Pagi hari Hana bangun dan mencari ponselnya untuk melihat jam yang ada di ponselnya. Melihat jam yang menunjukkan pukul delapan pagi tentu saja membuat Hana teriak dan bergegas turun dari ranjang untuk pergi. Namun tiba-tiba saja dirinya berhenti bergerak dan melihat sekitar ruangan, ruangan yang begitu bersih dan juga nyaman. Apa dirinya berjalan ke sini sendiri tadi malam? Jelas-jelas Hana mengingat kalau semalam dirinya tidur di kamar istirahat, dan tiba-tiba saja sekarang dirinya ada di sini.
"Persetan dengan itu, kamu masih harus bekerja." Gumam Hana pada akhirnya dan beranjak untuk membereskan barang-barangnya dan juga memakai baju perawatnya lagi.
Pintu yang terbuka dari luar membuat Hana menoleh, menatap terkejut ke arah seseorang yang bahkan tidak pernah ia bayangkan selama ini. Hana menelan ludahnya kasar dan menundukkan kepalanya dalam.
"Sudah bangun?" Tanyanya.
"Sudah pak, maaf karena saya lancang ada di sini. Sebenarnya saya juga tidak tahu kenapa bisa bangun di sini, padahal jelas-jelas saya tidur di ruang istirahat tadi malam." Jawab Hana dengan panjang lebar.
Gibran tentu saja tertawa kecil saat mendengarnya, ah adiknya itu benar-benar mengesalkan. Bagaimana mungkin adiknya berani memerintahkan dirinya untuk melihat kekasihnya sudah bangun atau belum, sedangkan dirinya sendiri malah sibuk dengan pasien dan juga perawat lain dengan dalih menggantikan tugas kekasihnya, benar-benar sangat romantis.
"Tidak apa-apa, ayo keluar kita sarapan dulu. Istri saya sudah menunggu di ruangannya. Hany berjarak beberapa ruangan dari sini." Jawab Gibran yang langsung saja membuat Hana makin menundukkan kepalanya.
"Maaf pak, saya harus kembali untuk melanjutkan pekerjaan saya." Kata Hana dengan sedikit takut.
Gibran menatap ke arah ouar pintu dan tersenyum tipis.
"Di bawah sudah ada yang menggantikan kamu, jadi kamu bisa istirahat hari ini. Setelah serapan kamu juga bisa langsung pulang ke rumah." Balas Gibran lagi.
"Oh ya, jangan membantah lagi dan jangan memanggilku pak seperti itu, kamu ini sudah tahu kehilangan kontak sama Vian, kenapa tidak cari aku atau siapa? Vian pasti akn membuat perhitungan denganmu." Lanjut Gibran ikut-ikutan kesal saat memikirkannya.
Bagaimanapun juga mereka sangat dekat, Hana bekerja di rumah sakit yang ia dirikan dan wanita itu bahkan tidak berpikir untuk menyapanya atau sekedar menanyakan kabar tentang adiknya, apa itu masuk akal? Padahal selama ini adiknya selalu memikirkan wanita ini dengan berbagai perhitungan yang diarahkan padanya.
"Maafkan saya pak." Kata Hana lagi yang tentu saja membuat Gibran kesal karena Hana tidak mau mendengarkan apa yang sudah ia katakan.
"Ikuti aku," kata Gibran yang hanya dijawabi anggukan oleh Hana.
Gibran terus tersenyum sepanjang perjalanannya, padahal jelas-jelas di sini yang lagi kasmaran adiknya tapi dirinya ikut senang karena menemukan wanita yang beberapa tahun ini tidak juga ia temukan. Padahal jika adiknya mau, adiknya tidak perlu menggantikan tugas Hana, tapi adiknya tetap melakukannya dengan baik.
Gibran membuka pintu kamar rawat istrinya dan meminta Hana masuk lebih dulu, di dalam Starla tentu saja sudah menyambut kedatangan Hana bersama dengan putranya Ibra.
"Hana, lama tidak bertemu." Sapa Starla yang langsung saja membuat Hana mengangguk dan membungkukkan badannya sembilan puluh derajat untuk memberi salam.
"Maafkan saya mbak, karena saya lancang masuk ruangan pak Gibran. Saya juga tidak tahu kenapa bisa ada di sana, tapi saya benar-benar tidak melakukan apapun dengan pak Gibran, jika mbak Starla tidak percaya bisa melihat cctv yang terpasang di ruangan itu." Kata Han dengan cepat tanpa bernapas.
Tadi tentu saja setelah keluar dari ruangan itu Hana melihat tulisan yang ada di atas pintu, di mana tulisan itu yang menjelaskan ruangan apa yang ia pakai untuk tidur tadi malam.
"Tidak ada cctv di dalam ruangan itu." Kata Gibran yang langsung saja membuat Hana berdiri tegak dan menoleh ke belakang.
"Tap ... Tap ... i bagaimana bisa tidak da cctv diruangan itu." Balas Hana dengan suara yang antusias dan makin mengecil saat sadar dirinya dalam masalah besar.
Starla tentu saja tertawa saat melihat ekspresi wajah Hana, bisa-bisanya suaminya mengisengi wanita sepolos Hana.
"Tidak tahu apa yang kamu lakukan di dalam ruangan itu tadi malam." Lanjut Gibran seraya berjalan menghampiri brankar istrinya.
"Sudah-sudah, ayo sarapan dulu." Kata Starla yang langsung saja turun dari brankar dibantu dengan suaminya.
"Apa saya akan dipecat?" Tanya Hana pelan.
"Ah, pasti akan dipecat. Apa yang aku tanyakan." Lanjutnya bergumam.
"Makanlah lebih banyak, lalu ceritakan kenapa kamu tidak mencari kita untuk mengetahui kabar Vian. Setelah itu aku tidak akan memecatmu." Jawab Starla yang langsung saja membuat Hana mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Starla yang tersenyum lebar ke arahnya.
Pada akhirnya Hana pun ikut duduk di sofa yang ada di ruangan itu dan makan bersama. Sedari tadi Hana tidak bisa makan dengan tenang, untuk menghindari tatapan mata yang diberikan oleh Starla ataupun Gibran, Hana terpaksa menatap ke arah Ibra yang bermain sendiri dengan mainannya.
Starla mengikuti arah pandang Hana dan tersenyum tipis. Tentu saja Starla belum memperkenalkan putranya pada calon adik iparnya. Benar-benar mengejutkan karena mereka menemukan Hana ada di rumah sakit ini, tapi ini benar-benar baik karena tidak terlalu jauh dari jangkauan.
"Ibra, sini kenalan sama Tante Hana." Panggil Starla pada putranya.
Ibra yang memang tumbuh dengan pintar pun langsung menoleh dan menatap ke arah Hana, orang asing yang baru pertama kali ia lihat.
"Halo Tante, aku Ibra." Kata Ibra tanpa berniat untuk menghampiri Hana yang tersenyum lebar itu.
"Dia memang seperti itu jika bersama orang baru, tolong jangan dimasukkan hati." Kata Starla yang langsung saja membuat Hana menggelengkan kepalanya cepat.
"Apa kamu tidak dengar kalau Vian terluka saat studinya?" Tanya Gibran yang langsung saja membuat Hana terkejut saat mendengarnya.
"Hah? Ap ... a?" Tanya Hana sedikit tergagap.
Gibran tersenyum tipis saat melihat reaksi yang diberikan oleh Hana, tentu saja Gibran tahu jika Hana juga menyukai adiknya, tapi yang membuat Gibran bingung kenapa Hana tidak mencarinya untuk menanyakan keberadaan Vian?
"Maksudku ponselnya yang hancur parah, dia kehilangan semuanya nomor ponselnya." Lanjut Gibran yang langsung saja membuat Hana yang mulanya menegakkan badannya karena terkejut kini langsung saja meluruhkan tubuhnya, merasa sangat lega karena tidak terjadi apa-apa dengan laki-laki yang ia tunggu selama ini.
"Apa dia sudah kembali?" Tanya Han dengan suara pelan. Kedua tangannya saling menggenggam karena takut dan juga malu saat menanyakan kabar itu setelah dirinya tidak menghubungi mereka sekian lama.
"Kamu tidak tahu?" Tanya Gibran yang langsung saja membuat Hana menoleh dan bingung dengan apa yang dikatakan oleh Gibran.
"Dia tidak akan pernah kembali, hanya namanya yang kembali ke negara ini. Sudah berapa tahun semenjak anak itu mati di sana?" Tanya Gibran seraya menatap ke arah istrinya yang melotot lebar itu, tentu saja Gibran ingin tertawa tapi melihat ekspresi wajah Hana yang terus berubah-ubah dari takut dan lega membuat Gibran senang menggodanya.
"Hah?" Tanya Hana dengan mata yang sudah berkaca-kaca, bagaimana bisa dirinya tidak mencari laki-laki itu dulu? Sekarang dirinya malah mendapatkan kabar seperti ini.
"Jangan percaya, apapun yang dia katakan bohong. Vian baik-baik saja, dia hanya sedikit sibuk jadinya belum bisa berkumpul bersama kita." Sahut Starla yang tidak bisa untuk tidak memukul suaminya itu.
"Tanganmu, masih di infus jangan seperti ini." Kata Gibran yang tentu saja khawatir karena melihat darah istrinya naik ke selang infus.
"Kamu juga, memangnya lucu membuat orang khawatir seperti itu? Mereka sudah lama tidak bertemu. Kamu pikir dia akan baik-baik saja kalau tiba-tiba mendengar kabar seperti itu?" Balas Starla dengan kesal.
"Aku berbohong tadi, lagipula aku juga kesal sama kamu. Kita ini Deket banget loh, kok ya kamu nggak nyari aku untuk tanyain kabar Vian. Kamu nggak tahu aja dia recokin aku setiap hari hanya karena aku tidak bisa menemukanmu dan memberikan nomor ponselmu. Bisa saja dia gagal dalam studinya kalau bukan karena dia cerdas. Dia menyelesaikan studinya lebih awal karena harus mengikuti pelatihan, pelatihan yang seharusnya selesai dalam dua sampai tiga tahun pun ia selesaikan dalam setahun agar bisa cepat pulang dan menemui mu, dan yang mengejutkan kamu selama ini bekerja di sini? Siapa yang tidak kesal." Kata Gibran yang tentu saja sedikit marah dan juga kesal saat memikirkannya. Hana sendiri yang mendengarkan semuanya hanya bisa menundukkan kepalanya dan menangis, Hana juga marah pada dirinya sendiri yang tidak berani menyapa hanya karena kastanya yang rendahan itu, belum lagi tuntutan pernikahan yang terus dibicarakan oleh mamanya, Hana juga lelah dan bingung mau melakukan apa.
Starla yang melihat Hana menangis pun hanya mencubit paha suaminya kesal, suaminya ini benar-benar tidak tahu aturan. Sudah tahu yang memiliki masalah Vian tapi malah ikut-ikutan.
"Kamu pikir ini bisnis? Kamu bisa nyerobot gitu aja?" Tanya Starla dengan suara pelan dan juga mata melotot ke arah suaminya yang menyebalkan itu.
Gibran yang mendengar pertanyaan istrinya pun hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal, sepertinya dirinya benar-benar salah karena tiba-tiba menghakimi seperti itu.
"Sebenarnya jika di pikir-pikir itu salah Vian, kenapa juga anak itu merusakkan ponselnya seperti itu. Kamu tidak salah apapun." Kata Gibran pada akhirnya.
"Bukan, ini memang salah saya. Maafkan saya karena sudah tidak tahu diri, untuk itu tolong beritahu pada Vian jika saya baik-baik saja, dan tolong katakan juga kalau dia tidak perlu menepati janji yang sudah dia buat pada saya." Balas Hana yang langsung saja berdiri dan menatap ke arah Gibran dan juga Starla.
"Untuk itu saya berterima kasih dan juga minta maaf, saya akan pamit undur diri lebih dulu. Terima kasih sarapannya." Lanjut Hana yang langsung saja memberikan salam dan pergi begitu saja.
Starla dan Gibran tentu saja diam dan saling pandang, bisa-bisanya keduanya membuat keributan seperti itu.
"Janji apa yang sudah dibuat oleh Vian?" Tanya Gibran pelan.
"Apalagi? Kamu pikir wanita mana yang akan mau menunggu hanya karena sebuah janji? Kalau itu kamu aku sudah pasti menikah dengan wanita lain. Bisa-bisanya jadi laki-laki tidak tegas seperti itu." Jawab Starla yang tiba-tiba saja kesal pada suaminya yang pintar-pintar bodoh itu.
Pintu yang terbuka setelah beberapa menit berlalu membuat Starla dan Gibran menoleh, menatap ke arah Vian yang baru saja masuk dengan peluh yang membasahi wajah tampannya.
"Apa dia sudah pergi? Aku cari di ruangan ku tidak ada?" Tanya Vian yang langsung saja membuat Gibran Starla terdiam.
"Kakakku membuat ulah, sebelum pergi dia bilang untuk mengatakan padamu kalau dia baik-baik saja, meminta maaf karena tidak mencariku dan memberikan kabar, selain itu dia juga mengatakan pada kita kalau kamu tidak perlu menepati janji yang sudah kamu katakan pada dia." Jawab Starla yang langsung saja membuat Vian menoleh ke arah pintu dan terdiam.
"Apa janji yang kamu buat?" Tanya Gibran penasaran.
"Memintanya menunggu dan menikahinya, aku mengatakan padanya untuk membujuk mamanya jika mamanya memaksanya untuk menikah." Jawab Vian dengan santai.
"Lalu apa yang kamu katakan sekarang? Kejar dia bodoh." Kesal Gibran setelah mendengar jawaban dari adiknya itu.
"Biarkan dia istirahat dulu, aku sudah mengambilkan cuti dua hari untuknya, aku akan memanggilnya nanti." Jawab Vian yang langsung saja meletakkan baju kebesarannya di atas brankar kakak iparnya dan duduk untuk menyapa keponakannya yang pintar itu.
"Ibra sudah lihat Tante Hana? Apa Ibra suka?" Tanya Vian yang langsung saja membuat Ibra mendongakkan kepalanya dan menatap ke arah paman dokternya.
"Tante selalu menundukkan kepalanya saat diajak bicara, itu tidak sopan kan paman?" Jawab Ibra yang langsung saja membuat Vian tertawa saat mendengarnya.
"Benar, lain kali paman akan mengajarinya dengan baik." Kata Vian yang langsung saja mengelus kepala Ibra dengan penuh kasih sayang.
"Aku pulang dulu ya kak, mau mandi dan juga bicara sama mama." Kata Vian berpamitan dengan kakaknya dan juga kakak iparnya.
Vian mengambil jas dokternya dan pergi begitu saja. Selain lelah Vian juga mendengar kabar yang sedikit mengejutkan dan membuat moodnya buruk. Tadi setelah menyerahkan surat cuti untuk Hana, Vian tidak sengaja melihat wanita yang ada di dalam ponsel Hana, tentu saja Hana tahu kalau wanita itu sahabat dari Hana, tapi saat dirinya ingin menyapa tiba-tiba saja seorang laki-laki datang dan wanita itu mengatakan pada laki-laki itu jika Hana akan menikah dengan laki-laki pilihan mamanya.
Hana sampai pada tangga terakhir dan duduk sebentar, rasanya dirinya benar-benar lelah dan bingung harus melakukan apa sekarang. Dirinya sudah menyetujui permintaan mamanya untuk menikah dengan laki-laki lain, tapi di saat yang sama juga dirinya ditemukan oleh keluarga Vian. Hana mengambil gelang yang ada di dalam sakunya dan memeganginya dengan erat.
"Aku harus bagaimana?" Tanya Hana dengan suara yang sangat pelan, ada ketakutan di dalam hatinya saat bertanya pada dirinya sendiri seperti itu. Tentu saja Hana takut jika pertanyaannya sudah ada jawaban yang pasti di dalam hatinya.
Tadi setelah keluar dari ruang rawat kakak ipar Vian, Hana pun memilih untuk turun dengan tangga, pikirannya benar-benar tidak bisa tenang dan selama menuruni tangga Hana terus menghitung jumlah tangga yang ia turuni hingg diakhir tangga dirinya lupa berapa jumlah tangga yang sudah ia hitung dari awal. Hatinya benar-benar tidak fokus pada satu hal saja.
Setelah mengumpulkan kekuatannya, Hana pun berdiri dan membuka pintu keluar tangga. Kakinya terus melangkah untuk menuju loker kerjanya. Namun, sebelum itu dirinya harus meminta cuti lebih dulu pada kepala perawat.
"Hana," panggil Cinta yang langsung saja membuat Hana menoleh dan tersenyum lebar ke arah sahabatnya itu.
"Kamu darimana saja? Aku dengar kamu mengajukan cuti setelah sekian tahun. Aku pikir kamu sudah pulang." Kata Cinta dengan panjang lebar.
Hana yang tidak tahu apapun tentu saja bingung, Hana melepaskan tangan Cinta dan berlari untuk bertanya pada kepala perawat. Apa yang dikatakan Cinta benar-benar kenyataan, kata kepala perawat tadi pemilik rumah sakit yang menyerahkan surat cuti dan tentu saja kepala perawat langsung mengiyakan.
"Ada apa? Kenapa kamu bertanya?" Tanya Cinta pada sahabatnya yang terbengong-bengong itu.
"Aku belum mengajukan permohonan cuti, tapi kepala rumah sakit yang mengajukannya. Apa aku akan dipecat?" Jawab Hana sembari bertanya pada Cinta dengan pandangan kosongnya.
"Apa yang kamu perbuat? Kamu tidak berbuat buruk bukan?" Tanya Cinta yang hanya dijawabi gelengan kepala oleh Hana.
"Aku menyesal masuk hari ini, harusnya aku ikut cuti dan menghabiskan waktu bersamamu." Kata Cinta lagi dengan sangat kesal.
"Cuti besok saja, tadi kepala perawat aku cuti dua hari. Entahlah aku bingung harus berterima kasih ayah sedih." Jawab Hana yang langsung saja membuat Cinta cemberut.
"Kalau begitu istirahatlah, pulangnya naik taksi saja biar cepat sampai rumah." Kata Cinta seraya mendorong Hana pergi menjauh dari dirinya.
Hana pun mengangguk pelan dan berjalan ke arah loker kerja untuk mengambil tas miliknya dan pulang dengan selamat. Hari ini banyak sekali kejadian yang membuatnya lelah.
Tbc