Hari itu, matahari sore menyinari taman kota dengan lembut. Angin berhembus, membawa aroma bunga yang bermekaran. Nayla duduk di bangku panjang sambil memperhatikan Kayla yang sedang bermain ayunan. Matanya lelah, wajahnya tampak murung, namun senyum kecil masih ia paksakan setiap kali Kayla menoleh.
“Sendirian lagi?” Suara itu datang begitu saja. Rangga muncul, seperti bayangan yang selalu tahu kapan Nayla paling rapuh. Ia membawa dua gelas kopi dingin di tangannya.
Nayla terdiam sejenak. “Rangga… kamu lagi?”
“Jangan marah, aku cuma… kebetulan lewat. Kupikir kamu butuh teman,” ujarnya sambil menyodorkan minuman. Senyumannya hangat, tapi ada kilatan rasa ingin lebih di balik tatapannya.
Nayla menerima minuman itu dengan ragu. “Aku… terima kasih.”
Mereka duduk berdampingan, diam sejenak, hanya mendengar suara anak-anak yang bermain. Rangga menoleh, matanya menatap Nayla penuh perhatian. “Kamu kelihatan lelah sekali, Nay. Kamu nggak bisa terus begini… sendirian.”
Nayla menghela napas panjang. “Aku bukan sendirian, Rangga. Aku punya Arka.”
Rangga tersenyum miring. “Arka? Nay, dia bahkan nggak di sini. Dia entah sibuk apa, entah menyembunyikan apa. Kamu tahu aku nggak bermaksud jahat, tapi bukankah kamu capek? Bukankah kamu butuh seseorang yang benar-benar ada untukmu… sekarang?”
Kalimat itu seperti pisau yang menoreh hati Nayla. Ia menunduk, matanya panas. Ada bagian dalam dirinya yang ingin membantah keras, tapi ada juga yang hampir luluh. Kehangatan perhatian Rangga memang nyata, sementara Arka semakin jauh, semakin asing.
Tiba-tiba, Kayla berlari menghampiri mereka. “Mamaaa!” teriaknya riang sambil meraih tangan Nayla. “Main sama aku, Ma!”
Seperti tersadar, Nayla langsung menunduk memeluk putrinya. Hatinya terguncang. Apa yang hampir kulakukan barusan? Ia merasa bersalah hanya karena membiarkan Rangga duduk begitu dekat, membiarkan hatinya tergoda.
“Maaf, Kayla. Ayo, kita pulang,” ucap Nayla cepat, berdiri sambil menggandeng anaknya.
“Nay, tunggu.” Rangga berdiri juga, menatapnya dengan mata penuh harap. “Aku… aku cuma ingin kamu tahu, aku ada di sini. Aku nggak akan pernah ninggalin kamu.”
Nayla menelan ludah. Matanya berkaca-kaca. “Jangan, Rangga… jangan buat aku semakin salah. Aku… aku istri orang. Jangan hancurkan aku.”
Ia berjalan cepat meninggalkan taman, menggenggam tangan Kayla erat-erat. Dadanya berdegup kencang, air matanya jatuh satu per satu. Ia tahu dirinya hampir tergelincir, dan itu membuat hatinya bergetar ketakutan.
Malam itu, Nayla duduk di kamar sambil menatap ponsel. Belum ada kabar dari Arka. Hanya pesan singkat kemarin yang isinya sekadar, “Aku sibuk. Jaga diri baik-baik, ya.”
Air mata Nayla kembali mengalir. “Arka… kenapa kamu begitu jauh dariku? Aku butuh kamu.”
Di sisi lain dunia, Arka terbaring di ranjang rumah sakit. Selang infus menempel di tangannya, wajahnya pucat. Dokter baru saja memberitahu bahwa kondisinya semakin memburuk, dan ia harus mulai mempertimbangkan langkah yang lebih serius.
Arka menatap ponselnya. Ada foto Nayla dan Kayla di wallpaper. Tangannya gemetar ingin menekan tombol panggil, tapi ia mengurungkan niat. Kalau aku cerita, Nayla pasti tambah sedih. Aku nggak mau dia hancur karena aku.
Arka menutup mata, menahan sakit yang menyerang dadanya. Di dalam hatinya, hanya ada doa: “Tolong kuatkan Nayla. Jangan biarkan dia sendirian.”
Hari-hari berikutnya, Nayla mencoba menghindari Rangga. Ia tak membalas pesan, tak menjawab telepon. Tapi Rangga tetap hadir. Kadang hanya sekadar mengirim bunga dengan pesan singkat, kadang sengaja muncul di tempat-tempat yang sama.
Nayla tahu ia harus menjauh, tapi hatinya masih rapuh. Kadang tanpa sadar ia menatap pesan-pesan Rangga, merasakan hangat yang ia rindukan. Ia merasa dirinya seperti berjalan di atas garis tipis—antara kesetiaan dan pengkhianatan.
Suatu malam, Nayla duduk di balkon. Kayla sudah tidur. Ponselnya bergetar—pesan dari Rangga.
“Aku tahu kamu mencoba menjauh. Tapi aku nggak akan berhenti, Nay. Aku tahu kamu butuh aku.”
Nayla menutup mata, air mata jatuh tanpa henti. Ia ingin menegaskan hatinya, tapi seolah ada tembok besar yang membuatnya tak bisa jujur.
“Arka… aku lelah menunggu… aku lelah merasa sendiri…” bisiknya lirih.
Di luar negeri, Arka menatap jendela rumah sakit. Hatinya hancur karena ia merasa gagal sebagai suami. Rindu dan sakit bercampur jadi satu. Ia tahu waktunya semakin singkat, tapi ia tetap memilih diam.
Malam itu, dua hati yang saling mencintai justru semakin berjauhan—dan satu hati lain, Rangga, semakin dekat mengintai, siap memanfaatkan celah yang terbuka semakin lebar.