Disiram teh panas

1058 Kata
Pamela terperangah, buru-buru berkelit. “Aku … aku tidak sengaja. Aku pikir tehnya sudah dingin,” ucapnya gugup. Kaizen menatapnya dingin. Mana mungkin wanita sialan ini tidak tahu teh di dalam teko masih panas. Jelas sekali dia sengaja melakukannya! Emosi Kaizen membuncah, tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Amarah yang membara menguasai pikirannya, dan tanpa sadar, tangannya terangkat, siap mencekik Pamela yang hanya berdiri terdiam dengan kilat ketakutan di wajahnya. Tapi tepat sebelum tangannya menyentuh leher Pamela, Sea menarik tangan Kaizen dengan cemas. “Anda tidak apa-apa? Kita harus segera siram lukanya dengan air dingin!” katanya, jelas khawatir. Kaizen menatap Sea dengan mata dingin, wajahnya tidak menunjukkan tanda kesakitan sedikit pun. Suaranya tenang tapi penuh kendali. “Aku tidak apa-apa.” “Diam sebentar dan jangan berisik,” lanjutnya memotong kekhawatiran Sea tanpa memberi ruang untuk protes. Kemudian dia menoleh, matanya menyapu ruangan dengan tatapan dingin yang membuat udara terasa lebih tegang. “Ka-kau … kau siapa?” tanya Natasya. Kaizen tidak menjawab, hanya melempar tatapan tajam hingga membuat Natasya meremang tanpa sadar. Lalu tanpa ada basa-basi, Kaizen berbicara dengan suara tegas dan dingin. “Saya adalah ayah dari bayi yang dikandung Sea. Saya akan menikahinya dan bertanggung jawab penuh,” katanya tanpa jeda, suaranya tegas dan lugas seperti biasa. "Dua hari lagi, saya akan datang secara resmi.” Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti perintah yang tak bisa ditolak. Henry memandang Kaizen dengan tatapan curiga, pikirannya dipenuhi kebingungan. Bukankah Natasya bilang pria itu hanya buruh tua berusia 40 tahun? Namun, pria yang berdiri di hadapannya … jelas tidak bisa dipandang sebagai seorang buruh! Otot-otot kekarnya menyembul di balik kaos putihnya. Wajahnya begitu tampan dengan bulu-bulu halus memenuhi dagu dan rahangnya. Lalu … tato di lengannya itu … mempesona. Natasya seketika menelan ludahnya kasar, sambil bergumam, “Tidak mungkin pria itu yang menghamilinya kan? Dia sangat tampan, sialan!” Berbeda dengan Natasya yang menganggap tato di lengan Kaizen sebagai daya tarik mempesona, Henry malah menganggapnya sebagai tanda seorang berandalan tak bermoral. Tentu saja dia tidak setuju putrinya menikah dengan preman. Lebih baik dia membawa putrinya ke tempat neneknya di Ragusa dan menikahkannya dengan pemuda desa. Itu lebih baik daripada menikahkannya dengan preman kota seperti pria di depannya. "Tidak! Aku akan mencarikan pria yang layak untuk anakku," tegas Henry, suaranya bergetar menahan amarah. "Mencarikan? Anda baru saja mengusirnya, juga tidak menganggapnya anak." Suaranya rendah namun mematikan, menjawab tanpa ragu-ragu. “Anda bermaksud menelan ludah sendiri?” Henry seperti mendapat pukulan telak setelah mendengar perkataan Kaizen. Wajahnya langsung pucat, lidahnya kelu, sampai tidak ada satupun bantahan yang sanggup diucapkannya. Jemarinya terkepal erat, rahangnya mengeras—bukan oleh kemarahan, tetapi oleh rasa malu yang menggerogoti setiap helaan napasnya. Di sampingnya, Pamela menggigit bibir, matanya berkilat-kilat oleh kecemasan yang tak dapat ia sembunyikan. Takut jika Henry tetap bersikukuh menolak Kaizen yang dilihatnya sebagai berandalan miskin. "Tidak, Henry tidak boleh menolak. Ini kesempatan bagus melempar gadis itu pada berandalan miskin!" batinnya. Ekspresi di wajah Pamela berubah. Dengan tenang ia mengulurkan tangan, mengusap lengan suaminya perlahan, seolah membalut setiap keraguan yang tersisa. “Kita tak punya pilihan, Sayang. Meskipun dia… hanya berandalan, dia sudah bersedia bertanggung jawab. Bukankah itu cukup?” Mata Pamela memang buta. Melihat Kaizen mengenakan kaos sederhana, tanpa balutan kemeja atau jas, dia langsung menyimpulkan bahwa Kaizen hanyalah orang biasa. Tidak ada yang istimewa darinya, bahkan soal harta. “Tolong pikirkan, Sayang. Keluarga kita juga bisa menjadi bahan pembicaraan. Orang-orang di luar sana takkan segan-segan mempermalukan kita. Lagi pula siapa yang mau menikahi wanita yang hamil anak pria lain?” Pamela mendesak, berusaha membujuk agar Sea tetap menikah dengan berandal miskin di depannya. Sepertinya Henry juga terdesak, tidak punya pilihan, perkataan istrinya memang ada benarnya. Lagi pula, siapa yang mau menikahi wanita hamil! Akhirnya, setelah beberapa saat terdiam, dia berkata dengan suara berat, “Terserah!” Ucapan itu terdengar seperti kekalahan yang tak terelakkan. Henry tidak bicara lagi, langsung masuk ke dalam rumah tanpa menoleh, meninggalkan Sea dan Kaizen di ambang pintu. Sedangkan Pamela tidak bisa menyembunyikan senyum puas penuh kemenangan dari wajahnya. Akhirnya tujuannya tercapai. Anak tiri yang selama ini dipandangnya sebagai penghalang, akan menikah dengan pria miskin. Pamela yakin, hidup Sea tidak akan sebaik Natasya. Dia akan menderita di bawah kemiskinan. Begitu pikirnya. - - Melihat mereka semua masuk ke dalam rumah, Sea menghela napas berat, rasa lega bercampur kelelahan menguasai tubuhnya. Kali ini, dia berhasil lolos lagi dari ancaman pengusiran. Meskipun dia tahu, cemoohan dan ejekan akan menantinya, setidaknya untuk saat ini, dia masih punya tempat berlindung. Kini, perhatiannya pada Kaizen yang berdiri dengan santainya, seolah insiden teh panas yang mengenai punggungnya bukan masalah besar. Wajahnya tetap tenang, tapi ada kilatan dingin di matanya yang membuat Sea semakin bingung, kenapa pria ini tiba-tiba muncul dan menjadi penyelamatnya? "Lepaskan kaos Anda, biar saya obati. Saya punya salep luka bakar,” katanya terburu-buru, Suaranya lembut namun penuh kepedulian. Kaizen menatap Sea dengan tatapan geli, sejenak ragu sebelum sudut bibirnya melengkung nakal. "Kau benar-benar ingin melihat badanku?" canda Kaizen. “Anda terluka karena melindungi saya, dan tawaran ini hanya bentuk tanggung jawab saya.” Kaizen sudah membuka mulutnya, ingin menolak, tetapi bibirnya justru menentang keputusannya sendiri. "Oke, aku tunggu di mobil!” ucapnya kemudian. "Badanku ini cukup eksotis, aku tidak mau menarik perhatian orang!" Sea hampir tersedak mendengar ucapan Kaizen. Gila, percaya diri sekali. Susah payah ia menelan salivanya, menahan diri untuk tidak berkomentar. Meski dalam hati menjerit dan meronta ingin memaki. Begitu Kaizen masuk ke dalam mobil, Anderson yang dari awal melihat kejadian, langsung bertanya, “Teh tadi terlihat mengepul. Anda baik-baik saja? Perlu ke rumah sakit sekarang?” Kaizen hanya mendengus kasar, menahan keinginannya untuk menjawab. Mendengar Anderson menyebut ‘rumah sakit’ membuatnya menyesal telah memilih diam dan menunggu. Seharusnya dia langsung pergi dan memanggil dokter pribadi. Untuk apa menunggu. Sea juga tidak mungkin kompeten. Oh, sial! Wajahnya makin kusut sekarang. Namun ketika dia melihat Sea berlari terburu-buru dengan wajah khawatir, mulutnya malah menjawab, “Tidak perlu. Dia yang akan mengobati.” Anderson menoleh, melihat Sea berlari menuju mobil, dia langsung mengerti maksud ucapan Kaizen. 'Hmm sepertinya kali ini bukan karena benih kecebong supernya. Ah ... bau jatuh cinta.' Sambil mengulum bibir menahan senyum, ia keluar dari mobil, membuka pintu untuk Sea, lalu menuntunnya masuk. “Maaf… sedikit lama,” ucapnya, berusaha terdengar profesional meski suaranya bergetar tipis. “Anda bisa melepaskan kaosnya.” - -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN