Bab 3

963 Kata
Nadira menatapnya tajam. "Kamu harus jujur padaku sekarang. Video ini menunjukkan dirimu sedang bertengkar dengan korban dan mengancamnya. Ini bisa menghancurkan seluruh pembelaan kita." Terdakwa menggelengkan kepala, air mata mulai menggenang di matanya. "Saya tidak ingat! Sungguh, saya tidak ingat kejadian itu." Nadira merasakan frustrasi yang semakin dalam. "Bagaimana bisa kau tidak ingat sesuatu yang sebesar ini?” "Saya tidak tahu," jawab terdakwa dengan suara gemetar. "Mungkin... mungkin saya sedang di bawah pengaruh sesuatu. Saya benar-benar tidak ingat." Nadira bangkit berdiri, menekan keningnya dengan tangan. "Ini tidak masuk akal. Jika kau benar-benar tidak ingat, bagaimana kita bisa membuktikan bahwa kau tidak bersalah? Dengan bukti baru itu, semua pembelaan kita yang mengatakan bahwa kau tidak mengenal korban menjadi mentah." Tak dapat menekan emosinya, suara Nadira meninggi. "Pengacara Rodin, tolong percaya. Saya tidak bersalah," Kata kliennya memohon. Untuk beberapa saat, Nadira terpaku dengan perasaan gelisah. Dia lalu mengambil tasnya dan memegang bahu pria muda di hadapannya. "Aku akan mencari cara untuk menangani ini. Jangan khawatir, aku akan terus berusaha melakukan yang terbaik." Kata Nadira sebelum berbalik dan pergi. Pria muda itu berkedip. Seharusnya dia percaya. Kalimat dari pengacaranya ini cukup menenangkan. Tapi… Pria itu menatap ke arah pintu yang terbuka dengan tatapan kosong. Sesaat kemudian, seberkas cahaya yang ada dalam sepasang manik matanya perlahan meredup. *** Setelah bertemu kliennya yang berada di tahanan, Nadira dan Rey kembali ke kantor dengan tubuh yang semakin letih. Kepala Nadira terasa berat, berbagai pertanyaan terus berputar di benaknya. Kliennya bersikeras tidak mengenal korban, namun video CCTV menunjukkan sebaliknya. Pertemuan di sebuah kafe antara terdakwa dan korban pada hari nahas itu membuat pembelaannya terancam runtuh. Dia harus segera menyusun strategi baru, dan untuk itu, dia membutuhkan bantuan timnya. Setibanya di kantor, Nadira langsung memanggil semua rekan pengacaranya untuk berkumpul di ruang rapat. Tim ini terdiri dari lima orang: Rey, Maria, David, Sarah, dan Lucia. Mereka adalah tim yang solid, sama-sama berusia muda dan penuh semangat. Masing-masing dengan keahlian dan pengalaman yang berbeda-beda, namun semua memiliki satu tujuan: memperjuangkan keadilan. Nadira membuka pertemuan dengan nada tegas, meskipun keletihan jelas terpancar dari wajahnya. "Kita punya masalah besar," katanya sambil menghela napas. "Klien kita bersikeras tidak mengenal korban, tetapi bukti video menunjukkan mereka bertemu di sebuah kafe." Maria, seorang pengacara berpengalaman dalam kasus pidana, mengerutkan kening. "Bagaimana klien kita bisa lupa dengan pertemuan itu? Apakah ada kemungkinan dia berbohong?" Nadira menggelengkan kepala. "Menurut naluriku, dia tidak berbohong. Dia tampak benar-benar bingung. Mungkin ada sesuatu yang kita lewatkan." Rey, yang duduk di sebelah Nadira, berbicara dengan suara serius. "Nad, kita perlu mempertimbangkan semua kemungkinan. Jika klien kita memang tidak ingat atau berbohong, kita harus siap dengan strategi baru." Nadira menatap Rey dengan kelelahan di matanya. "Aku tahu, Rey. Tapi kita harus tetap berpegang pada prinsip keadilan. Kita tidak bisa membiarkan klien kita dihukum tanpa bukti yang jelas. Mari kita fokus pada bukti dan fakta." Terdengar suara ketukan sepatu berhak tinggi dan lancip. Lucia Moses datang terlambat. Ia melangkah masuk dengan senyum lebar dan wajah dirias sempurna. "Maaf, aku tadi mampir makan malam dengan pacarku," katanya riang. Nadira, yang sedang duduk di kursinya dengan kertas berserakan di meja, melengos. "Sialan Lucia!" gumamnya dalam hati. Ia sendiri bahkan tidak sempat minum air putih, tapi rekan sekaligus sahabatnya itu malah asyik makan malam dengan pacarnya. Astaga! Nadira mengusap wajahnya, mencoba mengusir perasaan kesal yang tiba-tiba muncul. Kenapa aku jadi sinis begini? Nadira menghela napas panjang, mencoba meredakan ketegangan dalam dirinya. "Kami baru saja mengumpulkan semua bukti dan informasi yang ada. Kita harus menyusun strategi baru. Aku butuh semua orang untuk bekerja sama, termasuk kau." Lucia mengangguk serius. "Baiklah. Apa yang harus kita lakukan?" Nadira menunjuk ke tumpukan dokumen di meja. "Mulai dengan ini. Cek semua informasi tentang korban dan klien kita. Mungkin ada sesuatu yang kita lewatkan." Lucia mengambil dokumen-dokumen itu. Dia berhenti sejenak, menatap Nadira dengan sorot mata bersalah. "Aku akan segera memeriksa semuanya. Aku minta maaf tidak langsung merespon panggilanmu." Nadira menatap sahabatnya dengan lembut. "Tidak apa-apa, Lucia. Kita semua punya kehidupan di luar pekerjaan ini. Tapi sekarang, kita harus fokus. Banyak yang bergantung pada kita." Lucia tersenyum tipis. "Aku mengerti, Nad. Kamu bisa mengandalkanku." Nadira mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. Meskipun ada momen ketegangan, dia tahu bisa mengandalkan Lucia dan timnya. Mereka semua bekerja dengan tujuan yang sama, dan mereka akan menemukan kebenaran. Mereka bekerja hingga larut malam, namun hanya bisa menyusun penjelasan dari sudut pandang mereka. Bukti terbaru itu sangat jelas, mementahkan fakta yang mereka sampaikan sejak awal, bahwa terdakwa tidak mengenal korban dan tidak pernah bertemu dengan korban. Setelah beberapa jam, rekan-rekannya berpamitan pulang ke rumah masing-masing untuk beristirahat. Namun, Nadira memutuskan untuk tetap tinggal di kantor. Ada sesuatu yang masih mengganjal pikirannya. Sepanjang malam itu, Nadira duduk di depan komputernya, memeriksa kembali semua dokumen dan bukti yang ada. Dia berharap menemukan sesuatu yang bisa menjadi petunjuk, sesuatu yang telah terlewatkan. Ketika matanya mulai berat, dia menyesap kopi lagi, memaksa dirinya untuk tetap terjaga. “Ya, Tuhan…” Nadira membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya sambil kedua siku bertumpu di meja. Nadira benar-benar tertekan mengingat wajah penuh permohonan kliennya. *** Jam 03.00 Tiba-tiba keheningan itu dipecah oleh suara dering ponsel. Nadira meraih ponselnya. Panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Keningnya mengerut. Siapa? Nomor ponselnya yang ini sangat privat, tidak banyak orang yang mengisi kontaknya. Ponsel di tangannya terus berdering. Nadira memutuskan untuk menyambungkan panggilan itu. “Pengacara Rodin di sini,…” Terdengar tawa seorang pria di seberang. “Terbiasa bangun lebih awal, atau dugaanku benar, begadang semalaman?” “Anda siapa?” Nadira mengenali suara itu, tapi tetap bertanya. Tak repot-repot menyembunyikan nada kesal dalam suaranya. Kembali pria di seberang telepon tertawa. Nadira benci mendengar tawanya. Tawa itu menghilang, berganti suara bernada dingin. “Jangan terlalu angkuh, Nona. Duniamu sedang menuju kehancurannya.” “Ap-apa, maksudmu?” Punggung Nadira disergap rasa dingin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN