Enam

2292 Kata
Selasa (09.45), 20 April 2021 ------------------------ “Biar Bapak periksa.” Akhirnya Pak Almo berkata setelah perasaan kagetnya memudar. Namun baru saja dia berdiri, mendadak Risma berteriak, “Bapak! Awas!” Juan yang juga melihat batu baru saja memecahkan jendela dapur dan terus melesat menuju arah Pak Almo dengan sigap menarik lelaki tua itu hingga merunduk. Lalu kejadian selanjutnya seperti kilasan film yang diputar cepat. Batu-batu terus saling menghantam menghancurkan kaca dan segala perabotan di dalam rumah. Suara keras akibat kerusakan itu terasa memekakkan telinga, membuat malam yang tadinya tenang jadi terasa mengerikan. “Bu, sembunyi di balik meja. Rezka, lindungi Ibu. Jauhi jendela.” Juan memberi perintah seraya memapah Pak Almo agar duduk bersembunyi di belakang lemari. Otak Risma mendadak kosong melihat keadaan sekelilingnya. Sejenak dia seperti orang linglung yang hanya terus duduk diam memperhatikan. Tapi kemudian, suara keras yang kembali terdengar akibat kaca pecah membuat Risma sadar dan langsung berpikir dirinya harus tahu siapa yang melakukan hal ini pada keluarganya. Tanpa pikir panjang lagi, Risma berjalan ke arah jendela yang sudah hancur. Juan yang melihat Risma berjalan mendekati bahaya mengumpat dalam hati. Meski wanita itu selalu menghinanya, Juan bukanlah lelaki berhati batu yang bisa diam saja melihat seseorang menghantarkan nyawa seperti yang dilakukan Risma saat ini. Buru-buru dia menghampiri Risma lalu menarik lengan wanita itu dengan kasar. “Dasar bodoh! Seharusnya kau menyingkir dari jendela,” maki Juan karena Risma tetap bergeming. “Mereka langsung pergi begitu melihatku,” Risma berkata pelan masih dengan pandangan mengarah ke kegelapan. Juan turut melihat keluar dan benar saja, tidak ada siapapun di sana. Bahkan serangan batu sudah berhenti. “Kuharap kau mengenali pelakunya.” Juan mengeluarkan ponsel dari saku celana dan segera menghubungi Delon. “Aku tahu betul siapa pelakunya,” ujar Risma seraya berbalik hendak menuju pintu depan. Melihat itu, Juan kembali memegang erat lengan Risma. “Mau ke mana?” “Aku akan mendatangi rumahnya sebelum dia punya kesempatan membuat alibi. Kalau perlu aku akan menghabisinya di tempat.” “Jangan gegabah. Kau tidak lihat apa yang bisa dia lakukan?” Mendadak Risma berbalik menghadap Juan dengan kemarahan yang berkobar dalam matanya. “Tentu saja aku lihat apa yang sudah b******n itu lakukan. Dia menghancurkan rumah orang tuaku dan nyaris melukai mereka. Dan ini semua karena—” Risma tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Kata-kata itu refleks terucap tanpa ia pikirkan lebih dulu. “Karena keberadaanku di sini. Itu yang ingin kau katakan?” tanya Juan dengan nada dingin. Mendadak Juan melepas lengan Risma yang semula masih ia pegang erat. “Terserah lakukan apa yang kau mau. Aku tidak peduli.” Juan berbalik seraya mematikan ponsel yang sudah diterima Delon tanpa mengatakan apapun. Langkahnya cepat ketika menuju kamar Rezka lalu segera mengemasi pakaiannya yang hanya sedikit. Rasa bersalah menyelimuti Risma. Kali ini dia tidak menyangkal bahwa dirinya salah. Bahkan dia malu membalas tatapan kedua orang tua dan adiknya. Jemarinya saling meremas, bingung harus mengatakan apa pada Juan sebagai permintaan maaf. Pintu kamar Rezka terbuka dan menampakkan Juan yang keluar sambil menenteng tas hitamnya. Bibir Risma terbuka, hendak mengatakan sesuatu, namun urung saat melihat Juan bahkan menolak membalas tatapannya dan hanya fokus pada orang tua dan adik Risma. “Saya akan meminta beberapa pekerja resort untuk datang dan memperbaiki kerusakan,” Juan berkata. “Besok saja, Nak. Pasti para pekerja sudah lelah sekarang.” Pak Almo memberi saran. “Tidak apa. Hanya sekedar memasang papan kayu untuk menutupi jendela yang rusak agar kalian bisa tidur tenang malam ini. Besok pagi baru membeli kaca baru.” Juan bersikeras. “Kalau begitu, baiklah. Dan Bapak harap kau tidak perlu pergi dari sini. Apa yang menimpa kami saat ini bukan salahmu.” Juan mengabaikan ucapan Pak Almo. “Saya langsung permisi saja dan terima kasih. Kalian sudah begitu baik mengizinkan saya tinggal.” “Kau bahkan belum sempat bermalam.” Kali ini Bu Tetti yang berkata dengan nada bersalah. Juan hanya tersenyum. Senyum lembut yang tidak diselimuti sikap dinginnya. Kemudian dia berbalik meninggalkan keluarga itu, tanpa sekalipun menoleh ke arah Risma. “Hmm Juan, tunggu!” Untuk pertama kalinya, Risma menyebut nama Juan. Buru-buru ia mengejar Juan namun lelaki itu sama sekali tidak menghentikan langkah. Juan marah. Lebih tepatnya murka. Tidak pernah ada seorang pun sebelumnya yang bersikap seperti Risma. Setelah berkali-kali merendahkan dirinya karena sesuatu yang tidak Juan lakukan, Risma masih dengan santainya menyalahkan Juan atas tragedi yang menimpa keluarganya. Ini sudah di luar batas toleransi Juan. Biasanya orang semacam Risma sudah dia tepis seperti lalat. Tapi kali ini dia menahan diri karena menurutnya wanita itu menyedihkan. Dia menyalahkan Juan karena tidak bisa melampiaskan kekesalannya pada orang yang sebenarnya. Hal itu tampak jelas dari sorot mata Risma yang tetap ngotot menyalahkan Juan meski sadar betul dirinya salah. Sama seperti yang dilakukan sebagian besar penduduk Pulau sialan ini. Kemarahan terpendam ini membuat kepala Juan serasa akan meledak. Andai Risma lelaki, Juan pasti dengan senang hati melayangkan tinju ke wajahnya. Tapi dia wanita. Pantang bagi Juan melakukan kekerasan pada wanita. “Kumohon, Juan. Tunggu!” Kali ini Juan terpaksa menghentikan langkah karena Risma berhasil memegang lengannya. Dia menoleh seraya melemparkan tatapan tajam ke arah Risma. “Kau mau aku pergi, kan? Maka aku akan pergi. Jadi tidak akan ada lagi masalah yang menimpa keluargamu karena kehadiranku. Sekarang menyingkir dari hadapanku.” “Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud seperti itu.” “Aku sama sekali tidak peduli apa maksudmu. Enyah saja dari hadapanku.” Juan menyentak lengannya hingga lepas dari cekalan Risma. Tapi baru satu langkah kembali berjalan, dia tertegun memperhatikan sekitarnya. Risma juga menoleh untuk mencari tahu apa yang menarik perhatian Juan. Seketika perasaan malu merambati hatinya menyadari para tetangga tengah berkumpul di sekitar rumahnya. Mungkin karena mendengar suara keras akibat batu yang menghantam jendela kaca. Mengabaikan kehadiran orang-orang itu, Juan meneruskan langkah keluar dari halaman rumah keluarga Risma. Jalan tak beraspal yang harus ia lewati untuk menuju jalan raya sama sekali tak menghentikan niat Juan untuk pergi. Sial! Dia bahkan terlalu marah untuk sekedar berbicara pada Delon agar menjemputnya. Juan hanya berharap teleponnya tadi membuat Delon khawatir lalu buru-buru datang. “Juan, aku benar-benar menyesal.” Shit! Wanita itu sangat keras kepala. Dia masih terus mengekorinya bagai anak ayam. “Aku tidak bisa membiarkanmu pergi tanpa memberiku maaf.” Sudah cukup aku memiliki rasa bersalah pada para penduduk di sini dan tidak pernah bisa mendapat maaf mereka, pikir Risma. Dia terus mengikuti Juan dengan sedih dan rasa bersalah yang berkecamuk di hatinya. “Aku sadar sudah keter—” “Aku sudah memaafkanmu. Sekarang pergilah.” Risma merengut menatap belakang kepala Juan. Lelaki itu sama sekali tidak tulus memberinya maaf. Terdengar jelas dari nada kesalnya. “Kalau begitu, ayo kembali ke rumah.” Juan makin hilang kesabaran menghadapi Risma. Mendadak dia berbalik dengan ekspresi yang seolah siap membunuh Risma. “Berhenti menggangguku dan bersikap plinplan. Dari awal kau tidak menginginkanku di rumahmu. Harusnya kau senang sekarang karena keinginanmu menjadi nyata.” “Maaf—” “Pergi sebelum aku hilang kesabaran lalu memukulmu, Risma,” geram Juan. “Ibu dan Bapak pasti sedih.” “Bukan urusanku.” “Kau tidak mau kuantar?” “Aku tidak butuh bantuanmu.” “Maaf—” Mendadak Juan menghapus jarak di antara mereka lalu melingkarkan jemari panjangnya di leher Risma, siap mencekik wanita itu dengan satu tangan. Risma membeku. Perasaan ngeri merambati hatinya melihat sorot mata Juan yang tampak tidak main-main hendak mematahkan lehernya. Tempat mereka berada sekarang sudah jauh dari perumahan dan lumayan gelap. Tidak sulit bagi Juan untuk membunuhnya lalu meninggalkan mayatnya begitu saja. “Aku muak mendengar permintaan maafmu,” geram Juan. “Saat orang lain yang menurutmu berbuat salah kau tidak memberinya kesempatan untuk meminta maaf dan terus-menerus menghinanya. Tapi ketika kau sendiri yang berbuat salah, kau tidak berhenti meminta maaf meski sadar betul orang itu masih terlalu marah untuk sekedar berbincang denganmu apalagi jika harus memberi maaf.” Tanpa bisa dicegah, air mata Risma menitik. Kata-kata Juan mengingatkan Risma bahwa dirinya memang banyak berubah sejak Keshawn mengkhianatinya. Ditambah lagi para penduduk yang seolah menyalahkan dirinya membuat Risma menghalalkan segala cara untuk mendapat pengakuan mereka kembali. Termasuk melemparkan kesalahan pada Juan. “Maaf.” Risma kembali berkata. “Kau tuli?!” “Aku akan terus minta ma—emphh!” Risma terbelalak saat tiba-tiba Juan membungkam mulutnya dengan bibir lelaki itu. Jemari di leher Risma semakin menguat, namun tidak bermaksud menyakiti. Hanya mencegah Risma menjauh. Juan sendiri tidak berpikir apapun saat ini. Yang dia inginkan hanya Risma berhenti mengatakan maaf. Dia tidak bercanda bahwa dirinya muak mendengar kata maaf yang terus-menerus Risma ucapkan. Saat itulah refleks saja kepalanya merendah lalu membungkam bibir wanita itu. Seharusnya Juan berhenti begitu Risma diam. Seharusnya Juan segera menarik diri. Tapi ternyata dia tidak melakukan itu. Dia malah menggigit gemas bibir Risma hingga terbuka lalu menyusupkan lidahnya untuk menjelajahi kehangatan wanita itu. Entah berapa menit berlalu, mendadak Juan menarik diri. Untuk beberapa saat keduanya hanya terus saling menatap di bawah cahaya bulan. Risma dengan mata terbelalak sementara Juan dengan kemarahan yang masih tersisa di hatinya. “Jangan pernah muncul lagi di hadapanku.” Selesai berkata demikian, Juan melepas jemarinya yang masih mencengkeram leher Risma lalu berbalik. Ternyata Delon sudah ada di sana, beberapa meter darinya. Lelaki itu tampak gelisah dan bingung harus berbuat apa yang menunjukkan bahwa dia melihat saat Risma dan Juan berciuman. Tanpa kata seolah tidak terjadi apapun beberapa menit sebelumnya, Juan menghampiri mobil yang dibawa Delon lalu masuk melalui pintu belakang. Meninggalkan Risma yang masih membeku di tempat memperhatikan mobil itu menjauh. *** Juan menutup dokumen yang tengah ia periksa dengan kasar. Pagi ini otaknya sedang tidak bisa diajak kerja sama dan terus saja mengulang kejadian semalam. Shit! Apa sih yang sebenarnya Juan pikirkan saat itu? Dia mencium Risma hanya karena merasa sangat marah dan ingin agar wanita itu berhenti minta maaf. Ciuman yang pertama masih bisa dimaklumi karena Juan pikir yang ia cium adalah Kirana. Tapi semalam jelas ia sadar betul siapa yang dirinya cium. Yah meski Kirana sudah menjadi kekasih Juan sejak mereka masih kanak-kanak, tapi bukan berarti Juan tidak pernah berciuman dengan wanita lain. Dia sering melakukannya, apalagi ketika sedang bertengkar dengan Kirana. Dan sampai sekarang Kirana tidak pernah tahu. Atau pura-pura tidak tahu, ya? Entahlah. Yang jelas mereka tidak pernah bertengkar karena hal itu. Bukan hanya ciuman. Juan kerap kali menghabiskan malam bersama wanita lain. Tentu saja tidak ada yang terikat. Wanita-wanita itu hanya teman kencan satu malam Juan. Baginya sang kekasih hanya Kirana seorang. Bahkan sampai detik inipun, Juan belum pernah b******a dengan Kirana. Hanya ciuman. Alasannya karena dia sangat menghormati Kirana dan ingin menjaga wanita itu sampai sah menjadi istrinya kelak. Itu salah satu alasan kenapa para sepupu dan beberapa sahabatnya selalu berkata bahwa Juan hanya sekedar sayang pada Kirana. Bukan cinta antara pria dan wanita. Melainkan cinta seorang kakak kepada adiknya. Sayangnya Juan tidak merasa seperti itu. Dia yakin benar-benar mencintai Kirana. Saat dirinya secara sadar mencium atau bahkan b******a dengan wanita lain, sama sekali tidak ada rasa bersalah di hati Juan. Dia tidak merasa selingkuh. Dia hanya menuntaskan hasratnya. Tapi entah mengapa dirinya diliputi rasa bersalah sekarang karena telah mencium Risma. Padahal dirinya tidak berniat mencium. Hanya untuk menghentikan ocehan wanita itu. Apakah kali ini Juan berpikir bahwa dirinya selingkuh dan merasa mengkhianati sang kekasih? Hufft. Ternyata Pulau ini jauh lebih menarik dari dugaan Juan sebelumnya. Baru satu hari dia di sini dan sudah banyak hal yang terjadi. Bahkan luka di keningnya belum kering tapi timbul masalah lain. Kali ini malah menyerang perasaannya. Ah, dan jangan lupakan juga kasus semalam yang sudah ditangani polisi setempat. Akan Juan pastikan pelakunya tertangkap dan dihukum berat. Tok tok tok. “Masuk.” Juan menegakkan tubuh lalu kembali membuka dokumen di mejanya. Tidak peduli masalah yang tengah terjadi, Juan tidak boleh mengabaikan pekerjaan. “Mr. Keegan, ada seseorang yang ingin bertemu Anda.” Delon berkata dari pintu yang terbuka. Juan tertegun. “Siapa?” Apa itu Risma yang lagi-lagi hendak minta maaf? Awas saja kalau memang dia yang datang. Juan akan— “Dia bilang namanya Rezka. Sepertinya saya pernah melihatnya berada di rumah Nona Risma.” Kali ini Juan mendongak menatap Delon. “Oh, Rezka. Dia adik Risma. Suruh saja dia masuk.” “Baik, Pak.” Tak lama kemudian, Rezka masuk ke ruangan Juan dengan mengenakan seragam sekolahnya. “Maaf, Kak karena aku mengganggu pagi-pagi.” “Apa kalian memang hobi meminta maaf?” tanya Juan kesal, lagi-lagi teringat ciuman semalam. “Hah?” Rezka tampak bingung. Juan mengibaskan tangan. “Lupakan. Jangan bicara sambil berdiri. Ayo duduk.” Juan menunjuk kursi di depan meja kerjanya dengan dagu. “Tidak apa-apa, Kak. Aku harus buru-buru ke sekolah. Aku ke sini hanya ingin bertanya—apakah Kakak masih bersedia memberiku pekerjaan?” Rezka mengangkat bahu, tampak tidak yakin. “Yah, setelah semalam Kakak marah dan akhirnya meninggalkan rumah—aku jadi bertanya-tanya.” Juan tersenyum kecil. “Aku bukan orang picik seperti sebagian besar penduduk pulau ini, bahkan kakakmu juga. Masalahku dengan Risma. Jadi aku tidak akan melibatkanmu.” Raut wajah Rezka mulai berbinar. “Jadi aku masih boleh ke sini sepulang sekolah?” “Tentu saja.” Rezka tidak bisa menyembunyikan senyumnya. “Terima kasih, Kak.” “Ya. Kalau tidak ada lagi yang ingin kau tanyakan, sebaiknya segera pergi ke sekolah. Jangan sampai terlambat.” Rezka mengangguk antusias. Dia sudah bersiap pamit tapi kemudian terngiang kejadian semalam. “Tentang semalam, aku hendak—” “Kalau kau berkata maaf, aku akan melemparmu dengan sepatuku.” Nada suara Juan mengancam. “Eh?” “Sudah sana pergi sekolah. Aku masih banyak pekerjaan.” “Ah, ya.” Buru-buru Rezka meninggalkan ruangan Juan. Sepeninggal Rezka, Juan mengumpat dalam hati bahkan mengabsen para penghuni kebun binatang. Sialan Risma dan bibirnya yang lembut. Kenapa sulit sekali melupakannya? --------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN