Sorot mata Nadira meredup. Entahlah, tatapan itu membuatnya merasa takut. Namun dia berusaha mengusir perasaan itu.
Dia sudah bertekad untuk menghadapi pria itu tanpa rasa takut. Nadira memusatkan perhatiannya pada jalannya sidang untuk menghalau rasa dingin yang sesaat lalu menyergapnya.
Sidang sudah mendekati akhir, pengacara Ferdinand Randal meminta kesempatan untuk berbicara.
"Yang Mulia, kami telah memberikan bukti tambahan yang jelas menunjukkan keterlibatan terdakwa dalam pembunuhan ini. Sidik jari terdakwa ditemukan di tempat kejadian perkara, dan ada saksi yang melihatnya di sekitar lokasi pada malam kejadian. Motifnya jelas – dendam pribadi terhadap korban."
Pria berusia akhir lima puluhan itu berbicara dengan penuh semangat, mencoba meyakinkan Hakim dan Tim Jaksa dengan setiap kata yang dia ucapkan.
Namun, Nadira hanya duduk tenang, menyaksikan proses ini dengan santai.
“Untuk melengkapi bukti-bukti yang sudah diajukan, saat ini kami membawa bukti terbaru. Semoga saja bisa membantu pak Hakim untuk mengambil keputusan yang paling adil.”
Suara tegas pengacara Ferdinand Randal menggema di ruang sidang.
“Bukti baru?” Nadira menatap sang pengacara terkejut. “Manuver apa lagi yang dilakukan pengacara brengsekk itu?” Bibir Nadira melengkung sinis.
Hakim mempersilakan.
Pengacara Randal berdiri, dan dengan wajah penuh keyakinan dia membawa sesuatu ke hadapan hakim, disaksikan oleh jaksa penuntut.
Suasana mendadak hening. Mata semua orang di ruang sidang tertuju pada hakim dan jaksa yang tampak terkejut saat memeriksa bukti yang diserahkan.
Setelah beberapa saat, hakim memanggil Nadira ke depan. "Pengacara Rodin, silakan maju ke depan dan lihat apa yang telah diajukan oleh kuasa hukum keluarga korban,"
Nadira berdiri dan melangkah maju dengan langkah mantap, meskipun di dalam hatinya ada sedikit kekhawatiran yang mulai muncul.
Dia melihat apa yang diperlihatkan oleh kuasa hukum korban, dan wajahnya seketika menegang.
Sangat terkejut.
Ketenangan dalam ekspresinya lenyap.
Tanpa sadar dia menoleh ke arah tim lawyernya dengan wajah pucat pasi.
Pengacara Rodin kembali memandang dengan mata yang mulai memerah ke arah dokumen yang baru saja diserahkan oleh kuasa hukum keluarga korban.
Setiap kata pada halaman dokumen itu terasa seperti pisau yang menusuk jantungnya. Bukti baru ini, yang tampaknya sangat memberatkan terdakwa, sama sekali tidak terduga dan bisa membalikkan keadaan.
Dokumen itu adalah laporan investigasi terbaru yang berisi transkrip percakapan antara terdakwa dan korban, yang diambil dari rekaman CCTV sebuah kafe. Dalam transkrip itu, terdakwa dan korban terlibat dalam pertengkaran sengit. Terdakwa marah dan mengancam korban dengan kata-kata yang mengerikan.
Nadira membeku.
Di sampingnya, pengacara Randal diam-diam melihat ekspresinya.
Senyum samar menghiasi bibir sang pengacara.
Mereka berdiri sangat dekat, dia bahkan bisa mencium keharuman memikat yang menguar dari tubuh Nadira.
“Dia masih semenarik dulu.” Monolognya, seiring gelenyar penuh damba bangkit di dalam dirinya.
Nadira masih berdiri di sana,
“Untuk lebih meyakinkan, mari kita melihat bukti rekamannya.”
Suara pengacara Ferdinand Randal memecah keheningan.
Jaksa penuntut menyetujui dan rekaman yang disimpan dalam ponsel itu pun diputar. Semua yang berdiri di sana melihat dengan jelas.
Wajah Nadira semakin pias. Kenapa dia tidak menemukan bukti ini?
Dia menoleh ke arah terdakwa yang duduk di kursi, matanya penuh dengan kecemasan dan ketidakpastian. Apa yang dia sembunyikan dariku?
“Baik, karena bukti ini baru terungkap, maka saya berikan kesempatan pada kuasa hukum terdakwa untuk memberikan penjelasan mengenai hal ini pada sidang besok.” Kata Hakim ketua dan mempersilakan mereka kembali ke tempat masing-masing.
Hakim mengetuk palu, mengakhiri sidang untuk hari itu.
"Sidang akan dilanjutkan besok pukul 9 pagi. Pengacara Rodin, Anda punya waktu hingga saat itu untuk memeriksa bukti baru ini."
Dengan langkah gontai, Nadira meninggalkan ruang sidang.
***
Di kantor firma hukum Nadira Angelina Rodin dan Rekan.
Nadira menutup pintu ruang kerjanya dan melemparkan tubuhnya ke sofa.
Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasa lelah dan putus asa melanda dirinya.
Bukti baru itu sangat jelas, tapi kenapa kliennya mengaku tidak mengenal korban?
Nadira menyandarkan punggung yang letih sambil memijit pelipis yang berdenyut-denyut. Akhir sidang tadi membuat semua tenaganya seperti hilang. Dia tidak menduga akan melihat hal seperti tadi.
Rupanya dia tidak mewaspadai manuver-manuver pengacara Ferdinand Randal. Pria itu terkenal kejam pada lawan-lawannya, dan sangat ambisius untuk memenangkan setiap kasusnya.
Tapi video tadi asli. Hanya dengan melihatnya saja, Nadira sudah mengetahui keasliannya.
“Apakah klienku telah berbohong?” Jari-jari lentik Nadira berhenti bergerak, mendadak kaku.
Pintu terbuka dan Rey masuk dengan secangkir kopi panas.
"Ini, Nad, semoga bisa membuat suasana hatimu membaik." katanya lembut, meletakkan cangkir di atas meja. "Apa yang sebenarnya terjadi di ruang sidang tadi?"
Tadi Rey sedang mengurus sesuatu di luar ruang sidang, jadi dia melewatkan kejadian menegangkan tadi. Dia hanya melihat wajah Nadira yang pucat dan letih, sangat berbeda dengan penampilan bosnya selama ini yang selalu segar dan elegan.
“Nad, ada masalah apa?”
Nadira mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Kuasa hukum keluarga korban menyerahkan bukti baru. Sesuatu yang tidak pernah kita lihat sebelumnya dan bisa sangat memberatkan klien kita."
Rey mengerutkan kening. "Bagaimana itu bisa terjadi? Kita sudah mengumpulkan semua bukti, kan? Tidak ada yang terlewatkan."
Ya. Memang tidak, karena mereka sudah melakukan semua prosedur pengungkapan kasus dan siap memberikan pembelaan.
Terdakwa bersikeras tidak mengenal korban. Apakah dia berbohong?
Seketika Nadira duduk tegak.
“Rey, ayo, kita temui klien kita.” Ajak Nadira sambil berdiri dan melangkah keluar ruangan. Dia memutuskan untuk mengkonfirmasi langsung.
Kopi yang masih mengepul di atas meja ditinggalkan tanpa disentuh.
Rey menyusul dengan wajah tegang.
***
Nadira dan asistennya memasuki sebuah ruang pertemuan khusus. Di sana sang klien sudah menunggu.
Dia duduk di kursi sambil menunduk. Begitu Nadira masuk ke ruangan, dia mengangkat muka dan menatap Nadira cemas.
Nadira menatap kliennya dengan wajah lelah. Tapi sorot matanya tetap tajam, menganalisa gesturenya.
Pria itu kembali menunduk sambil jari-jari kedua tangannya saling memilin dengan gelisah.
Dengan nada tegas Nadira kembali bertanya, “Apakah kamu benar-benar tidak mengenal atau bertemu korban sebelumnya?” Ini pertanyaan yang sama yang sudah dia ulangi beberapa kali.
"Pengacara Rodin, saya tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi. Saya benar-benar tidak ingat pernah bertemu dengan korban sebelumnya," katanya dengan suara yang penuh ketakutan.