin berdiri lalu mencakar wajah Juan. Ya, seharusnya itu yang dia lakukan tadi alih-alih malah melesat keluar kamar lalu mengurung diri dalam kamar mandi. “Maaf makanannya hanya seperti ini.” Pak Almo berbicara, memecah keheningan yang tidak mengenakkan di meja makan. “Kenapa minta maaf, Pak?” Juan bertanya dengan raut datarnya namun lekukan kecil di sudut bibir membuat wajahnya tampak sedikit bersahabat. “Saya malah yang seharusnya berterima kasih karena diizinkan tinggal.” “Siapa yang memberimu izin? Kau memaksa. Atau perlu kusebut memeras?” tanya Risma dengan nada permusuhan yang kental. “Risma!” tegur Bu Tetti seraya melotot ke arah putrinya. “Kenapa Ibu membela dia?” kali ini Risma bertanya dengan nada yang seperti merengek. Dia tidak terima ibunya lebih membela Juan daripada dirinya. “Karena memang kamu yang salah.” “Salah Risma apa? Dia memang memeras kita, kan? Mana ada orang minta tolong tapi mengancam? Kalau kita tidak memberinya izin menumpang di sini, dia pasti akan tetap menuntut Risma.” KREEKK. Suara kursi kayu yang digeser menarik perhatian semua orang ke arah Juan yang kini telah berdiri. “Terima kasih sarapannya. Ini sangat lezat. Saya harus pamit menuju area pembangunan resort.” Kemudian Juan berbalik meninggalkan ruang makan yang menjadi satu dengan dapur itu. Dia paling tidak suka meladeni perdebatan. Terutama dengan orang asing. Terserah semua orang berpikiran buruk tentangnya. Toh dia tidak pernah dengan sengaja merugikan orang lain. Sepeninggal Juan, Bu Tetti menoleh ke arah Risma dengan tatapan menegur. “Seharusnya kamu tidak bicara seperti itu. Jangan memusuhinya karena masalah sengketa tanah di Pulau ini padahal kita tahu betul siapa yang harus disalahkan.” Bu Tetti berkata tegas. “Bapak juga setuju dengan pendapat Ibu. Tidak baik mengkambinghitamkan Nak Juan hanya karena dia yang membeli tanah di sini. Jelas yang salah di sini adalah Keshawn karena telah menipu kita semua.” Risma tidak membantah, hanya menunduk di hadapan kedua orang tuanya. Ya, mereka benar. Juan sama sekali tidak bersalah. Seharusnya amarah terpendam ini Risma tumpahkan pada Keshawn. Namun lelaki itu sudah pergi lebih dulu bahkan sebelum Risma menyadari penipuan yang tengah dilakukannya. “Maafkan Risma, Bu, Pak.” Risma berkata pelan, masih dengan wajah menunduk. “Kenapa minta maaf pada Bapak dan Ibu?” kali ini nada suara Pak Almo tak lagi menegur. “Minta maaflah pada Nak Juan.” Refleks Risma menggeleng, tidak sudi melakukan itu. Ya, memang. Juan tidak bersalah. Tapi—entahlah. Pertemuan pertama mereka sudah buruk. Jadi rasanya sulit jika tiba-tiba sekarang Risma harus minta maaf pada Juan. “Sudah sana! Minta maaf saja, tidak perlu banyak berpikir.” Kali ini Bu Tetti yang memberi perintah. Risma mengerucutkan bibir karena mendadak kedua orang tuanya kompak membela Juan. “Nanti saja, Bu. Risma mau selesaikan sarapan dulu.” “Ini anak susah sekali dinasihati orang tua. Cepat sana temui Nak Juan sebelum dia pergi.” Bu Tetti geleng kepala akan kelakuan putrinya. Risma mendesah lalu perlahan bangkit dengan tak bersemangat. Dia menatap orang tuanya bergantian sejenak baru setelahnya melangkah menuju kamar Rezka. Tok tok tok. Sekarang Risma gelisah saat mengetuk pintu kamar Rezka. Kejadian tadi di kamar ini kembali membanjiri otaknya. Dia bahkan masih ingat betapa lembut dan empuknya bibir Juan yang menyentuh bibirnya seolah kejadian itu baru terjadi beberapa detik lalu. “Masuk saja. Pintunya tidak dikunci.” Suara dari dalam kamar itu terdengar jelas. Sejenak Risma tidak langsung masuk. Masih mempertimbangkan baik buruknya jika dia kembali berduaan dalam kamar sempit itu bersama Juan Keegan. Tapi tidak ada pilihan lain. Akhirnya Risma memilih masuk ke kamar itu lalu kembali menutup pintunya. Juan tampak tengah memasang dasi lalu mengenakan jasnya dalam posisi membelakangi Risma. Sementara itu Risma bergerak-gerak gelisah, tidak tahu harus melakukan apa. “Oh, ternyata kau. Kukira Ibu atau Ayahmu yang datang.” Komentar Juan tanpa membalikkan badan. Beberapa detik berlalu, Risma tak juga menemukan kata yang menurut otaknya tepat untuk memulai permintaan maafnya. Hingga akhirnya dia menghela napas lalu berbicara langsung pada intinya saja. “Ehhmm, aku hendak minta maaf padamu. Yah, tadi kata-kataku kasar. Meski itu kenyataan, tidak seharusnya aku bicara begitu padamu.” “Apa seperti itu kau sebut permintaan maaf?” Juan bertanya seraya berbalik lalu berkacak pinggang menghadap Risma. “Memangnya bagaimana lagi? Apa kau berharap aku menyembah di bawah kakimu?” Risma melotot. Sama seperti tadi di meja makan, Juan tidak mengatakan apapun lagi. Tanpa kata dia melewati Risma lalu keluar dari kamar. “Hei, apa kau sudah memaafkanku?” tanya Risma seraya membuntuti Juan keluar kamar. Juan tidak menanggapi pertanyaan Risma dan terus menuju pintu depan. Dia bahkan sempat berpamitan pada orang tua Risma namun tetap mengabaikan wanita itu yang terus membuntutinya. “Ada apa sih dengannya? Aku kan sudah minta maaf,” gerutu Risma begitu Juan keluar lalu masuk ke mobil yang telah menunggunya. “Coba ingat-ingat lagi caramu minta maaf.” Pak Almo berkata seraya mengenakan topi lebar untuk melindungi kepalanya dari sengatan matahari. “Sudah benar kok. Dianya saja yang sensitif seperti perempuan.” Risma berkata ketus. “Ya, sudah. Yang penting kamu sudah minta maaf. Bapak pergi kerja dulu.” Risma menatap kepergian sang Bapak dengan hati pilu. Sebelum Keshawn datang, Pak Almo juga merupakan petani. Penipuan yang dilakukan Keshawn membuat Pak Almo kehilangan mata pencaharian utama dan akhirnya beralih mencari kayu bakar di hutan yang kemudian dia jual ke pasar. Risma juga kehilangan pekerjaan karena pemilik rumah makan tempatnya bekerja juga menjadi salah satu korban penipuan Keshawn. Pemilik rumah makan yang dulunya Risma anggap ramah dan peduli, ternyata berbalik memusuhinya. Dia bahkan menjadi orang yang paling menyalahkan Risma atas kasus penipuan itu dan dengan tega memecat Risma diiringi kata-kata makian kasar di depan banyak orang. Risma sama sekali tidak mendendam namun dirinya juga manusia biasa yang bisa merasakan sakit hati. Dia tidak akan sudi lagi bertemu dengan wanita pemilik rumah makan itu. Namun sayang, meski sudah delapan bulan berlalu sejak menghilangnya Keshawn, sampai sekarang Risma belum juga mendapatkan pekerjaan baru. Dia mulai curiga bahwa penduduk Pulau tetap menyalahkannya meski tidak terang-terangan seperti pemilik rumah makan, hingga tidak bersedia membiarkan Risma mengais rezeki di tempat mereka. Karena itu Risma sudah mempertimbangkan untuk pergi keluar Pulau. Namun rencananya ia tunda akibat kedatangan salah satu orang paling penting di Keegan Corp. Juan Keegan. Risma akui, ada keinginan dalam hatinya untuk mengembalikan kepercayaan penduduk Pulau Shelee terhadap dirinya. Karena itu ia menjadi orang yang paling menentang dan memusuhi Juan. Semata-mata demi pengakuan. Seharusnya Risma tidak boleh seperti itu. Dia jadi sama saja seperti para penduduk yang menyalahkannya hanya karena ia tunangan Keshawn. Namun Risma sudah terlanjur melakukannya. Dan mengubah apa yang dia rasakan selama delapan bulan ternyata cukup sulit. Desah lelah terdengar dari sela bibir Risma. Rasanya di sini dia semakin tidak berguna dan merepotkan keluarganya. Mungkin lebih baik Risma segera pergi keluar Pulau mencari pekerjaan. Ya, memang begitu seharusnya. *** Pembangunan resort berjalan lancar hari ini. Tidak ada masalah. Bahkan tidak ada para penduduk Pulau yang datang mengganggu pekerjaan seperti yang kerap kali diadukan anak buah Juan. Semoga saja orang-orang itu sudah mulai menyerah. Namun meski benar demikian, bukan berarti Juan juga menyerah dalam usaha pencarian Keshawn Trumble. Anak buahnya serta anak buah Papanya akan terus mencari, tidak peduli berapa lama. Lelaki itu harus bertanggung jawab atas kemalangan yang telah dialami para penduduk Pulau Shelee. Waktu istirahat siang, Juan memutuskan bersantai di gubuk yang dibangun Delon seraya menghubungi Kirana. Ya, kian lama Kirana kian menjadi prioritas Juan. Dia bahkan menomorduakan orang tua dan adiknya. Harus Kirana yang lebih dulu dia hubungi lalu setelahnya giliran mereka. “Hai, Sayang,” sapa Juan lembut begitu Kirana menerima panggilan telepon darinya. “Hai,” balas Kirana. “Sedang istirahat?” “Ya, begitulah. Sambil menunggu Delon membeli makan siang.” “Kenapa baru beli? Seharusnya dia sudah menyiapkan makan siang untukmu sedari tadi. Jadi begitu waktu istirahat, kau bisa langsung makan.” Juan terkekeh mendengar nada kesal sang Kekasih. “Sebenarnya dia sudah pergi dari tadi. Tapi entahlah. Sampai sekarang belum kembali.” “Seharusnya kau tidak pergi. Baru sehari di sana, kau sudah kelaparan.” “Sama sekali tidak kelaparan, Sayang. Sebenarnya para tukang bangunan di sini biasa masak bersama untuk makan mereka. Hanya saja menurut Delon makanan yang mereka masak tidak enak hingga dia bersikeras membelikanku makanan. Kalau Delon tidak datang dalam sepuluh menit lagi, aku akan makan bersama mereka.” “Jangan. Delon benar. Mungkin makanan yang mereka masak tidak higienis. Tunggu saja sampai Delon kembali.” “Daripada aku kelaparan,” goda Juan sambil menahan senyum. Dia bisa menebak saat ini wanitanya itu pasti menampilkan wajah merengut. “Cepatlah pulang. Kehilangan beberapa lembar uang bukan masalah yang penting kau baik-baik saja.” “Jangan khawatir. Aku sangat baik-baik saja.” “Awas kalau kau pulang dengan tubuh terluka.” Juan meringis seraya menyentuh keningnya yang masih ditutup perban. “Hamba siap menerima hukuman jika melanggar larangan Anda, Nyonya.” “Aku serius, Sayang.” “Aku juga serius, Sayang.” Kemudian dia kembali terkekeh. Selalu menyenangkan berbincang dengan Kirana. Wanita itu adalah penghibur dikala Juan merasa penat. Beberapa menit kemudian setelah Juan selesai menghubungi orang tuanya, mendadak Delon datang dengan raut lesu. “Ada apa?” tanya Juan namun sama sekali tidak beranjak dari posisi berbaringnya di ranjang. “Tidak ada yang mau menjual makanan kepada kita,” keluh Delon. “Sudah kubilang aku akan makan bersama para tukang saja. Apa bahan makanan mereka masih ada?” “Masih.” “Kapan pengiriman bahan makanan selanjutnya?” “Tiga hari lagi. Tapi aku sudah minta pengiriman dilakukan besok karena orang-orang Keegan Corp. di sini bertambah.” “Bagus. Jangan lupa cek lauk atau sayur apa yang paling diminati. Jadi lauk dan sayur itu yang ditambah lebih banyak.” Kening Juan berkerut memikirkan keadaan di Pulau ini. “Apa para penduduk juga mendiskriminasi para pekerja di sini?” “Ya. Itu sebabnya mereka jarang meninggalkan area ini kecuali jika ada urusan mendesak.” Juan manggut-manggut. “Pastikan semua kebutuhan mereka terpenuhi. Dan katakan bahwa aku akan memberi uang bonus setelah pembangunan resort selesai.” “Baik, Mr. Keegan.” *** Pukul lima sore, Juan sudah kembali ke kediaman keluarga Risma. Lalu dia berkenalan dengan adik Risma yang kelakuannya ternyata tidak seburuk sang Kakak. “Aku tidak akan mengusirmu dari kamarmu sendiri,” ujar Juan saat melihat Rezka memindah beberapa barangnya ke kamar Risma. Rezka tersenyum yang mengakibatkan lesung pipitnya muncul. Membuat pemuda tujuh belas tahun itu terlihat semakin tampan. “Tidak  apa-apa. Aku akan tidur di kamar Kak Risma. Oh ya, boleh aku minta tolong pada Kakak?” “Minta tolong apa?” “Hmm, beberapa bulan lagi waktunya pembayaran uang sekolahku. Bapak sudah kehilangan pekerjaan dan uang dari hasil menjual kayu tidak seberapa. Kak Risma juga kehilangan pekerjaan dan sampai sekarang dia belum berhasil mendapatkan pekerjaan baru. Jadi aku berniat bekerja juga. Setidaknya untuk membayar uang sekolah sendiri agar tidak merepotkan mereka. Kudengar pembangunan resort membutuhkan banyak tenaga. Jadi aku berniat menawarkan diri untuk bekerja di resort. Aku sanggup melakukan pekerjaan apa saja. Tapi hanya sepulang sekolah. Jadi bisakah Kakak memberiku pekerjaan?” kalimat terakhir Rezka ucapkan dengan nada memohon. Lama Juan tidak mengatakan apapun dan hanya memandang Rezka yang kata Bu Tetti lebih muda lima tahun dari Risma. Dia sungguh mengagumi pemuda itu. Kepedulian terhadap keluarganya sangat tinggi. Bahkan Juan sendiri lebih asyik keluyuran bersama teman-teman dan sepupu-sepupunya ketika seusia Rezka. Sama sekali tidak perlu memikirkan urusan uang dan pekerjaan. Tanpa bisa dicegah, senyum Juan terbit. Dia menepuk bahu Rezka yang masih menatapnya penuh harap. “Mulai besok kau datang saja ke area pembangunan resort sepulang sekolah.” “Sungguh?” Mata Rezka berbinar. “Tentu saja.” “Besok aku akan datang, Kak. Oh, satu lagi. Tolong jangan katakan hal ini pada Ibu, Bapak, atau Kak Risma. Mereka tidak akan setuju.” Juan mengangguk. “Terima kasih.” Juan masih tersenyum setelah Rezka keluar kamar. Dirinya bukan menawarkan setumpuk uang dan properti tapi Rezka sudah terlihat sangat senang. Padahal Juan sanggup membiayai Rezka hingga lulus sarjana dan Rezka pasti tahu hal itu. Tapi ternyata yang dia minta hanyalah pekerjaan. Tiba waktu makan malam, semua orang berkumpul di meja makan. Suasana makan malam kali ini tidak sehening makan siang tadi. Rezka banyak bercerita tentang teman-temannya di sekolah hingga beberapa kali ditegur sang Bapak karena makan sambil bicara. Jika sudah seperti itu, Rezka hanya nyengir lalu tenang selama beberapa saat, tapi kemudian kembali mengoceh. BRAK. PRAANG! Suara itu membuat lima orang yang masih menikmati makan malam langsung membeku ditempat. --------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN