Lelang Satu Miliar
“Selamat malam para tamu yang terhormat. Karena malam ini kita punya sesuatu yang istimewa … harganya akan dibuka sedikit lebih mahal!”
Para penonton yang duduk dengan penuh minat mulai bergeser di kursi mereka, menatap dengan mata penuh antisipasi. Lampu temaram di sudut panggung tiba-tiba menyala, memperlihatkan seorang gadis muda yang terbaring lemah di atas sofa berlapis kain merah beludru.
Wajahnya cantik, tapi tampak tak berdaya—matanya tertutup, dan tubuhnya hampir telanjang, hanya ditutupi oleh secarik kain tipis yang tidak mampu menyembunyikan lekukan tubuhnya. Dia tak sadarkan diri.
Orang-orang di ruangan itu menahan napas, sebagian dari mereka terkejut dengan pemandangan yang terpampang di depan mata. Namun, keheningan itu segera pecah ketika pria dengan mikrofon mulai bicara lagi, kali ini dengan nada lebih rendah, menggoda.
“Ada yang berminat membuka tawaran?”
Seketika, suara dari sudut ruangan bergema. Seorang pria paruh baya dengan perut buncit angkat tangan, "Dua ratus juta!"
Tawaran awal seperti lonceng perang, membuat semua orang siap untuk memperebutkan ‘barang’ yang dipamerkan. Seorang pria lain, kali ini lebih muda dan tampak penuh percaya diri, ikut bersaing.
“Lima ratus juta!” teriaknya, dengan tatapan penuh nafsu.
Semakin tinggi penawaran, situasi di bar semakin terasa tegang. Mata-mata di sekeliling panggung menyala, ingin mendapatkan gadis itu. Namun tiba-tiba, sebuah suara yang dalam dan dingin memotong udara. Suara yang berbeda dari yang lainnya.
“Satu miliar.”
Keributan langsung berhenti. Semua orang terdiam, menoleh ke pria yang berdiri di dekat pintu masuk bar. Seorang pria muda dengan postur tinggi dan tampan, mengenakan jas mahal yang terlihat sempurna di tubuhnya.
Pemilik bar menahan senyum, terkejut sekaligus senang dengan tawaran besar yang baru saja diumumkan.
“Satu miliar!” serunya lagi, memastikan semua orang mendengar jumlah fantastis itu. “Ada yang mau lebih tinggi?”
Keheningan mendominasi ruangan. Tidak ada yang berani menyaingi tawaran sebesar hanya untuk seorang wanita. Tapi pria itu, tidak.
“Baiklah, selesai. Gadis ini milik Anda!” Pemilik bar tersenyum penuh kemenangan, menghentakkan palu lelang dengan suara keras.
Pria itu adalah Kaizen Lycus, CEO sekaligus pewaris tunggal dari perusahaan Holding Company SIG. Di dunia bisnis, dia dikenal sebagai pria yang kejam dan tak kenal belas kasihan. Tidak ada skandar kotor yang pernah menjeratnya selain kelicikannya dalam dunia bisnis.
Mata Kaizen sejak tadi sudah terpaku pada tubuh wanita yang terbaring lemah di atas panggung. Kulit putihnya begitu mempesona, wajah polos, tapi punya daya tarik yang aneh, tubuh mungil dengan lekukan yang sempurna. Membuat nafsu dalam tubuhnya meronta.
“Bawa dia padaku!” Senyumnya terlihat tipis, tapi di matanya terpancar sesuatu yang gelap tak terbaca.
-
-
Wanita itu dibaringkan di atas kasur usai diberi obat perangsang. Bulu mata lentiknya mulai bergerak, matanya perlahan terbuka. Saat ia mulai mengembalikan kesadarannya, tubuhnya merasakan ada sensasi aneh yang menjalar di sana—sesuatu yang asing, menggelitik dan membakar di area-area sensitifnya.
Dia mengerjap beberapa kali, mencoba mengumpulkan kesadaran. Kepalanya berdenyut, tubuhnya terasa lumpuh. Ketika penglihatannya semakin jelas, dia tersentak. Kaizen, seorang pria asing yang tidak ia kenal sedang menindih tubuhnya.
Panik menjalar cepat di benaknya. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, dia mendorong Kaizen sekuat mungkin. Buru-buru merangkak turun dari tempat tidur, meski tubuhnya gemetar dan jantungnya berdetak kencang. Namun, bius itu masih menyisakan jejak dalam otot-ototnya, membuat gerakannya lemah dan tidak terkoordinasi.
Kaizen menyeringai melihat wanita itu terpuruk di hadapannya, seolah menikmati setiap detik dari usaha sia-sia gadis itu untuk melarikan diri.
“Bermain kucing-kucingan?” suaranya rendah, penuh kesenangan yang mengerikan.
Wanita itu terengah-engah, napasnya cepat, tidak teratur. Dia memohon, air mata mulai mengalir di pipinya.
“Tolong... lepaskan aku...”
Tapi Kaizen tidak peduli. Baginya, dia bukanlah gadis tak berdaya yang perlu dikasihani. Kaizen sudah membayar mahal—satu miliar.
“Aku sudah membayarmu mahal,” bisiknya kasar, senyum dingin di bibirnya. “Bukankah kau sudah menjual tubuhmu? Kenapa sekarang kau malu-malu?”
“Tidak, saya —”
Belum sempat meneruskan, Kaizen sudah menariknya kembali ke atas ranjang. Cengkramannya begitu kuat, tidak memberi sedikit celah untuk dilawan. Dia menindih tubuh mungil wanita itu, memaksanya diam, dan mulai mencumbu dengan liar, buas, dan penuh gairah.
“Aku membelimu, layani aku dengan baik,” bisik Kaizen, bibirnya mencengkeram leher wanita itu tanpa belas kasihan.
Wanita itu tak berdaya, tubuhnya lumpuh. Di samping rasa lemah yang mencekiknya, ada sensasi liar yang terus menjalar dalam dirinya—sesuatu yang tak bisa ia kendalikan. Obat perangsang mulai bekerja, mengacaukan pikiran dan membuat tubuhnya bereaksi di luar kehendaknya. Tubuhnya bergetar, tidak hanya karena ketakutan, tetapi juga oleh gejolak panas yang dipaksakan oleh zat itu.
“Tidak, Anda salah. Aku tidak … argghhh.”
Dia memohon di antara isakannya, tapi suaranya tenggelam oleh kekejaman Kaizen saat mulai membobol masuk, mengoyak habis kesuciannya.
“Ahh … tidak! Stop! Aku mohon … arghh!”
Tidak ada dessah yang lolos, hanya teriakan penuh derita dan rasa sakit. Sedangkan Kaizen justru menikmati itu. Ada sensasi puas dalam setiap gerakannya yang mendominasi. Hingga dia menyadari sesuatu
“UGH … Damn! You’re still a virgin?” Rahang pria itu mengetat.
“Masih perawan kenapa jual diri? Sialan!”
-