Bab 14 – Retaknya Suara

1055 Kata
Malam itu, rumah terasa begitu sunyi. Kayla sudah terlelap, tapi Nayla belum juga bisa memejamkan mata. Ponselnya tergeletak di meja samping, layar menyala karena satu pesan masuk. Dari Arka. “Aku sibuk beberapa hari ini. Jangan terlalu khawatir.” Hanya itu. Nayla menatap layar ponsel dengan mata berkaca-kaca. Jari-jarinya gemetar sebelum akhirnya ia menekan tombol panggil. Butuh waktu beberapa detik sampai suara berat Arka terdengar di seberang sana. “Halo…” suara itu terdengar lemah, tapi Nayla mengira itu sekadar kelelahan. “Arka,” Nayla berbisik, berusaha menahan gejolak di dadanya. “Apa kamu benar-benar sibuk? Atau kamu memang sudah nggak peduli lagi sama aku?” Arka terdiam. Ia menutup mata, rasa sakit di dadanya semakin menjadi, tapi ia paksa suaranya terdengar tegas. “Nayla, jangan mulai. Aku cuma… kerjaanku banyak. Tolong jangan tambah bebanku dengan curiga macam-macam.” Kata-kata itu seperti cambuk yang menyambar hati Nayla. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Curiga? Arka, aku cuma… aku cuma kesepian. Kamu tahu aku berjuang sendirian di sini dengan Kayla. Aku nggak minta banyak, hanya butuh kamu ada, walau sekadar dengar suaramu.” Suara Arka melemah. “Aku memang nggak bisa selalu ada. Kenapa kamu nggak bisa mengerti? Aku juga berjuang di sini…” “Berjuang?” Nayla menyela, nadanya meninggi. “Berjuang buat apa, Arka? Kamu bahkan nggak pernah cerita! Kamu tahu nggak, aku tiap hari menunggu, berharap kamu telepon. Tapi yang ada hanya Rangga, yang selalu muncul, selalu ada ketika aku butuh teman bicara. Apa kamu nggak sadar aku bisa tergelincir kapan saja karena kesepian ini?” Jantung Arka serasa berhenti mendengar nama itu. “Rangga?” suaranya pecah, bercampur marah dan takut. “Kamu… kamu dekat dengan dia?” Nayla terdiam, bibirnya bergetar. Ia tak berniat mengucapkannya, tapi emosi membuat segalanya lepas. “Aku nggak bisa bohong. Dia memang sering ada di sekitarku, Arka. Dan aku benci mengakuinya, tapi… aku merasa ditemani.” Keheningan panjang tercipta di antara mereka. Arka menutup mata, menahan rasa sakit bukan hanya di tubuhnya, tapi juga di hatinya. Napasnya tersengal, suara seraknya akhirnya terdengar lagi. “Nayla… jangan. Tolong jangan biarkan aku hancur mendengar ini.” Air mata Nayla jatuh semakin deras. “Lalu aku harus bagaimana, Arka? Aku sendirian. Aku lelah menunggu tanpa kepastian. Aku bahkan nggak tahu kamu di sana sedang apa, kenapa semakin menjauh. Aku ini istrimu, tapi rasanya seperti orang asing bagimu.” Arka menggenggam ponselnya erat-erat, matanya berair. Ia ingin berteriak, ingin jujur tentang penyakitnya, tentang rasa sakit yang menahan langkahnya. Tapi lidahnya kelu. Kalau aku cerita, Nayla akan hancur. Suara Arka akhirnya terdengar pelan, nyaris berbisik. “Mungkin… mungkin kamu benar. Aku bukan suami yang baik. Kalau kamu merasa aku sudah nggak cukup, aku… aku nggak bisa memaksa kamu tetap menunggu.” “Arka!” Nayla terisak, nyaris menjerit. “Jangan bicara begitu. Aku mencintaimu, tapi aku butuh kamu! Aku butuh tahu kamu masih ada untukku!” Namun suara di seberang sana semakin melemah. “Aku harus pergi. Istirahatlah, Nayla.” Klik. Sambungan terputus. Nayla menatap layar ponsel yang kini gelap. Tubuhnya bergetar, tangisnya pecah. Ia memeluk bantal erat-erat, merasa dikhianati oleh jarak, oleh keadaan, oleh sikap Arka yang makin dingin. Hatinya remuk. Di rumah sakit, Arka menjatuhkan ponselnya di ranjang. Napasnya tersengal, tubuhnya lemas. Air matanya mengalir pelan. Maafkan aku, Nayla. Aku hanya ingin melindungimu. Tapi justru kata-kataku membuatmu semakin hancur. Keesokan harinya, Nayla berjalan lunglai di depan sekolah Kayla. Wajahnya pucat, matanya sembab. Rangga melihatnya dari kejauhan, lalu segera menghampiri. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut, matanya penuh khawatir. Nayla hanya menggeleng, bibirnya bergetar. “Aku… aku baru bertengkar sama Arka.” Rangga menghela napas panjang, lalu menatapnya penuh arti. “Nayla, aku nggak ingin manfaatin keadaanmu. Tapi aku janji satu hal: aku nggak akan pernah ninggalin kamu sendirian.” Hati Nayla semakin kacau. Ucapan Rangga terasa seperti pelipur lara yang ia butuhkan, namun sekaligus racun yang perlahan meruntuhkan pertahanannya. Ia menatap langit yang mendung, merasakan dadanya sesak. “Ya Tuhan… aku harus bagaimana?” bisiknya lirih, tak ada yang menjawab. Malam itu, Nayla terjaga sampai larut. Hatinya dipenuhi sesal dan marah, bercampur menjadi satu. Ia ingin menelepon Arka lagi, tapi gengsinya menahan. Ia takut justru terdengar lemah, atau malah membuat Arka semakin menjauh. Jadi ia hanya duduk di tepi ranjang, memeluk lutut, dan menatap kosong ke arah jendela. Di luar, hujan turun rintik-rintik. Setiap tetes air seakan memantulkan perasaan hatinya yang pecah. Apa aku sudah keterlaluan? Apa aku salah menyebut nama Rangga? pikirnya berulang kali. Tapi bukankah itu kenyataan? Bukankah Rangga memang hadir ketika Arka tidak ada? Nayla meraih foto keluarga kecilnya di meja samping. Wajah Arka tersenyum di dalam bingkai itu, begitu hangat, begitu penuh cinta. Air matanya jatuh membasahi kaca. “Kenapa kamu berubah sejauh ini, Arka…? Aku bahkan hampir nggak mengenali kamu lagi.” Di negeri seberang, Arka masih terbaring di ranjang rumah sakit. Tubuhnya digelayuti selang infus, matanya sayu menatap langit-langit. Kata-kata Nayla terus terngiang di telinganya: ‘Aku merasa ditemani oleh Rangga.’ Dadanya sesak, bukan hanya karena penyakit yang menggerogoti, tapi juga karena rasa takut kehilangan. Ia mengepalkan tangan, menahan perih yang menusuk. “Tolong… jangan biarkan dia pergi dariku,” bisiknya lirih, entah ditujukan pada siapa. Sementara itu, Rangga duduk di ruang tamunya, menatap ponselnya yang sepi dari balasan Nayla. Senyum tipis muncul di wajahnya. Ia tahu, perlahan tapi pasti, Nayla akan datang padanya sendiri. Kesabaran akan jadi kuncinya. Dan malam itu, tiga hati yang saling terikat namun terpisah jarak, rahasia, dan godaan, semakin jauh dari titik temu. Seolah takdir sedang menyiapkan badai besar yang siap menghantam—badai yang akan menguji arti cinta, kesetiaan, dan pengorbanan. Nayla akhirnya merebahkan diri di ranjang, tapi matanya tetap tak bisa terpejam. Hatinya seperti terjebak dalam lingkaran tak berujung—antara rindu pada Arka, rasa bersalah pada dirinya sendiri, dan godaan Rangga yang tak bisa ia pungkiri. Ia ingin percaya cintanya cukup kuat, namun bayangan kehangatan yang ditawarkan Rangga terus menghantui. Di sudut lain dunia, Arka memejamkan mata dengan tubuh yang kian lemah. Detak jantungnya berdegup pelan, seakan ikut menanggung beban emosinya. Ia tahu waktu mungkin tidak banyak, tapi ia masih belum punya keberanian untuk berkata jujur pada Nayla. Apakah aku akan terlambat? batinnya gemetar. Malam itu berakhir dengan keheningan yang menyakitkan, menyisakan Nayla, Arka, dan Rangga dalam diam yang penuh luka. Dan keheningan itu terasa seperti awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN